Sembilan Belas

93 13 12
                                    

Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu. Sekolah sudah mulai sepi, tapi masih ada beberapa siswa yang belum pulang dan Ara menjadi salah satunya.

Setelah memperkirakan sudah tak ada lagi manusia berkeliaran disini, Ara baru bangkit dari duduknya. Membenarkan jilbabnya dan bersiap melangkah keluar. Tapi, Faqih terlebih dulu berjalan masuk hingga mereka berdiri berhadapan. Hanya berjarak satu langkah saja.

"Kenapa kamu baru keluar? Aku nunggu di luar, kukira tidur."

Faqih sebenarnya tau tanpa diberitau. Tapi, bersikap senormal mungkin lebih baik bukan?

"Ayo kita pulang," ajak Faqih.

Baru akan berbalik badan, suara Ara menghentikannya.

"Apa... diluar... udah bener-bener sepi?"

"Kenapa?" tanya balik Faqih. "Apa... kamu risih kita barengan?"

Ara cepat-cepat menggeleng dengan kedua tangannya terangkat dan di gerakkan kekiri dan kanan secara cepat.

"Bukan gitu. Aku cuma—."

"Yaudah kalo gitu, ayo kita pulang. Inget, mau kita kayak gimana juga gak pa-pa Ra," sela Faqih sambil menggenggam jemari Ara lembut, dan menariknya untuk pulang.

"Nanti ada orang yang liat." Ara memprotes perbuatan yang dilakukan Faqih terhadapnya barusan.

Faqih pun kembali menatap Ara. Sebelah alisnya terangkat. Ditatapnya sekeliing. Ruangan kelas Ara sudah kosong, hanya ada dia, berdua disini. Orang mana lagi yang Ara maksud. Faqih rasanya ingin tertawa.

"Orang yang mana yang kamu maksud? Aku rasa... kelas ini cuma ada kita berdua. Diluar juga... udah sepi."

Ara diam, jantungnya berpacu lebih cepat membuat dirinya jadi berkeringat. Memberanikan diri menatap sang suami, menjelajah guratan wajah yang ternyata, Subhanallah, ciptaan Allah ini.

Faqih tiba-tiba menghapus jarak diantara mereka. Merengkuh tubuh Ara dengan cepat hingga sang pemilik raga menegang.

Posisi seintim ini, sangat mengejutkan Ara. Dia bahkan ingin menarik diri, namun Faqih semakin mengeratkannya sambil berbisik, "Biasain."

Cukup lama mereka terdiam dalam posisi seperti ini. Membuat Ara harap-harap cemas, takut jika nanti ada yang melihat mereka sedang seperti ini.

"Jangan takut... ada aku yang akan jagain kamu," lirih Faqih dengan lembut dan tulus.

Dan, Ara hanya tersenyum seraya memejamkan matanya.

***

Benar kata Faqih, sekolah sudah sepi. Ara masuk ke dalam mobil dan duduk dengan sedikit lebih tenang. Sementara Faqih masih di luar, Ara pun menoleh.

Pemuda itu sepertinya sedang menelpon. Setelah urusannya selesai, ia menatap sekelilingnya. Lalu bersikap seolah tak melihat siapa-siapa, ia langsung masuk. Di dalam pun, ia masih sedikit curi-curi lihat, ke arah jam 11 dan jam 2.

"Maaf ya, tadi ada telpon dari Agil," ujar Faqih. Menjawab pertanyaan Ara.

Ara mengangguk. "Iya."

Faqih pun langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, tidak selamban tadi pagi. Tapi, bukannya langsung ke rumah, pemuda itu justru menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Lalu dia keluar dan menyebrang, masuk ke sebuah toko handphone.

Ara diam menunggu di mobil sesuai perintah Faqih. Ketika sedang menatap jalanan di depan, ketukan jendela mobil mengalihkan pandangannya.

Seorang anak kecil berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan kudel. Ara lantas menurunkan kaca mobil.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now