Part 12 : Tell Me Your Story

3.7K 283 1
                                    

Keenan

Kenapa aku menuruti permintaannya?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku ketika mengamati street map di layar ponsel. Sepulangnya dari club dimana aku bertengkar dengan Tarisha malam itu, dia mengirimiku sebuah pesan singkat.

Mari bertemu. Let's talk for a moment, will ya?

Garis merah di peta semakin pendek, itu artinya dia ada disekitar sini. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan akhirnya mataku menangkap sosok perempuan sedang duduk menunduk memainkan kuku-kuku jarinya.

"Sudah lama menunggu?" tanyaku

Perempuan itu mendongak, "Kamu datang rupanya. Saya hampir aja pulang tadi"

Aku mendudukkan diri di sebelahnya, "Saya bukan orang yang suka ingkar janji"

"Baguslah," sahutnya

"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku sambil meneliti wajahnya

Dia terlihat murung dan sedikit gelisah.

"Kenapa kamu meng-iya-kan ajakan saya?" tanyanya

"Anggap saja ini cara saya berterima kasih karena kamu sudah merawat ibu saya," jawabku asal karena sejujurnya aku juga tidak yakin kenapa aku menuruti ajakan itu

Perempuan itu hanya mengangguk pelan dan kembali diam.

"Kamu sedang ada masalah?" tanyaku memecah keheningan

"Semua orang punya masalah," jawabnya pelan

"Jadi, kamu mau curhat sama saya?" tebakku

Perempuan itu menggigit bibir bagian dalamnya, "Tadinya begitu, tapi sekarang saya tidak yakin mau cerita atau tidak"

"Karena saya sudah disini jadi kamu bisa cerita sama saya"

Kirana

Aku menatap laki-laki itu dan meneliti wajahnya. Tidak ada tanda-tanda kebohongan disana.

Tapi, apa yang akan dia pikirkan tentangku nanti setelah aku mengatakan ini padanya? Bisa-bisa dia semakin ilfeel padaku.

"Dokter?" panggilannya membuyarkan lamunanku

"Sorry," lirihku

"It's okay kalo kamu engga mau cerita. But, at least kamu harus selesaikan masalah apapun itu yang ganggu pikiran kamu. Remember that you have your patients to care for," ujarnya

"You're right, I have a lot of people to care for"

but no one really care for me, lanjutku dalam hati

"Wait a minute," ujarnya seraya beranjak dari tempat duduknya

Mataku mengekori langkah kaki laki-laki itu sampai sosoknya hilang dibalik pintu minimarket.

Selang beberapa lama, dia kembali dan menyodorkan satu cup es krim coklat padaku.

"Thank you," ujarku seraya tersenyum, tapi tiba-tiba dia menarik tangannya membuat es krim itu menjauh dari jangkauanku

"Kamu engga alergi coklat, kan?" tanyanya

Aku terkekeh, "I'm chocho-holic"

Dia tersenyum lalu menyodorkan es krim itu kembali padaku.

"Orang bilang coklat itu bikin happy. Jadi saya beliin ini biar kamu engga galau terus-terusan," ucapnya seraya menyuapkan sesendok es krim

Aku tersenyum menatap es krim dalam genggamanku, "Kamu percaya itu?"

"Well, sebenarnya engga. Tapi, adik saya kelihatan happy pas lagi makan  coklat dan dia juga selalu makan coklat kalau lagi badmood. Sepupu dan beberapa rekan kerja perempuan saya juga begitu. Tapi, itu ngga berlaku buat pacar saya karena dia alergi coklat," jawabnya

Aku mengangguk sambil mengecap rasa manis coklat yang semanis sikapnya saat ini.

"By the way, gimana kabar pacar kamu? Hubungan kalian baik-baik saja? Sorry ya karena waktu itu saya bikin kalian berantem," ujarku

Mendengar perkataanku, laki-laki itu urung menyuapkan sesendok es krim yang telah di pegangnya.

"Kami bertengkar hebat kemarin malam. Sebenarnya sebelum kamu datang ke kehidupan saya pun kami sudah sering bertengkar"

"Pertengkaran kalian kemarin malam itu, apa ada kaitannya dengan saya?" tanyaku merasa bersalah

Keenan mengangguk, "Tapi itu bukan salah kamu"

"Terus?"

Laki-laki itu menghela nafas, "Saya excited banget waktu adik saya kasih kabar kalau mama saya sudah boleh pulang dari rumah sakit, tapi dia malah nuduh saya lagi chatting sama kamu. Terus dia nuduh mama saya sudah ngehasut saya buat berhubungan sama kamu"

"Sorry ya saya jadi curhat," tambahnya

"It's okay, saya bisa beliin kamu es krim lagi kalau masih galau," sahutku sambil melirik es krimnya yang tinggal sedikit

Laki-laki itu tertawa, "Benar juga. Gaji dokter pasti banyak"

"Oh come on, saya berani bertaruh kalau gaji pilot masih lebih tinggi," sangkalku sambil tertawa

"Kapten," panggilku membuatnya berhenti tertawa

"Hm?"

"Menurutmu seberapa penting latar belakang seseorang?" tanyaku

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya seperti itu?"

Aku menghela nafas, "Kemarin saya engga sengaja ketemu sama mantan calon ibu mertua saya, dia bilang kalau dia bersyukur saya batal jadi menantunya karena dia engga bisa menerima latar belakang saya"

"Saya pribadi sih engga terlalu mempermasalahkan latar belakang seseorang. Setiap orang punya latar belakangnya masing-masing dan terkadang kita sebagai manusia engga bisa milih mau latar belakang yang kaya gimana. Kita juga engga punya hak untuk menghakimi kehidupan seseorang cuma gara-gara latar belakangnya," ujarnya panjang lebar

"Andai saja semua orang punya pemikiran seperti kamu," sahutku

"Sebenarnya kamu harus bersyukur karena batal jadi menantunya," selorohnya

Aku menautkan alis, "Pardon?"

"Kalau kamu beneran jadi menantu dia, saya yakin pasti kamu bakal lebih menderita"

Aku terdiam. He got his point.

My Perfect Random ManWhere stories live. Discover now