Sembilan (update!)

120 17 6
                                    

Lantunan ayat-ayat Al-Qur'an itu begitu menenangkan hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Ara masih berada di kedai mie milik bu Asih. Karena jam baru menunjukkan pukul 8.10 malam, dia belum mau pulang.

Sebenarnya, bu Asih sudah menyuruh Ara pulang sejak tadi, sebab kedai mi ini tutup satu jam lalu, tapi gadis ini tidak mau. Ketika di ajak pulang bersamanya, Ara juga menolak.

سُبْحا َنَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لَّاِلَهَ اِلَّا اَنْتَ، اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوبُ اِلَيْكَ 

“Maha Suci Engkau Ya Allah dan pujian kepadaMu, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku meminta ampun kepadaMu dan bertaubat kepadaMu.”

[H.R. An-Nasa’I dalam as-Sunan al-Kubra no.10067 bab ma tukhtamu bihi tilawatil Qur’an. Dishahihkan oleh Al-Albani di Silah Ash-Shahihah 7/495].

Ara mengakhiri bacaan Al-Qur'annya dengan doa penutup. Ia kemudian menyimpan Al-Qur'an dan mukena serta sejadah yang dikenakannya. Gadis ini memilih untuk pulang saja sekarang sebelum tengah malam.
Semenjak kejadian di gang kala itu, dia tidak pernah lagi pulang di atas jam 10 malam. Ia lebih memilih pulang dan menjadi pelampiasaan emosi sang ibu, jika di rumah.

Ara bergegas menutup pintu belakang dan menguncinya. Gadis berpakaian gelap ini lantas meletakkan kuncinya di dalam pot bunga yang tergantung di atas kepalanya. Mereka biasa menyimpan kunci rumah dalam pot-pot bunga yang mereka gantung di teras-teras rumah, kata Bu Asih sendiri, jarang ada orang-orang yang menyadarinya sehingga aman-aman saja.

Jujur saja, Ara merasa takut sebenarnya. Semenjak kejadian waktu itu, dia jadi tidak berani untuk melewati gang itu lagi, tapi mau bagaimana pun dia tetap harus melewatinya, karena hanya gang itulah jalan pulang ke rumah satu-satunya.

Ara langsung pulang, ia berjalan kaki sedikit melewati jalanan yang terang benderang karena lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang dan juga lampu jalanan. Allah pasti melindungiku.

Sepanjang perjalanan, seirama dengan langkah kakinya, pikiran Ara tiba-tiba memutar kenangan kelam yang terjadi di masa lalu.

“Ampun bu, ampun... hik.”

“Aduh bu... sakit...! sakit...!”

“Hik... sa-sakit bu.... ampun bu....”
Ara kecil yang selalu menangis tak bisa menahan sakit.

Tubuh Ara langsung terhuyung kesamping, melihat bayangan benda mengerikan yang mencabik tubuhnya berulang kali, setiap hari, pun salah atau benar. Gadis itu berpegang erat pada tembok pembatas di sebelahnya antara jalanan dan tempat pembuangan sampah. Jantungnya terus memacu dengan cepat, membuatnya terburu-buru membuka tas dan mencari obat penenang.

“Ayo aku bantu kamu pulang,” celetuk seorang pemuda di belakang Ara.

Kaget! Jelas saja Ara terkejut, seseorang tiba-tiba bersuara dengan jarak dekat di belakangmu, padahal kamu tau kalau kamu sedang berjalan sendirian.

Obat yang berupa pil itu langsung tumpah berserakan di bawah kakinya. Ara yang kelabakan langsung memasukkannya begitu saja, tak peduli bersih atau tidaknya.

“Maaf, aku gak bermaksud buat ngagetin, kamu tadi kayak mau jatoh, jadi aku-.” ujar pemuda itu, yang mana dia adalah Dinan.
Namun, tak sampai selesai Ara lebih dulu menyela.

“Maaf,” sela Ara. “Saya bisa sendiri. Maaf, saya harus pergi.”

Tanpa gadis berpakaian gelap itu sadari, ternyata keburu-buruannya, membuat dirinya menjatuhkan botol obatnya tersebut dan diambil oleh Dinan.

Faqih & Ara [COMPLETE]On viuen les histories. Descobreix ara