Senja

77 8 2
                                    

Kelina bersyukur hari ini adalah hari minggu. Sebab dia tak perlu membolos karena Kelina tengah dihukum Arsen hari ini.

Ya. Seperti biasa. Kelina tak jarang mendapat hukuman untuk tidak pergi keluar rumah jika dia telah membuat Arsen marah. Alhasil, Kelina akan seharian di kamar seperti saat ini.

Jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Kelina di atas ranjang sibuk menggoreskan pensilnya pada buku sketsa. Itulah yang dilakukan Kelina ketika dia tidak tahu harus melakukan apa di rumah.

Arsen? Tentu saja beliau tidak ada di rumah. Meskipun hari libur, tak akan ada kata Arsen berada di rumah. Beliau akan pulang sore hari, itu pun paling cepat. Keseringan pula pulang begitu malam. Tidak bisa ditebak.

"Sssttt ... "

Seketika Kelina menghentikan kegiatan gambarnya. Dia menoleh, mencari sumber suara tersebut. Tepat di jendela kamarnya yang terbuka, seseorang berdiri di sana.

Aftab. Bagaimana anak itu bisa ada di sini?

Kelina langsung beranjak, menghampiri.

"Lo mau ngapain?" tanya Kelina.

"Mau main sama lo."

"Main?" Kelina menaikkan satu alisnya.

"Iya. Udah ayok ikut aja."

"Tapi, gue lagi dihukum sama Ayah."

"Sebentar doang," paksa Aftab.

"Jam 2?"

"Jam 3. Deal. Ayok."

Kelina sedikit kewalahan saat Aftab menariknya keluar dari jendela. Kelina menggerutu, tawaran untuk jam Aftab mengembalikannya pulang itu tidak sesuai. Ini ditambah Kelina harus keluar lewat jendela.

"Emang gak bisa lewat pintu depan aja apa," cebik Kelina.

"Kelamaan."

Kelina mencibir. Dia masih terus dituntun Aftab menuju depan pagar rumahnya. Motor besar sudah terparkir disana. Tanpa sepatah kata pun, Aftab memakaikan helm dengan motif bunga-bunga kecil yang tak absen dibawanya pada Kelina.

Aftab menaiki motor besarnya disusul Kelina. Mereka langsung melesat meninggalkan perumahan.

Sepanjang perjalanan Aftab dan Kelina lebih banyak bungkam. Jalan raya tidak terlalu padat sepertinya siang hari ini. Kelina hanya asyik melihat pemandangan yang mereka lewati. Dia sama sekali tak tahu kemana Aftab akan membawanya.

"Kita mau kemana?" Kelina bertanya.

Aftab tidak menjawab. Kelina dapat melihatnya dari kaca spion motor besar itu, Aftab terlihat redup, tidak seperti biasa. Raut wajahnya sama ketika Kelina menemukan Aftab di halte dekat sekolah.

Ada apa dengan anak ini?

Kelina menumpukan kepalanya di bahu Aftab. Kelina yakin, pemuda jakung ini sedang tidak baik-baik saja.

"Kenapa, Af?"

Aftab belum menjawab. Ia hanya melirik Kelina melalui kaca spion sekilas. "Lo yang kenapa, mata lo sembap?"

Kali ini Kelina yang bungkam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Bukan waktu yang tepat, jika Kelina bercerita bahwa semalaman dia habis menangis sebab pertengkaran dirinya dengan Arsen--ayahnya. Lagi pula kan Kelina bertanya, mengapa Aftab malah bertanya balik. Dasar pemuda menyebalkan.

Jalanan lengang yang Kelina lihat lambat laun berganti menjadi pemandangan ladang ilalang yang indah. Kelina sedikit takjub, dia belum pernah ke sini sebelumnya.

Aftab memberhentikan motornya di pinggir jalan tepat di tengah ladang ilalang itu. Ia melepas helm, begitu pun Kelina.

Tanpa turun dari motor, Kelina sibuk menyusuri pandangannya pada ladang ilalang yang sangat luas tersebut. Mengapa Aftab membawanya ke sini?

"Kita mau ngapain, Af?" tanya Kelina.

"Tutup telinga lo sekarang,"

Kelina sempat mengerutkan dahi tidak mengerti. Tapi tanpa disuruh dua kali, Kelina mengikut apa yang Aftab ucapkan.

"Aaaa!" Aftab berteriak dengan kencang, merentangkan kedua tangannya.

"Berisik tau!"

Aftab terkekeh melihat wajah sebal Kelina di belakangnya. Gadis itu masih menutup kedua telinganya rapat-rapat.

"Mau coba?" tawar Aftab.

Kelina hanya menaikkan satu alisnya, masih tidak mengerti. Tanpa menunggu lebih banyak jawaban, Aftab melepaskan kedua tangan Kelina dari telinga, ia menuntunnya turun dari motor.

"Lo harus coba. Lari ke sana ... lompat dan teriak sesuka lo. Luapin semua apapun yang lo pendam." Aftab menunjuk salah satu pohon besar di tengah ladang ilalang sana.

Senyum Kelina tercetak. Dia sekarang tahu mengapa Aftab membawanya kesini.

"Siapa duluan sampai pohon sana dia menang!" Tanpa menunggu, Aftab langsung berlari meninggalkan Kelina.

Kelina sempat terkejut. Enak saja! Aftab curang! Tapi Kelina dengan cepat berlari menyusul Aftab dengan semangat.

"Aaa!" Kelina melompat, dia berhasil membalap Aftab melewati rumput ilalang yang tinggi menguning di sana.

Kelina tertawa lepas sesampainya di pohon rindang tengah ladang ilalang itu. Aftab benar, Kelina dapat meluapkan apapun yang dia rasakan di sini.

Aftab di depan sana baru saja terlihat, menyusul Kelina. Ia ikut tertawa. Segenggam bunga ilalang tertaut di tangannya.

"Nih." Aftab menyodorkan bunga ilalang tersebut pada Kelina.

"Kok bunga ilalang?"

"Terus maunya apa?"

Kelina terkekeh, menggeleng.

Mereka memutuskan duduk di atas rerumputan tepat di bawah pohon rindang sana. Kelina kembali menyusuri pandangan, sepertinya dia menyukai tempat ini. Nyaman dan ... menenangkan.

Aftab pun tampak tidak jauh berbeda dengan Kelina. Ia kembali bungkam. Kelina memerhatikannya. Pria itu terlihat misterius jika seperti ini. Sekejap ceria, sekejap bungkam.

"Kenapa, Af?"

Aftab menoleh, menatap Kelina dengan lekat sesaat. Jari telunjuknya mencolek pipi kiri Kelina. "Ini yang kenapa, merah gitu?"

Kelina cepat menepis colekan Aftab. "Sakit tau!"

Aftab menaikkan satu alisnya meminta penjelasan. Kelina masih belum memberikan jawaban. Kelina tahu, pipi kirinya pasti masih membekas sebab tamparan Arsen kemarin. Apa dia harus menceritakannya? Kelina menghela napas pelan, melihat Aftab yang terus menunggunya.

"Ayah marah sama gue, telat pulang dari rumah Chintya."

"Kok bisa?"

"Iya ... Gue pulang udah jam lima sore dan gak nemuin angkutan umum."

"Kenapa lo gak telpon gue? Kan bisa jemput lo."

Kelina tersenyum. Wajah Aftab tampak begitu serius mengkhawatirkannya. "Gak ah. Males."

Tangan Aftab langsung terjulur mencubit gemas hidung Kelina. "Orang lagi serius juga."

Tawa mereka pun lepas saat itu juga.














REMENTANGNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