Lentera Hilang

29 2 2
                                    

~☆~

Aku lupa atas Lentera Lama itu. Bahwa pada nyatanya jika Lentera itu terus menyala, dia memang layak akan terbang. Mau seremang apapun cahayanya. Dia akan menyatu dengan langit di atas sana. Jauh hilang. Sebelum akhirnya, dia meredup.

~☆~

Kelina mengerjap. Segurat cahaya menerpanya dari jendela kamar yang tidak tertutup rapat. Matanya terasa layu, tidak secerah pagi itu. Kelina sangat ingat kejadian semalam. Di mana dirinya baru saja mengalami pertengkaran yang cukup ngeri dengan Arsen--Ayahnya. Saat Kelina saling membela dengan pemuda yang tadinya sangat Kelina percayai. Aftab, pemuda itu sekaligus membuat Kelina kecewa.

Malam itu malam yang Kelina tak pernah duga sebelumnya. Malam saat gadis yang selalu memberikan tatapan tajam pada Kelina--Vanya, mengucapkan kalimat kunci, berhasil menyetrum Kelina.

Selama ini Aftab yang selalu menghibur Kelina. Aftab yang memberikan hal-hal ajaib di hari-harinya. Tetapi, sakit sekali tahu bahwa dialah anak dari yang selama ini membuat hancur hidupnya.

Kenapa Aftab tidak bicara sejak awal perihal itu? Kenapa harus Kelina dengar dari mulut orang lain? Kenapa Kelina merasa dibodohi selama ini?

Kelina salah. Selama ini bukan Aftab yang membangun kepercayaannya. Tapi, dirinya sendiri. Seharusnya Kelina tidak membangun kepercayaan itu sejak awal dengan mudah. Lihat, akhirnya kepercayaan itu runtuh kan?

Kelina mengeluh gusar. Jam pagi itu sudah menunjukkan pukul 09.17. Itu tandanya Arsen sudah berangkat ke kantor. Kelina beranjak dari tempat tidurnya, hendak membasuh muka. Dia sempat melewati cermin rias di kamarnya. Terpampang jelas raut wajah Kelina yang sangat kacau.

Semalam Kelina terisak beberapa jam sebelum akhirnya dia terlelap. Kejadian semalam juga berhasil membangunkan ingatan Kelina tiga tahun silam. Itu cukup untuk membuat Kelina berkecamuk dan kembali merasa ketakutan yang dia pun tidak mengerti.

Kedua mata Kelina tampak membengkak, sembap. Tidak mungkin kan, Kelina memotong rambutnya lagi? Rambut Kelina masih cukup pendek untuk saat ini.

Dringgg ....

Kelina menoleh ke sumber suara. Itu deringan handphone-nya di atas nakas. Kelina gontai mengambil benda pipih tersebut. Siapalah yang menelpon Kelina? Sesungguhnya, Kelina sedang tidak ingin diganggu siapa pun.

Bude Nami. Kelina melihat jelas nama yang tertera di layar handphone-nya. Tanpa menunggu lama, Kelina segera mengangkat sambungan telepon itu.

"Halo, Bude?"

"Lina ... Mama kamu ...."

Dahi Kelina berkerut. Mendengar suara Bude Nami di seberang sana. Mengapa Bude Nami terdengar terisak seperti itu?

"Mama kenapa, Bude?"

"Mama kamu kritis, Lina."

Kedua mata Kelina membulat. Dia menyeringai renyah, tidak percaya. "Bude gak bohong, kan?"

"Lina ... Maafin Bude."

Sekujur tubuh Kelina melemas saat itu juga. Dia memutuskan sambungan telepon itu sepihak. Pikirannya kembali berkecamuk. Semua isi benak Kelina terambil alih oleh Mamanya.

Kelina menggeleng samar. Dia tidak boleh diam saja. Kelina harus memastikan keadaan Mamanya tersebut. Beliau tidak boleh kenapa-napa. Tidak, tidak boleh! Jemari Kelina dengan gesit menari di layar ponsel.

Kelina memesan tiket kerangkatannya ke kota lama siang ini juga. Kelina bersyukur masih ingat memiliki sejumlah uang yang dia dapat dari kemenangan lomba sketsa kemarin. Jadi, Kelina tak perlu menunggu Arsen memberikan uang padanya. Tabungan Kelina juga belum seberapa karena terpakai liburan akhir semester kemarin.

Perasaan Kelina semakin cemas. Usai Kelina berhasil memesan tiket lewat digitalnya, Kelina mengambil secarik kertas dan pulpen di atas meja belajar.

Ayah, maaf, Kelina harus pergi temuin Mama. Mama kritis. Maaf, Kelina gak bilang dulu sama Ayah. Maafin Kelina, Yah.

Itu yang Kelina tulis. Kelina dan Arsen memang tidak pernah berkomunikasi lewat handphone. Mana pernah Arsen mau mengangkat telepon Kelina atau membalas pesan.

Kelina langsung bergegas. Dia harus segera menyiapkan keperluan keberangkatannya. Kelina tidak boleh terlambat. Bahkan saking cemasnya, setitik air mata Kelina lolos.

Kelina langsung menyekanya. Jangan sekarang. Ini bukan saatnya menangis.

Mama harus kuat, Ma. Mama gak boleh menyerah. Tunggu Kelina datang. Mama gak boleh tinggalin Kelina.












REMENTANGWhere stories live. Discover now