Tiga Belas

83 14 5
                                    

17 tahun yang lalu

Januari adalah bulan awal yang mana semester genap tahun ajaran ini baru saja dimulai. Setelah melewati libur panjang yang menyenangkan, atau justru membosankan, para siswa di paksa bersiap diri untuk melakukan kegiatan belajar di sekolah.

"Lidia Jey."

Seorang gadis yang merasa namanya di panggil pun menoleh cepat. Rambut sepunggungnya yang tergerai langsung tersibak saking cepatnya ia menoleh. Senyum manis terukir di bibir pink miliknya, melihat siapa gerangan yang memanggilnya barusan.

"Oh, Dimra. Ada apa Dim?" Tanyanya penasaran.

Pemuda yang juga mengenakan seragam yang sama itu, menggeleng dan memberikan senyum yang sama. Sama-sama manis. Yang mana, membuatnya terlihat semakin tampan.

Mereka jalan beriringan, melewati koridor bersama-sama.
"Mm... Ya, ada waktu gak siang ini? Pulang sekolah?"

Lidia berpikir sejenak, menimang lalu menggeleng dengan pasti.

"Hayo, pasti mau ngajakin jalan kan?" Tebaknya dengan antusias.

"Ah, ketauan. Tapi ada gak?"

Lidia menipiskan bibir dan menggeleng.

Lidia dan Dimra, sepasang manusia yang saling terikat rasa. Persahabatan diatas nama cinta.

"Baru juga udahan liburannya, malah ngajakin jalan. Harusnya tuh kemaren-kemaren," protes Lidia, lalu menarik lengan Dimra dan membawanya menuju kantin.

"Ya buat refreshing lagi dong. Oh iya, mamaku pengen kue yang kita beli kapan itu. Katanya enak banget."

"Hah seriusan enak? Tuh kan, apa aku bilang. Kamu sih, awalnya gak percaya. 'Yang namanya kue, roti, itu sama aja rasanya, tiap toko juga sama aja'. Nah loh, sekarang ketagihan."

Lidia meledek Dimra dengan semangatnya. Menirukan kalimat yang sama yang di ucapkan pemuda itu tempo hari.

Mereka sedekat ini, namun hanya sebatas sahabat. Dengan cinta yang selalu ikut campur di dalamnya. Menjadikan mereka dekat, dekat, saling terikat. Bersama-sama.

"Seneng banget ngungkit-ngungkitnya. Terusin aja terusin... gak papa kok."

Mereka berdua tertawa. Seolah-olah dunia sudah di sewa hanya untuk mereka berdua.

Seorang pemuda bersetelan anak kuliahan memasuki kantin. Tatapannya terus tertuju kepada Lidia. Lalu mengetikkan sesuatu di ponselnya. Kemudian menatap objek yang sama lagi.

Merasa ponselnya bergetar, Lidia mengeceknya. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tak di kenal.

+62 890xxxxxxxxx
Kamu terlalu senang hari ini. Apa kamu sudah bersiap?

Lidia mengernyit heran, lalu memberitau Dimra isi pesan tersebut dan pemuda itu menggeleng tidak tau.

***

Mata Dimra terbuka dengan perlahan. Ia meringis kesakitan pada punggung dan kepalanya. Lalu dia berusaha menjernihkan pengelihatannya.

Asing, sangat asing, itu hal pertama Dimra rasakan.

Kemudian ia memandang sekeliling dengan tidak mengerti dan menemukan Lidia sedang duduk terisak memeluk lututnya di sudut ruangan bernuansa putih ini.

Dimra bingung. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Lalu ia merasa ada yang salah. Sangat-sangat salah. Ia lalu menoleh kekiri dan kanan.

Dimana ini? Aish, kepalaku sakit banget.

Pemuda itu mencoba bangun, dan menyentakkan kepalanya. Begitu ia sadar sepenuhnya, mata Dimra langsung terbelalak dan jantungnya seakan mencelos, tercabut paksa dari tubuhnya. Ia sangat terkejut saat sadar dengan tubuhnya yang bertelanjang dada, hanya mengenakan celana jeans panjang. Selimut yang tadinya menutupinya, ia sibakkan ke lantai.

