Enam

121 23 1
                                    

Ini juga udah revisi ya, selamat baca (;

***

Hari minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan remaja, untuk bermalas-malasan, jalan-jalan, atau bersantai ria lainnya. Hari seperti itu yang diharapkan oleh Ara 'sebenarnya', sekali saja. Namun Ara harus terima, jika ia tak akan pernah bisa melakukannya. Ara turun dari kamarnya untuk mengambil minum, namun ibunya berteriak memanggilnya.

“Heh! Sini kamu!” teriak sang ibu yang sedang duduk di sofa menonton televisi.

Ara mendekat perlahan. “I-iya bu, ada apa bu?” tanyanya lirih takut-takut.

“Mau kemana kamu pagi-pagi?! Kelayapan?!” Pertanyaan yang lebih tepat disebut bentakan itu membuat Ara terjengit kaget. Kaget dengan nada tingginya.

Ya Allah bu, Ara cuma mau ambil minum di dapur.

“Sana kamu belikan saya nasi 1 bungkus. Saya lapar. Itu duitnya,” titah wanita itu seraya melemparkan selembar uang 20 ribu hingga mengenai wajah Ara dan jatuh kelantai.

Perihal uang yang Ara simpan di lemarinya minggu lalu, ternyata diketahui oleh Lidia, ibunya. Alhasil, uang tersebut langsung dirampas dan dihabiskan oleh wanita itu. Yang lebih mengenaskan lagi, Ara justru dituduh mengambil uang Lidia dan ditampar berulang kali karena tak mengaku.

Ara belum beranjak, masih terdiam menatap uang ditanganannya. Hal itu membuat Lidia kesal dan membanting remot tv yang dia pegang.

“Kenapa masih disini?! Sana cepet!” usir Lidia dengan kasarnya. Bak sedang memberi perintah kepada seorang pembantu.

“Ke-kenapa cuma satu?” tanya Ara dengan hati-hati. “Terus Ara—.”

Pertanyaan yang seharusnya sudah Ara tahu pasti jawabannya.

“Apa?! Mau makan?! Kerja dulu
cari duit, biar bisa makan! Udah sana pergi!"

Ara diam, tak membantah, memilih melangkah pergi menuruti keinginan ibunya. Lagipula, dia bersyukur sekali masih diberikan tempat tinggal oleh wanita itu, orang yang sudah melahirkannya meskipun sikapnya sangat kasar.

Sebetulnya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun letak rumahnya yang tertutupi gedung-gedung tinggi dan juga melewati gang sempit, membuatnya terlihat gelap dan juga... sepi.

Ara menyusuri gang tersebut seorang diri dalam keadaan masih sedikit gelap. Setelah membeli makanan yang diperintahkan sang ibu, dia bergegas pergi, takut jika dia terlalu lama justru membuat orang itu kembali marah dan berlaku kasar lagi. Seperti kisah ibu tiri yang kejam, namun nasibnya tak seberuntung dan tak seindah akhir dalam kisah itu.

Tiba di pertengahan gang, dia spontan berhenti, ketika di ujung gang itu ada tiga orang laki-laki, bertubuh tinggi tegap, wajahnya tertutupi oleh bayangan gedung. Sambil menenteng kresek berisikan makanan, Ara terus merapal do'a dalam hati dan mengenyahkan segala macam prasangka buruk.

Ya Allah, aku berlindung kepadamu. Maka lindungilah aku.

Samar-samar dia mendengar salah satu diantara mereka bersuara.

“Bos, itu cewek yang dibilang Jey waktu itu. Dia kayaknya memang tinggal disini bos. Katanya dia, tu cewek cakep loh bos.”

Was-was dan takut, Ara cukup mengerti kemana arah pembicaraan itu. Yang jelas, objek pembicaraannya adalah dirinya.

Dia mundur perlahan, kemudian berbalik cepat, tapi justru di ujung gang satunya ada empat orang yang dia yakini merupakan kelompok yang sama.

Mereka, kenapa bisa ada mereka disini? Sebelumnya, hal seperti ini tidak pernah terjadi.

“Mau lari kemana, cantik?”
Ara tak tau harus melakukan apa untuk menyelamatkan diri, sebab mereka semua mengepungnya. Apakah dia akan berakhir disini? Pikirnya.

Namun, sebelum orang-orang itu mendekat, tiba-tiba muncul 4 orang remaja yang datang dan memukuli empat orang pria berbadan kekar yang menghadang gang bagian depan. Membuat Ara gemetar ketakutan setengah mati apalagi ketika melihat empat pemuda itu menghajar secara habis-habisan.

“Gue bakal bawa dia ketempat aman. Jaga disini, halangi mereka.”

Perintah itu disampaikan oleh Faqih cepat ditengah pergulatannya. Ya, mereka berempat adalah Faqih dkk. Diutus oleh sang sultan, Faqih sendiri, kemari 5 menit yang lalu dan secepat itulah mereka ada disini.

Bugh bugh bugh

“Ayo,” ajak Faqih dan menarik Ara menjauh cepat, dengan memegang lengan Ara yang tertutupi baju panjangnya. Ara sempat terkejut, namun langkahnya tetap menurut kemana ia dibawa.

Ara cukup kesulitan karena memakai gamis untuk berlari. Faqih yang memakai masker hitam ini berhenti, menatap Ara dan sekeliling. “Sembunyi disana,” perintahnya.

Ara yang tak tahu apa dan harus bagaimana pun hanya mengangguk dan menurut saja. Bahkan keempat orang ini, ia tidak tau siapa, sebab mereka semua memakai masker penutup mulut berwarna hitam, hoodie dan juga topi dengan warna senada. Tapi, suara ini... seperti tidak asing, pikirnya.

Faqih kembali berlari menuju teman-temannya dan ketika dia sampai, dia dibuat menganga.

***

Jangan lupa jejak😉

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now