Tujuh

119 20 4
                                    

Ini juga udah revisi ya, selamat baca (;

Perkelahian semakin brutal. Faqih tidak menduga jika bukan hanya enam orang saja yang mereka hadapi melainkan dua puluh orang dan mereka semua membawa senjata.

Ketiga temannya itu tampak kewalahan, bahkan Dinan dan Ragil yang biasa menghadapi hal-hal seperti ini, beberapa kali menyeka darah di sudut bibirnya.

“Sial,” umpatnya.

Slup slup slup

Beberapa pria tegap yang sedang mengerubungi teman-temannya itu langsung jatuh tak sadarkan diri dalam waktu bersamaan, setelah Faqih melesatkan benda kecil yang disembunyikannya di balik pergelangan hoodie miliknya. Dia, tidak membunuhnya.

Benda itu berukuran kecil seperti jarum namun lebih panjang sekitar 8cm, dengan ujung yang tajam. Faqih sudah memperkirakan ini sebelumnya. Tembakannya tak meleset.

Tersisa tiga orang yang masih berdiri di ujung gang dengan tangan disilang didada.

“Ini gimana bos?” tanya pria di sebelah kanan.

“Habisi mereka,” perintah pria yang di tengah dan kedua anak buahnya itu lalu maju mengeluarkan pisau.

Fikri berdecih. Lalu menatap Faqih. “Lo mending balik ke sana cepet,” titahnya lirih, “biar kita betiga beresin,” imbuhnya sambil tersenyum bangga.

Faqih mengangguk dan bergegas pergi, gadis itu....

***

Ara duduk memeluk lututnya gemetar di balik tembok yang telah ambruk separuh itu.

“Jangan kemana-mana plis, tunggu bentar lagi.”

Ara menatap sekeliling dengan menelisik, mencari seseorang. Orang yang selalu berbicara dalam pikirannya.

“Ayo,” ajak Faqih. Pemuda ini muncul secara tiba-tiba hingga membuat Ara terjengit kaget.

Ara cepat-cepat berdiri sambil masih menenteng kresek di tangannya. Faqih pun menatap bungkusan itu tak tega.

“Pastilah kena marah karena lama….”

“Semuanya udah aman,” ujar Faqih lalu dia mengeluarkan uang dalam dompetnya, tidak besar jumlahnya. “Buat beli yang baru,” lanjutnya.

“Maaf, gak usah. Makasih,” tolak Ara cepat. Dia berpikir, bagaimana mungkin orang asing juga memberinya uang setelah menolongnya?

“Mau jadi pelampiasan lagi?”
Suara itu lagi, Ara mendongak cepat. Tidak ingin salah sangka dan yang lainnya.

“Terimakasih sudah menolong, assalamu'alaikum...” pamitnya cepat.

“Tunggu!”

Ara berbalik lagi, membiarkan orang di hadapannya ini bersuara.

“Seenggaknya, ambil ini. Jangan buat diri kamu dalam keadaan sulit,” ujar Faqih sambil memasukkan uang tadi ke dalam kantong kresek di tangan Ara tanpa bisa dicegah lagi.

Setelah mengatakan itu, Faqih pergi. Menyisakan Ara yang tertegun dengan hal barusan. Gadis berpakaian gelap ini menatap kantong kresek dan punggung Faqih bergantian.
Ara tersenyum tipis, lalu memejamkan matanya, menelusup kedalam pikirannya sendiri.

“Aku rasa, orang itu adalah... kamu,” gumamnya.

***

“Kenapa lama?!”

Ara terjengit kaget hingga membuatnya mundur beberapa langkah saking kagetnya. Begitu ia membuka pintu, ibunya langsung berteriak di belakangnya, nyaris saja bungkusan nasi itu terlempar, kalau saja dia tidak bisa mengendalikan diri.

“A-anu... tadi ada—.”

“Anu-anu, APA!” sela Lidia jengkel

Ara lantas menunduk, jantungnya berdenyit sakit, telinganya pun begitu mendengar teriakan dan bentak-bentakan yang dilontatkan Lidia.
“Ta-tadi... ada preman di gang depan...” jelas Ara lirih.

Lidia hanya mendengus kesal, merampas kresek yang dibawa oleh Ara secara kasar. Lalu pergi menuju sofa usang di ruang tv.
Ara masih menunduk, tak ada keberanian secuil pun untuk menatap ibunya, dia hanya berani curi-curi lihat saja. Sepertinya makanan itu membantunya sedikit. Gadis itu pun lantas tersenyum tipis.

Setidaknya, pagi ini tidak ada pukulan atau tamparan yang mengawali hari.

Bicara tentang makanan, uang yang diberikan oleh laki-laki yang belum diketahui siapa namanya dan juga telah menolongnya tadi, Ara masih menyimpannya, sisa membeli nasi yang baru. Dia menaruh bungkusan nasi yang satunya di pagar belakang rumah agar tidak diketahui oleh ibunya dan juga menyimpan sisa uang dalam saku gamisnya.

“Heh, ambilin minum! Jangan cuma berdiri di situ!” pekik Lidia.

“I-iya.” Ara langsung mengangguk patuh dan cepat-cepat berjalan ke dapur mengambilkan air minum untuk ibunya. Lalu menaruh gelas itu di atas meja dan kemudian pergi ke belakang rumah untuk mengambil bungkusan makanan yang ditinggalkannya di pagar.

“Sekali lagi terimakasih….”

***

“Shit!” umpat Dinan di sela ringisannya. Dia sedang membersihkan sudut bibirnya yang terkoyak. Dia mengumpat untuk apa yang terjadi, seharusnya dia juga mengoyak kepala orang itu.

Semuanya bungkam. Dalam ruangan tertutup ini, mereka berempat mengobati sedikit luka dan memar akibat perkelahian tadi. Namun kesenyapan ini tidak berlangsung lama, karena suara Fikri memecahnya.

“Kenapa?” tanya Fikri, kemudian menolehkan kepalanya menatap Faqih. Sementara Ragil yang duduk berlesehan bersebelahan dengan Dinan menatap mereka bergantian. Karena posisi mereka berdua yang bersebelahan membuat Faqih hanya menoleh singkat.

“Bukannya lo udah tau?”
Bukannya menjawab, Faqih malah bertanya balik. Fikri dan yang lainnya mengernyit tak mengerti. Apalagi Ragil dan Dinan, keduanya saling pandang mengisyaratkan, Apa yang sedang mereka bicarakan?

Setelah itu, tidak ada lagi yang berbicara. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Fikri beranjak, dia ingin keluar saja mencari udara segar. Ya, itu lebih baik daripada mereka bertengkar hanya karena satu pertanyaan.

Faqih & Ara [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang