Lima Belas

95 15 9
                                    

Faqih duduk menghadap kedua orangtuanya yang tengah menatapnya intens.

Pria yang hampir memasuki kepala empat itu menghela nafas panjang, menyerah. Ditatapnya lagi anak satu-satunya ini dengan raut yang entah sulit untuk diartikan.

"Faqih, papa tanya sekali lagi sama kamu. Apa kamu bener-bener yakin sama keputusan kamu?" Tanya Hendra --papa Faqih--.

Mamanya pun ikut mengangguk, setuju dengan pertanyaan yang di ajukan suaminya.

"Iya Faqih, karena ini bener-bener hal yang serius. Untuk waktu yang lama, bukan cuma beberapa hari. Hari ini dimulai, besok udah berakhir. Gak gitu sayang..."

Faqih lagi-lagi mengangguk mantap, mengerti maksud sang mama. Membuat keputusan besar dan berani mengambil resiko besar dalam hidupnya. Sejauh ini, Faqih terus berpegang pada apa yang ia putuskan. Beresiko atau tidak. Berbahaya atau tidak. Faqih akan tetap lakukan apa yang telah diucapkan oleh lisan.

Ditatapnya lagi sang papa lurus -lurus. "Faqih bener-bener mantap dan siap pa. Faqih udah pikirin ini dengan matang dari jauh-jauh hari. Faqih harap papa ngertiin Faqih," paparnya.

"Tapi Faqih, kamu itu masih terlalu muda. Kamu juga masih sekolah, baru kelas 2 SMA. Apa gak nanti aja, kita bantu aja dia sekarang, kita kasih tempat tinggal, kita beliin pakaian, makanan. Gitu kan bisa sayangnya mama," sanggah Aliyah, mama Faqih.

Hari ini, Hendra dan Aliyah, berhasil dibuat terkejut dengan pernyataan tiba-tiba anaknya ini. Tanpa perkenalan, pembuka atau pun basa-basi terlebih dahulu.

"Papa tau, menikah itu ibadah. Besar lagi pahalanya. Lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Tapi apa kamu bener-bener siap Faqih? Tugas seorang kepala keluarga itu cukup besar. Yang mana ia harus tau kemana keluarganya akan dibawa, menuju surga atau neraka?" Ujar Hendra memberikan pengertian dan penjelasan.

Faqih tetap mengangguk mantap. "Faqih udah tau pa, itulah kenapa Faqih bisa sesiap dan seyakin ini,

Mata sang mama berkaca-kaca. Lalu menghampiri Faqih dan duduk di sebelahnya. "Mama salut sama kamu. Kamu udah berpikir sematang ini diusia kamu yang masih mengkel. Kamu bener-bener mirip papa kamu." (*mengkel = setengah masak, seperti buah)

Papanya pun akhirnya mengangguk. Seulas senyum terbit di wajahnya yang sedikit terdapat garis-garis keriput. "Baiklah, kalo kamu udah seyakin ini. Papa bakal setuju dan kasih restu. Asal kamu benar-benar bertanggung jawab," putusnya.

Ya, Faqih memberitau mama dan papanya jika ia ingin menikah muda. Guna menjaga kehormatan seorang gadis sholehah yang diam-diam telah ia sukai sejak lama. Tidak perlu diketahui publik, tetapi yang terpenting adalah sah secara agama. Untuk resepsi dan publikasi, bisa ia lakukan nanti-nanti.

"Makasih pa. Insya Allah, Faqih akan berusaha, bersama-sama dengannya meraih surga," ujar Faqih seraya tersenyum.

***

Ara mengerjapkan matanya perlahan. Kepalanya nyeri dan spontan ia memeganginya. Setelah dirasa agak mendingan, ia mengedarkan pandangannya. Sebuah ruangan bercat biru, rapi, barang-barangnya bagus dan kasur yang empuk. Ia pun terduduk cepat.

"Astagfirullaah.... Ya Allah Ya Rabb, dimana aku?"

Mata Ara terbelalak. "ASTAGHFIRULLAAHAL'ADZIIM...," pekiknya. Lalu mengecek keadaan dirinya.

Pakaiannya. Utuh.

"Alhamdulillah...," leganya.

Kemudian dirabanya kepalanya. Jilbabnya? Ada. Bukankah semalam sudah robek? Pikirnya.

Dan terakhir, jemari lentiknya tersentuh sebuah plaster dan perban.

"Ya Allah, aku kenapa? Kok bisa ada perban?"

Ara sepertinya lupa bagian akhir peristiwa buruk kemarin.

Ketika tengah dilanda kebingungan yang tak biasa, tiba-biba pintu terbuka, menampilkan seorang wanita tua membawa nampan berisi makanan.

"Udah bangun Non?" Sapa wanita itu dengan ramah. Sambil mendekat.

"Ini saya bawakan makanan. Ayo dimakan," ujarnya. Membuat Ara melongo.

Ara membalas senyum itu dengan kikuk dan mengangguk. "Nama saya Ara, Bu. Bukan Non," koreksinya.

Mbok Darmi, --nama wanita itu-- terkekeh sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja di sebelah Ara. "Iya Non, Mbok udah tau kok. Oh iya, saya Mbok Darmi. Udah 10 tahun bekerja disini Non. Jadi kalo Non butuh apa-apa bilang Mbok aja ya," jelasnya dengan sangat ramah.

Ara memgangguk meski sama sekali tak mengerti. Lalu ia memilih bertanya. "Mm... Mbok, ini rumah... siapa ya? Kamar ini... juga. Ara ada dimana ini Mbok?"

Lagi, Mbok Darmi terkekeh melihat tingkah Ara yang parno bercampur bingung. "Ini rumah keluarganya Bapak Hendra. Kalo kamar ini, punya Den Faqih," jelasnya.

Faqih?

Ara mencoba mengingat. Faqih ya? Seperti tak asing dengan nama barusan. Ia seperti pernah melihat atau mendengarnya, tapi ia tidak ingat dimana.

"Fa-Fa-Fa... Faqih?" Tanya Ara lagi, dengan terbata-bata.

"Iya. Den Faqih. Anak satu-satunya Bapak dan Ibu. Kayaknya sih, Den Faqih sama Non seumuran." Mbok Darmi menebak dengan yakin.

Mbok Darmi pun pamit untuk kembali ke dapur. Ara mengangguk dan tak lupa ia mengucapkan terimakasih.

Ara kembali pada pikirannya. Bagaimana ia bisa berada di tempat ini? Siapa yang membawanya?

Hingga, pintu kamar kembali dibuka. Tapi kali ini, sosok yang muncul ialah seorang pemuda tampan. Dia membiarkan pintunya setengah terbuka.

Dan pemuda itu berhasil menarik hati Ara, seperti magnet yang menarik besi. Cepat-cepat Ara menggeleng. Beristighfar dalam hati. Pemuda ini, adalah laki-laki sapu tangan itu.

Apakah dia?

"Gimana keadaanmu? Udah baikan?"

Ara hanya mengangguk dan terus menunduk. Lalu sunyi.

"Bukankah waktu itu aku bilang, kalo kita akan bertemu? Apa kamu masih mengingatnya?"

Ara membelalakkan matanya, suara itu datang lagi. Dua suara ini sama.

"Iya, kamu benar. Aku adalah dia, yang berbicara dalam pikiranmu," ungkapnya dan kepala Ara langsung terangkat. Kaget. Ia tidak tau harus bereaksi seperti apa.

"Aku Faqih. Seorang manusia yang kamu mintai bantuannya semalam. Dan maaf, sedikit terlambat. Dan maaf, aku telah lancang membawamu kemari," ungkap Faqih dengan pandangan yang juga tertunduk.

Mata Ara berkaca-kaca. "Ternyata benar, orang itu adalah kamu. Yang selama ini muncul dipikiran aku itu kamu. Dan, apa yang selama ini sering bantuin aku itu juga kamu? Yang kasih amplop berisi uang itu juga kamu? Faqih?"

Setelah lama terdiam dan hanya mendengarkan pengakuan Faqih, Ara akhirnya bersuara.

Pemuda itu mengangguk, entah Ara melihatnya atau tidak. "Maaf."

"Terima kasih, terima kasih udah nolongin aku. Udah bantuin aku. Tapi sebaiknya aku pergi. Dan, semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik," ujar Ara.

Baru hendak beranjak, Faqih terlebih dulu mencegah.

"Aku akan menikahimu, Ara."

Jantung Ara, seakan copot dari tempatnya setelah mendengarnya. Ia ingin pingsan.

***

Kalo aku jadi Ara, mungkin langsung pingsan di tempat😂

Sampai jumpa lagi 👐

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now