Tujuh Belas

88 14 10
                                    

Suara langkah kaki begitu nyaring, menyentak jalanan malam yang sepi. Mengisi pendengaran Dinan yang kosong sepenuhnya.

Dinan berlari maraton seorang diri. Dengan wajahnya yang masih sedikit membiru akibat pukulan Ragil. Ia tidak peduli.

Setelah cukup lama, ia kemudian berhenti dan membungkuk,  memegang kedua lututnya. Ia mendesah sebal. Ucapan berisi peringatan dari Ragil terus terngiang dalam kepalanya.

Dalam hatinya ia membenarkan. Memang seharusnya dia memberitau Faqih secara langsung. Jika tidak, mungkin akan ada kesalahpahaman berkelanjutan kedepannya.

Mungkin saja, jika ia memberitahukannya lebih awal, perasaannya tak akan seburuk ini. Rasa yang ia miliki kepada Ara, tidak akan bertambah. Membuatnya melakukan hal-hal yang tidak terencana tanpa sadar.

Terakhir. Cukuplah menolong Ara di malam itu, menjadi hal terakhir yang ia lakukan dengan terikat rasa. Setelahnya, sisanya harus dihapuskan.

Dia mengambil ponselnya dalam saku celana, lalu menghubungi Faqih, meminta cowok itu untuk datang kemari.

Hah, seandainya saja perasaan suka kepada seseorang yang salah bisa di ekskresi, menjadi keringat contohnya. Pastilah, ia akan berlari atau berolahraga dengan keras agar seluruh keringatnya keluar bersama dengan perasaan itu. Bukan tubuh saja yang sehat, pikiran dan hati menjadi tenang.

Ya, andai saja.

Dinan tertawa lirih. Menganggap lucu pikirannya sendiri. Dengan keadaan yang hening, tawanya menjadi terdengar keras.

Masih dengan tawanya, ia berbalik badan. Derap langkah terdengar dari belakangnya. Faqih sudah datang, berjalan santai. Tawanya pun mereda.

Kini, hanya terbentang jarak 1 meter diantara keduanya.

"Lo jalan kaki?" tanya Dinan, membuka obrolan.

Faqih mengangkat kedua alisnya bingung. Namun tetap menjawab. "Gak juga, itu mobilnya gue parkir di sana," jawabnya sambil menunjuk sebuah mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan, jauh dari tempat mereka berdiri.

"M... gue suka sama Ara," aku Dinan.

Faqih diam, sengaja. Membiarkan sahabatnya ini benar-benar menyelesaikan apa yang ingin diutarakan.

Dinan menghela napasnya berat. "Tapi, lo gak perlu khawatir. Gue gak akan rebut dia dari lo. Gue ungkapin ini, bukan supaya lo nyerahin dia ke gue, bukan. Gue gak mau ada salah paham diantara kita. Gue gak mau persahabatan kita ancur cuma karena satu perempuan," jelasnya.

"Sejak awal gue juga udah tau, dia bukan milik gue. Dan, kemarin malem itu, gue cuma kebetulan denger salah satu ucapan pengunjung bar. Lalu... gue berinisiatif buat ikutin, karena nama yang dia sebut itu... Ara, Alea Azzahra. Gue harap, lo gak mikir yang enggak-enggak. Berspekulasi yang salah-salah."

Faqih lalu maju hingga selangkah di depan Dinan. Rautnya biasa, seperti tak terjadi apa-apa. Lalu, di tepuknya bahu sahabatnya ini.

"Sejak kapan gue mikir yang enggak-enggak?" tanya Faqih.

Dinan terdiam. Selama ini, Faqih tidak pernah berpikir yang aneh-aneh. Faqih selalu mencari kebenarannya terlebih dulu.

Ditepuknya lagi bahu Dinan dua kali. "Makasih, udah kasih tau gue dan... bantuin gue nyelametin Ara. Soal lo yang suka sama Ara, gue gak bisa maksa lo berhenti. Setiap orang berhak menyukai orang lain. Wajar, karena memang manusiawi," ujarnya.

Kemarin malam, Dinan memang benar pergi ke bar. Lalu pendengarannya tak sengaja menangkap sebuah percakapan seseorang dengan lawannya di telepon.

"Gue lagi di bar. Ada apa?"

"...."

"Pekerjaan?"

"...."

"Ara? Bukannya dia anak lo?"

"...."

"Ahaha, bolehlah. Tapi... lo yakin? Gue gak suka ya main-main."

"...."

"Seberapa banyak?"

"...."

"Hahahah, untuk dia... gue bakal kasih lo seberapapun yang diminta."

"..."

"Deal."

Setelah percakapan samar itu, Dinan melihat pria tersebut tersenyum senang. Ia pun langsung mengikutinya, hingga ia tau siapa yang dimaksud orang tersebut. Ketika orang tersebut masuk ke dalam rumah, Dinan mendekat dan bersembunyi di dekat bangunan usang itu. Sesaat setelah melihat Ara memasuki rumah yang sama, Dinan cepat-cepat menelpon Faqih.

"Tanpa lo minta, gue juga bakal berenti."

Akhirnya, perasaannya lebih tenang dari sebelumnya. Terpaksa harus Dinan akui, meskipun sedikit gila, Ragil yang paling mengerti dirinya. Jika cowok itu tidak mengingatkan, mungkin ia akan terus menyukai Ara dan perasaannya semakin memburuk.

***

Setelah cukup lama berada dalam pelukan Aliyah, ibunya Faqih, keadaan Ara membaik.

"Tapi, apakah pantas, perempuan seperti Ara, bersanding dengan laki-laki baik seperti Faqih? Ibu bahkan tau, seburuk apa hidup Ara. Ara gak mau, orang-orang sebaik kalian, ikut ngerasain kepahitan Ara."

Aliyah kembali menarik Ara dalam dekapannya. Seperti yang selama ini Ara inginkan dari ibunya. Pelukan hangat, yang sangat terasa nyaman lagi menenangkan.

"Kamu tau Ara, terkadang dalam hidup, kita perlu merasakan yang namanya kepahitan, supaya kita lebih mengerti dan memahami arti kehidupan yang sesungguhnya. Bukan cuma kamu, kami juga. Kami pun pernah mengalami hal-hal yang menyakitkan, seperti kamu," kata Aliyah dengan lembut. Berusaha menghapuskan rasa ketidakpercayaan diri Ara.

Gadis itu terdiam. Jiwanya tersentil. Benar. Bukan hanya dia yang punya masalah hidup yang pelik, tetapi masih banyak lagi. Ia hanya menjadi salah satunya.

Astaghfirullah... apa yang udah aku pikirkan selama ini? Kenapa sekarang aku mengeluh?

Ara melepaskan dirinya. Menatap wanita yang tengah tersenyum lembut kepadanya. Ia balas tersenyum.

"Bagaimana dengan ibuku? Meskipun dia sering nyakitin Ara, dia tetaplah ibu kandungku."

"Biar kami yang datang kesana, menemui ibumu. Tapi kamu tetap di sini, kami gak mau kamu kenapa-kenapa."

"Ara ikut. Ara mau ketemu ibu di rumah." Ara menolak untuk tetap di sini. Ia merasa tidak punya hak untuk tinggal di sini. Ia belum menjadi bagian keluarga Hendra dan Aliyah.

Ara menggeleng pelan, menepis pikiran yang tidak-tidak. Malam ini, ia akan bertanya kepada pemilik hati yang sesungguhnya.

Aliyah tersenyum, lalu membelai rambut Ara dengan lembut. "Saya tau, kamu memang gadis yang baik."

Seberapa pun kekerasan yang diterimanya, Ara tidak akan pernah membenci ibunya sendiri. Ia akan terus bersama dengan ibunya, tetap mendo'akan yang terbaik untuk sang ibu.

***

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now