Enam Belas

90 15 12
                                    

Bugh

Bugh

Bugh

Pukulan keras terus dilayangkan oleh Ragil kepada Dinan dan  dengan sukarelanya, Dinan yang minta dipukuli. Sesekali, Ragil meninju sebagai pelampiasan emosi.

Dinan pun tidak melawan sedikitpun. Membiarkan tubuhnya menjadi samsak dan wajah serta tubuhnya lebam-lebam.

Merasa puas telah meninggalkan beberapa memar di pipi hingga luka sobek di sudut bibir sahabatnya, Ragil pun berhenti. Ia ikut berbaring di sebelah Dinan dengan nafas ngos-ngosan.

"Lo harusnya kasih tau Faqih. Bukan gue. Kalo lo kasih tau gue, ya gini ... sesuai permintaan lo."

Dinan meringis, perih. "Ya. Gue tau. Tapi gue lebih suka cara ini. Aish... lo mukulnya keras banget asu," protesnya.

Ragil terkekeh. Cowok gila ini melipat tangannya dan menjadikannya sebagai bantal. "Kan lo yang minta. Dan beberapa... ada gue selipin emosi," jujurnya.

"Sudah gue duga."

Mereka berdua tertawa singkat.

"Ya nanti gue bantu obatin," kata Ragil. Selalu begitu. Mereka akan bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.

"Kira-kira, pukulan lo ... udah ngancurin perasaan gue belom ya Gil?"

Kedua manusia gila ini, sama-sama berbicara ngelantur. Disaat-saat seperti ini, mereka benar-benar cocok.

"Gak kayaknya. Palingan juga cuma kegores dikit," jawab Ragil dengan yakin pada sesuatu yang tidak ia tau. "Pukulan gue gak sampe ngancurin perasaan lo. Tapi, kalo lo mau, gue bisa ancurin badan lo," imbuhnya.

Dinan hanya tertawa. "Gak perlu. Makasih."

Setelah itu senyap. Bahkan suara nafas mereka  terdengar begitu jelas.

"Lo harus kasih tau Faqih," celetuk Ragil mengingatkan.

"Sekalipun gue cerita, ini udah berakhir."

Dinan berusaha bangun, namun di dahului oleh Ragil. Lalu cowok itu membantunya berdiri. Memapahnya dan membantunya berjalan.

"Sorry ya Din. Gue kayaknya kalap banget pas mukul. Ternyata parah juga ya?"

Bukannya marah, Dinan justru terkekeh santai.

"Gue kira tadi, lo kesurupan. Sampe gue mikir, gue bakal mati."

"Gak bakal."

"Btw, berenti manggil gue Din. Kayak manggil Udin aja."

Setelahnya, mereka tertawa. Dua sejoli yang benar-benar kompak.

***

"A-ap-ap-apa?" Ara menatap Faqih sebentar, lalu menunduk. Ia meminta pengulangan.

Ara rasa, jiwanya sedang tidak ada di tempat. Semua ini terasa seperti mimpi. Mengejutkan.

Namun bukannya langsung menjawab, Faqih justru berbalik, hingga hampir mencapai pintu ia berhenti. "Apa kamu sudah benar-benar baikan? Jika iya, mungkin sebaiknya kita bicara di luar."

Setelah mengatakan itu, Faqih kembali melanjutkan langkahnya. Menyisakan Ara yang tertegun ditempat. Wajahnya memerah dan langsung ditutupnya dengan kedua tangan. Malu. Ara benar-benar malu. Jantungnya, lagi-lagi menggila.

"Apa aku lagi mimpi ya? Ya Allah, ini sebenernya ada apa?"

Semuanya terasa sangat tiba-tiba. Pengakuan Faqih tetang siapa dirinya, serta pertanyaan, atau lebih ke pernyataan tanpa persetujuan kepadanya. Ara benar-benar pusing. Pikirannya terkumpul jadi satu.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now