Lima

137 23 0
                                    

Pukul 8.15 malam.

Ara terduduk di lantai dingin tanpa alas di kamarnya. Bersandar pada ranjang kecil yang... tidak sesuai untuk disebut sebagai ranjang. Setelah melalui serangkaian 'ujian fisik', akhirnya ia bisa melemaskan tubuhnya.

Ara mengeluarkan amplop yang tadi diterimanya dari siswi kelas sepuluh berkacamata itu dan menatapnya lamat dalam diam, serta larut dalam pikirannya. Melupakan sejenak rasa sakit pada sekujur tubuh kurusnya.

"Dari siapa ini Ra?" Pertanyaan ini dilontarkan Risa ketika dokter yang telah memeriksanya pergi.

"Tadi... ada adek kelas... bawain itu... buat aku... katanya." Ara berusaha menjelaskan dengan lirih.

"Wiih gila ae tu adkel, kok bisa tau dia kalo lo sakit?"

Ara terdiam, berpikir hal yang sama. Kok orang itu bisa tau sama aku, kalo aku lagi sakit? Dan juga... siapa dia?

Dia menggeleng lemah dengan rasa bingung. "Aku... gak tau...."

Kruuuuk kruuuuek

Suara perutnya kembali menarik Ara untuk menyadarkan dirinya jika dia belum makan setelah di UKS tadi. Gadis kurus itu memegangi perutnya prihatin. Memejamkan matanya lalu berdoa dalam hati. Ya Allah, hilangkanlah rasa lapar ini supaya Ara nggak ngerasa menzolimi diri sendiri....

Kembali dirinya menatap amplop coklat itu, lalu dengan rasa penasaran yang melebihi rasa takutnya, Ara membukanya.
Ada sebuah pesan singkat yang ditulis didalam amplop itu.

"Aku tau kamu butuh, ambillah ini. Demi Allah ini halal. Kita akan bertemu suatu hari nanti."
-333-2-77-444-44-

Ara mengernyit heran, tak mengerti. "Angka apa ini? Ini maksudnya apa?"

Begitu ia buka, dia dibuat terkejut bukan main. Beberapa lembar uang rupiah berwarna merah berbaris rapi dalam kertas itu. Uang itu ada sepuluh lembar kala ia menghitungnya.

Si-siapa orang ini? pikirnya.

Kemudian seperti ada suara lain yang menjawab dalam pikirannya.

"Jangan takut."

"Gunakan itu, yang jelas uang itu halal...."

Ara lantas menggeleng cepat. Ada apa dengan dirinya? Bagaimana bisa dalam pikirannya terdapat dua suara? Dirinya dan orang yang lain?

Nyeri di sekujur tubuhnya terus menerus memeluknya. Bersama-sama dengan dinginnya malam. Dia bangun, berjalan pelan untuk menyimpan uang itu dalam lemari usang miliknya, lalu mengambil minyak kelapa yang dia beli ketika dirinya luka-luka, dan mengoleskannya pada bagian-bagian tubuhnya yang terdapat luka-luka.

Kapan penderitaannya akan berakhir? Tidak pantaskah untuk berbahagia? Bahkan Ara sendiri rasanya telah lupa bagaimana rasanya bahagia itu.

***

"Gil, lo cari data yang diminta Faqih, trus kirim lewat e-mail."
Fikri memberi titah kepada Ragil seolah dirinya adalah seorang bos. Lalu matanya beralih menatap Dinan dan siap memberikan titah berbeda.

"Nan, ayo kita main. Biarin tu bocah jalanin tugas," ajak Fikri kepada Dinan.

Ragil melotot tak terima lalu berkacak pinggang. "Lah, woi, curang banget sih. Gak, gak bisa gitu. Yang disuruh si Paki itu kita betiga, tapi kenapa gue doang yang ngerjain! Enak aja!" tolaknya mentah-mentah.

"Eh kutil bagong, tugas lo kan emang kayak begituan. Ngapa lo? Mau ngeluh? Gue bilangin Faqih lo tau rasa," ancam Dinan.

"Ya trus kerjaan lo bedua apaan?"

Mereka berdua, kompak mengangkat bahu acuh.

"Gue sih, ada... KL," jawab Fikri.

"Kalo gue juga KL. Mau tukeran?" tawar Dinan kepada Ragil.

"OGAH," tolak Ragil cepat.

Pemuda tersebut lantas menuju singgah sananya. Duduk anteng dan jarinya bergerak cepat menekan-nekan keyboard dihadapannya hingga layarnya menampilkan data-data yang dibutuhkan, dalam waktu singkat. Kemudian tangannya bergerak mengambil handphone miliknya dalam saku dan mendial nomor Faqih.

"Woi Fak."

"Udah gak sayang leher lo? Mau gue gorok?"

"Anjir. Omongan lo creepy banget mas, ini udah malem loh."

"Ada perlu apa lo? 1 menit dari sekarang."

Ragil melotot ketika mendengarnya. "Aigoo!! Bisa diskon gak sih Bang? 1 jam kek," negonya dengan nada yang dibuat-buat centil.

"Sisa 55 detik."

"Gue udah dapet apa yang lo cari dan gue bakal kirim lewat email sama sekalian anti hackkernya. Ini udah sampe akar-akarnya. Dijamin data akurat. Setelah 3 menitlah lo baca, emailnya bakal hilang. Inget itu," jelas Ragil cepat panjang lebar.

"Oke."

"Sialan lo Paki, singkat banget."

"...."

"Woi Pakishit."

"Bilang makasih gitu kek, apa transperan ntar masuk gitu," gerutunya, bermonolog dihadapan komputernya.

Fikri dan Dinan serentak menoleh kearah Ragil, kemudian menatap satu sama lain dan menggeleng takjub. Batin mereka sama-sama mengatakan 'gila'. Dari mereka berempat, yang paling gila itu Ragil, sedikit lebih baiknya, yaitu Dinan, yang lebih waras dari mereka berdua itu Fikri, dan yang terakhir ini waras sih, hanya saja terkadang dingin dan sulit ditebak, serta punya kekuasaan tinggi, siapa lagi kalau bukan Faqih Faisal Arraya.

Mereka bertiga tidak akan sampai pada titik seperti sekarang jika tidak ada Faqih. Ketiga cowok itu memiliki masa lalu yang hampir sama sulitnya, namun bukan berarti sama. Kesamaannya itu hanya sama-sama berkaitan dengan komputer, mengandalkan otak dan insting yang kuat untuk merakit strategi dan mensiasatinya setiap waktu. Tidak boleh meleset, lengah, atau ceroboh sedikitpun, karena taruhannya adalah diri. Bermain dengan nyawa. Masalah yang taruhannya nyawa.

"Dikatain gila, marah. Di diemin tambah gila. Emang faktanya gila, tapi gak mau terima. Dasar orang gila," celetuk Dinan.
Membuat Ragil memutar kursinya.

"Iya, bener." Ragil mengiyakan secara terang-terangan.

Fikri mengernyitkan dahi bingung.

Sebagai orang yang paling waras disini, Fikri memutar bola mata jengah. "Udah lo kirim Gil? Gimana Faqih?" tanyanya, menghentikan obrolan absurd mereka.

Yang ditanya justru memutar kembali kursinya, membelakangi dua orang itu. "Biasaaa," jawabnya.

"Biasa apa?" Tanya Dinan, tidak mengerti.

"Ya biasa. Gak waras," jawab Ragil asal.

Fikri dan Dinan sontak tertawa. Keduanya menampilkan ekspresi yang begitu menyebalkan meski tidak terlihat dimata Ragil.

"Bukannya elo?"

"Ah iya, lupa," sahut Ragil dengan entengnya.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now