Lagi, ia dibuat mati rasa. Seperti ada banyak belati, tidak tetapi samurai yang menancap di dadanya begitu ia melihat bercak darah di tempat tidurnya.

Dimra seketika langsung berjalan cepat dan melipat kakinya di hadapan Lidia.

"Li-Li-lidia..." lirihnya.

Lidia mengangkat wajahnya yang berantakan. Dengan rambut kusut, wajah basah karena air mata dan sudut bibirnya berdarah. Mengenaskan. Bahkan pakaiannya pun telah robek-robek, bak di cabik-cabik oleh serigala hutan yang lapar.

"A-apa yang terjadi sebenernya?" Tanya Dimra bingung, teramat bingung.

Bagaimana ia tidak sebingung itu? Pagi-pagi buta kau mengalami hal yang tak pernah sama sekali kau sangka.

Lidia semakin terisak, tangisnya semakin menjadi. "Kamu tanya apa yang terjadi... hik... kamu jahat Dim... KAMU JAHAT!!!"

Lidia memukul Dimra dengan tangan mungil yang hampir tak memiliki tenaga.

"KAMU JAHAT!!! AKU BENCI KAMU DIM! AKU BENCI!!! AAAAAAAA!!!" Teriaknya lagi.

"Lidia, aku gak tau apa yang terjadi. Aku—"

"Kamu lupa? Kamu udah renggut semuanya. Kamu udah ambil semuanya. Kamu udah hancurin aku. Kamu jahat Dim... kamu sengaja. Kamu udah rencanain ini kan?"

"Enggak Ya."

"AKU UDAH PERCAYA SAMA KAMU DIM. AKU SELALU PERCAYA BAHWA KAMU AKAN SELALU NGEJAGA AKU, TAPI TERNYATA AKU SALAH. JUSTRU KAMU YANG HANCURIN IDUP AKU DIM."

Lagi, Lidia berteriak histeris kepada Dimra, melampiaskan segala kekecewaannya pada pemuda itu. Sementara Dimra, benar-benar bingung. Ia tidak melakukan apapun.

"Idup aku udah hancur... bener-bener hancur Diiim... hik... hik..."

"AAAAARGH." Dimra langsung berdiri dan meninju tembok dengan kuatnya.

Dimra memakai kembali kaosnya, lalu berlari ke bawah. Memasuki toko baju dan membelikan pakaian untuk Lidia. Cepat-cepat ia kembali keatas.

"Ya, bersihin diri kamu sekarang. Ini pakaian ganti. Aku bakal tanggung jawab sama kamu dan bilang sama orangtua kita," ujar Dimra dengan matang. Matanya serasa ngilu, begitu pula dengan jiwanya yang seakan diremukkan.

Sepanjang perjalanan dari toko baju kembali ke kamar ini, Dimra teringat. Bukan ia yang melakukannya. Kemarin, seseorang membekap mulut Lidia dengan sapu tangan, lalu membawanya pergi, dan ketika ia mengejarnya, kepalanya di pukul dengan benda keras. Lalu pagi ini, ia bangun dalam keadaan yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikirannya.

Dimra pun menuju balkon bersandar pada tembok, perlahan tubuhnya merosot, hingga terduduk di lantai. Ia mengusap wajah dan rambutnya kasar.

Bukan dirinya. Ia tidak pernah melakukan itu, bahkan memiliki niat sebejat itu sama sekali tidak pernah.

Tapi, dia ada disini. Di tempat yang sama. Di ruangan yang sama. Dan, di ranjang yang sama. Semuanya menunjukkan jika ia memang pelakunya.

Ia telah putuskan. Akan bertanggungjawab atas apa yang terjadi ini.

***

Jangan lupa buat selalu tinggalin jejak,

Faqih & Ara [COMPLETE]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt