Satu

467 35 1
                                    

Kalau ada yg perlu dibenahi, komen aja gpp (:

***

Hal yang paling disukai bagi ketiga cowok tampan ini adalah saat sedang jamkos atau disebut freeclass. Seperti sekarang ini, duduk lesehan di bawah papan tulis, membicarakan apapun yang membuat mereka tertawa ngakak hingga terpingkal dan terguling-guling. Tapi dari ketiga orang tersebut, hanya satu yang sedari tadi tidak terlalu menggubris celotehan-celotehan unfaedah teman-temannya. Dia duduk dengan tangan kanan ditumpangkan pada kaki kanannya yang tertekuk, sementara yang satunya lagi selonjor. Memandang ke arah luar dengan lamat.

Ragil menendang kaki Faqih pelan sambil tertawa. “Woi Fak, lo liatin apa sih? Lo nggak denger nih, lawak banget loh ini sumpah,” ujarnya masih dengan tawa dan sesekali menepuk-nepuk lantai.

Dipanggil Fak seperti barusan, membuatnya mendengus, menatap horror Ragil yang tengah terkikik-kikik. Kebiasaan sekali orang ini memanggil namanya terpotong menjadi Faq lebih spesifiknya, pelafalannya itu menggunakan k bukan q.

“Manggil kayak gitu lagi, gue patahin leher lo,” sungut Faqih dengan sadisnya. Mengalihkan pertanyaan temannya ini.

Glek

Ucapan itu membuat cowok dengan rambut berantakan, Ragil melotot dan refleks memegang lehernya bergidik ngeri. Pura-pura.

“Sadis banget lo Faq. Eh, hehehe Faqih …” dia langsung menutup mulutnya kala kembali mengucapkan panggilan keramat itu dengan ekspresi lebay, lalu berubah menjadi cengengesan. Sementara Faqih, memutar bola mata jengah.

“Ya, nama lo kan emang Faqih, tapi enak aja gitu kalo manggil Faq, jadi nggak kepanjangan. Iya nggak Gil?” Dinan menyahut, berusaha membela temannya yang terancam akan digorok oleh Faqih, meski tidak akan sampai seserius itu.

Faqih terkekeh seperti seorang psikopat, mengerikan. “Pokoknya kalo gue denger lagi, tunggu aja,” kekehnya.

“Ya salam ... creepy banget lo, Faqih. Ngucap ... Astaghfirullahal 'azim ....”

Ragil berlagak seperti orang ustadz menatap Faqih sambil mengurut dada. Sementara Dinan, terpingkal melihat ekspresi Ragil, yang mana menurutnya benar-benar kocak. Seharusnya kalimat barusan lebih tepat ditujukan untuk dirinya sendiri.

Setelah ucapannya tak diacuhkan, Ragil terdiam, hanya sesaat. Selanjutnya kembali menyeletuk, “Woy, cabut yok. Sepet nih mulut gue,” ajaknya, dengan agak lirih pada kalimat terakhir. "Butuh obat nih."

Obat mulut yang dimaksud oleh Ragil adalah permen, terkadang permen betulan yang manis, namun sesekali permen berupa gulungan kertas dengan ujung berapi yang mengepulkan asap.

Dinan mengangguk. “Tempat biasa aja,” sahutnya. Tempat biasa yang mereka maksud adalah atap sekolah.

“Yoklah, kemaren dari samping temboknya udah gue kasih tangga tali. Buat kita latihan.” Ragil setengah berbisik.

Dinan terkekeh dengan alis bertaut. “Kapan? Perasaan lo sama gue dari kemaren.”

“Ya gitulah ...” sahut Ragil dengan bangganya.

Faqih menoleh, mengangkat sebelah alisnya. “Ngapain lo pasang kayak gitu? Nggak guna. Lagian tuh tembok tinggi, bukan pager yang cuma dua meteran,” semburnya.

Bangunan sekolah, merupakan gedung bertingkat. Tingginya pun belasan meter. Walaupun sebenarnya tidak ada apa-apanya bagi mereka. Bahkan para pemuda ini, pernah melakukan hal yang lebih ekstrim, yaitu panjat tebing tanpa pengaman. Tebing betulan. Tebing bebatuan yang curam. Hanya bermodal seutas tali, ketika mereka sedang berlibur di hutan. Bahkan Ragil, melakukannya dengan tangan kosong. Merangkak dan merayap seperti seekor laba-laba. Karena tingkah gilanya yang seperti binatang berkaki delapan itu, Dinan memberi julukan kepadanya “Crazy spider-Gil”.

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now