Delapan

116 17 0
                                    

“Assalamu'alaikum?”

“Eh iya, wa'alikumsalam.... Ara? Ada apa nduk?” tanya bu Winarsih lembut.

Ada sebuah kedai mie di pinggiran jalan yang lumayan ramai. Bu Winarsih, beliau adalah pemilik kedai ini yang benar-benar baik. Bu Asih panggilannya. Kebetulan, beliau memang telah mengenal Ara dan menggapnya seperti anak perempuannya sendiri.

Karena pembeli yang tidak terlalu ramai dan juga ada dua pegawai yang bekerja, bu Asih mengajak Ara untuk duduk di salah satu bangku.

“Buk, Apa boleh Ara kerja lagi disini setiap pulang sekolah?” tanya Ara. Menyuarakan maksud tujuannya kemari.

Beberapa bulan yang lalu, Ara sempat bekerja disini sebagai pekerja paruh waktu. Hal itu cukup membuat bu Asih senang dan merasa sangat terbantu. Tetapi suatu hari, Lidia datang dan memaksa Ara untuk pulang. Dia memaki Ara tepat di depan banyak pembeli dengan mengatakan jika Ara adalah anak yang tidak tau diuntung karena bekerja disini.

“Nduk, ibu gak mau nanti kamu di kasarin lagi sama ibu kamu. Biarlah, kamu sekolah aja ya yang bener,” kata bu Asih seraya mengelus pucuk kepala Ara yang tertutup jilbab hitam.

Sekalipun Ara tidak bekerja di sini, ibu kandungnya pasti akan selalu memukulnya. Tak peduli apa yang Ara lakukan itu baik ataupun buruk.

Ara menggenggam tangan wanita paruh baya yang sudah mulai keriput itu dengan lembut.
“Tapi buk, Ara gak apa kok. Lagian ini juga buat bantu-bantu ibuk,” sahutnya.

“Ibu jelas seneng kamu ada disini, tapi apa gak pa-pa? Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa nduk.”

Bu Asih sangat menyayangkan kekerasan yang selalu diterima Ara, padahal gadis manis di hadapannya ini sangat baik dan juga sholeha. Jika saja, Ara adalah anak kandungnya, pastilah ia sangat bersyukur.
Bu Asih menatap wajah Ara lekat seperti sedang mencari sesuatu. Meski usianya tidak lagi muda, tapi matanya masih bekerja dengan sangat baik. Dan benar saja, di wajah gadis itu terdapat seperti agak kebiruan. Orang lain mungkin saja tidak menyadarinya, tapi bu Asih tidak bisa dibohongi.

“Apa Ara abis kena pukul lagi?” tanya bu Asih, belum sempat Ara menjawab, beliau menarik tangan Ara dan membawanya ke belakang. “Ayo nduk, biar ibu obatin. Di sini ibu sengaja nyiapin salep untuk memar, jadi kamu bisa kesini tiap hari,” katanya.

Ara yang mendapat perlakuan lembut dengan penuh perhatian ini merasa bahagia, karena ia sama sekali tidak pernah mendapatkan secuil perhatian pun dari Lidia, ibu kandungnya. Rasanya, ia ingin menangis.

Ara tersenyum. “Makasih ya buk.”

“Halah gak pa-pa, Ara itu gak usah sungkan sama ibu. Ibu udah anggep kamu sebagai anak ibu sendiri,” ungkap bu Asih. Ara langsung memeluk wanita tua itu dengan hangat. “Satu lagi ini kamu bawa pulang ya, buat jaga-jaga aja. Kalo kamu memar-memar trus pake ini, insya Allah, memarnya cepet ilang sakit sama warnanya.”

“Makasih buk. Kalo gitu, ayo kita kerja lagi,” ajak Ara semangat.

“Kamu ini nduk.”

***

“Ya, halo?” Sapa Lidia.

“Kamu bilang dia lemah, tapi kenapa banyak bodyguardnya?!” Sentak lawannya disebrang telepon langsung tanpa basa-basi.

“Ya aku juga gak taulah. Kamu aja yang gak becus.”

“Heh bitch, kamu gak lupa kan … sama perjanjian kita. Kalo sampe aku gak dapetinnya, aku gak akan main-main,” ancam orang itu dan langsung mematikan sambungan.

“Dev!”

Wanita yang usianya 30-an tahun itu mengusap wajahnya kasar.

“Kenapa yang satu ini sulit banget sih?” geramnya pada diri sendiri.

“Dimana anak ini?” Lidia beranjak dan menuju ke kamar Ara, tapi ternyata tidak ada. Lalu dia menatap sekelilingnya, dan nihil. “ARA?! DIMANA KAMU HEH?!! ARA?!!!" teriaknya, tapi tetap tidak ada orangnya.

“Awas aja nanti.”

***

Harusnya sejak awal ia memberitahu segalanya secara transparan, terang-terangan. Tapi dia terlalu takut jika ia jujur, semuanya akan menertawakannya atau mungkin mencacinya.

Faqih terdiam, berdiri dengan bertumpu pada pembatas jembatan penyebrangan. Matanya lulus menatap hamparan pemandangan jalanan yang ramai nan padat. Sementara pikirannya berlabuh ke tempat lain, yang bernama masa lalu.

“Mulai minggu depan, kamu yang akan memegang perusahaan kakek di Eropa.”

“Tapi kan pa-.”

“Gak ada tapi-tapian. Ini perintah dari kakek kamu, cuma sebentar Qih.”

“Tapi pa, Faqih gak mau.”

“Kamu lebih milih di jodohin daripada melakukan ini Faqih...?”

Perintah tak terbantahkan itu membuat posisi Faqih terpojok, tak ada pilihan lain. Hingga membuatnya memilih jalan ini. Hanya perlu mengandalkan alat indra, insting dan kemampuan telepati.

Tetapi sekarang, ia akan melakukan apa yang ia inginkan dan memperjuangkan apa yang ia cintai. Huh, memangnya siapa yang akan menghentikannya?
Dia tersenyum sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now