Sepuluh

109 18 1
                                    

Jam sekolah telah usai bermenit-menit yang lalu, hampir satu jam. Hanya tersisa anak-anak eskul dan sejenisnya, para remaja berpacaran dan juga orang-orang tersisih seperti Ara.

Ara berada dalam perpustakaan sekolah yang masih terbuka dengan pengunjung rata-rata adalah anak mading. Gadis itu sendirian, tidak ada Risa yang biasa menemaninya. Dia duduk di sudut sambil menulis sesuatu pada bukunya. Ara tidak bermain ponsel seperti kebanyakan para remaja kekinian. Jika ada perlu padanya, bicara secara langsung dan jika dia yang membutuhkan, maka dia akan pergi ke tempat telepon umum dengan bermodalkan uang dan nomor telepon. Apa Ara pernah menonton televisi? Tidak, lagipun ibunya tentu saja akan menghukumnya jika tau.

"Jika tidak berguna dalam wujud manusia... maka pake kata-kata. Apa seperti menulis novel?" Batin Ara.

Ara teringat pada buku yang pernah ia baca waktu itu. Lagi, ia pun teringat pada pemuda yang memberikanya sapu tangan itu, meski masih belum tau namanya.

Dia berdiri, lalu mencari buku-buku novel islami seperti karya Asma Nadia dan sebagainya. Membuka satu-persatu bagian pertama dalam buku tersebut untuk mengetahui siapa penerbitnya.

"Mungkin, aku bisa kaya mereka. Tidak ada yang mustahil selama ada kemauan dan kesungguhan." Ujarnya dalam hati.

Dia mulai menulis kata demi kata dan merangkainya menjadi sebuah paragraf panjang. Menumpahkan segala kisah hidupnya yang pelik. Menjadikannya sebuah cerita, meski baru bagian pertama. Mungkin saja, orang yang membacanya akan terinspirasi dengan 'kesabaran' yang sesungguhnya.

Hari ini Ara sudah tak lagi kerja pada bu Asih. Kemarin, bu Asih bilang padanya untuk berhenti bekerja saja dan dengan terpaksa, Ara mengiyakan. Sejak semalam, Ara terus memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya setelah ini. Akan bekerja dimana lagi? Dan berpikir, kalau perkataan ibu angkatnya itu akibat dari pemaksaan atau ancaman dari Ibu kandungnya?

Kepalanya pusing. Seiring dengan banyaknya kata yang telah ia tulis.

"Astagfirullah, obat itu? Dimana?" Tanyanya lirih pada dirinya sendiri. Kemudian dia teringat sesuatu. "Ya Allah, jangan-jangan..."

***

"WOY!" teriak Ragil heboh ditengah-tengah kekhusyukan mereka berempat.

Krik-krik-krik

Fuuuuss

Tidak ada yang merespon. Semua mengacuhkannya, seolah-olah tidak melihatnya. Dia jadi kesal.

Ragil menarik nafasnya dalam dan mengambil ancang-ancang. "WOI LO PADA!" Teriaknya lagi, dan lagi-lagi diacuhkan. "What the fuck..." umpatnya lirih.

"Apa sih lo, gaje banget gila." Akhirnya Ragil tidak diacuhkan, Dinan menyahut kesal.

"Kita liburan yok, menjelajah alam atao ke puncak gunung everest," usul Ragi random.

Faqih mengalihkan pandangannya dari puzzle di hadapannya dengan alis tertaut heran. "Belum liburan. Lagian, benerin dulu tuh nilai lo, jeblok semua."

"Hahah, jeblok semua."

"Anjir lo Nan, gue kan cuma ngajakin. Lagian, bosen gue sekolah," aku Ragil dengan gamblangnya. Memang dasar otaknya sudah ngeblank.

"ANJING!"

Semua mengalihkan fokus kepada Fikri, kaget dan bingung.

"Apa lagi sih?!" Kesal Faqih. Hampir saja puzzlenya ia banting kearah sahabatnya itu.

Fikri mendadak heboh, tidak santai dan kalem seperti biasa. "Lo, gak bakal percaya Qih."

Ini pasti serius, sudah pasti. Dan benar saja, apa yang di sampaikan Fikri, adalah inti dari apa yang mereka cari.

"She's in danger..."

***

Ara telah selesai dan menyimpan tulisannya dengan buku yang khusus yang dia beri tanda. Sebuah cerita yang baru bagain pertama dan sebuah puisi yang berisi curahan hatinya.

Jam terus berputar tanpa terasa, hari sudah semakin sore. Kemana ia akan pergi setelah ini, tak mungkin dia langsung pulang. Ia pun memutuskan untuk ke masjid dan berdiam diri dulu disana.

Hatinya tiba-tiba merasa lelah dan memintanya untuk menyerah. Salah apa kah dirinya, sampai-sampai hidupnya setidak-adil ini? Apa dia pernah menyakiti seseorang? Rasanya tidak atau dia saja yang lupa?

La, la tahla.

"Jangan ngeluh! Jangan ngeluh Ara! Jangan!" Batinnya.

Ia sangat lemah, benar-benar lemah dan rapuh. Sendirian, mencoba mengokohkan diri tanpa penopang. Seperti tanaman yang layu tanpa batang yang keras.

Jika ini adalah sepertiga malam, dia akan berdoa. Menangisi kelemahan jiwa dan raganya di hadapan Sang Pencipta. Menangis dengan sejadi-jadinya dan berharap dengan penuh keyakinan jika esoknya dia akan bahagia.

Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan sekali hembusan. Ara menipiskan bibirnya. Dia pun menghapuskan airmata yang nyaris mengalir.

"Ada Allah. Kau tidak sendirian. La tahla."

***
Assalamu'alaikum...
Masih setia nunggu? Maap ya lama hehehe

Jangan lupa tinggalkan jejak ✩
dan komen kalian♡

Terimakasih,
Wassalamu'alaikum...

Faqih & Ara [COMPLETE]Where stories live. Discover now