Mentari (1)

104 11 0
                                    

Satu jam sudah berlalu. Kelina dan Aftab akhirnya menyelesaikan catnya pada dinding dan atap dalam rumah kayu. Kini mereka harus beralih pada cat warna putih untuk tahap selanjutnya.

"Lo tau? Ini yang bakal gue suka."

Kelina mengerutkan dahi pada Aftab. Dia tidak mengerti ucapan Aftab barusan. Pemuda itu berdiri, lalu tiba-tiba melompat dan menyipratkan cat ke mana pun yang ia suka.

"Lo harus coba, Kel." Aftab menyipratkan cat pada Kelina.

"Aftab!"

Kelina tak mau kalah. Enak saja Aftab menjahilinya. Dia harus membalas cipratan Aftab.

Aftab tertawa di sana, berusaha menghindari Kelina. Dan tentu saja, juga menjahilinya lebih lanjut.

"Tunggu ... " instrupsi Aftab itu membuat mereka berdua terhenti. Tangan Kelina yang tengah terangkat ke atas, ditangkap oleh Aftab.

"Hujan, Kel."

Aftab langsung keluar rumah kayu, bergegas mengambil box dan semua peralatan miliknya. Benar saja, suara rintikan yang Aftab sempat dengar tadi tidak salah lagi. Hujan turun begitu deras usai Aftab kembali ke dalam rumah kayu.

Kelina dan Aftab akhirnya memutuskan duduk di tengah ruangan rumah kayu itu. Mereka mencukupi kegiatannya. Kelina disana membersihkan wajah yang terciprat cat tadi memakai kain dari box di hadapannya dan Aftab.

Aftab sibuk menyalakan lampu petromax dari box. Setidaknya itu bisa membuat ruangan rumah kayu ini lebih terang dari sebelumnya.

"Capek, Kel?"

Kelina menggeleng.

"Gue mau nanya dong," ujar Kelina.

"Nanya apa?"

"Lo gak punya adik atau kakak?"

Aftab menggeleng. "Gue anak satu-satunya."

"Tadi lo kenapa nangis?" Aftab kali ini gantian bertanya.

Kelina diam sejenak. Bagaimana Aftab tahu dia menangis tadi? Bukankah hanya setitik air mata yang Kelina keluarkan? Itupun langsung Kelina hapus. Padahal Kelina sudah berharap Aftab tidak mengetahuinya.

"Hah? Gapapa. Gue ... lagi sedih aja tadi."

Mau seperti apapun pokoknya Kelina harus terlihat meyakinkan di depan Aftab. Apa mungkin dia harus menceritakan semua pada Aftab?

"Sekarang gak sedih lagi, kan?"

Kelina tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Aftab yang juga tengah menatapnya.

"Enggak."

Segurat senyum juga tercetak di bibir Aftab. Kelina beralih pada isi box di hadapannya. Seperti yang dikatakan Aftab, isi box itu berisikan pernak pernik planet-planet, tata surya, hingga stiker galaksi di sana.

Tetapi yang paling menarik perhatian Kelina adalah lampu bulat sempurna berbentuk bulan. Kelina menekan tombol untuk menyalakannya di sana. Lampu bulan itu bersinar sempurna. Persis miniatur rembulan yang tengah menerang.

Kelina tersenyum kagum. Itu indah sekali.

"Gue udah lama banget gak liat bulan. Dulu gue suka banget liat bulan tiap malam, bahkan gak terlewat. Tapi, sekarang gue baru liat lagi. Meski ini cuma hiasan."

Aftab ikut tersenyum. Ia tampak beralih mengambil sesuatu juga di dalam box. Itu gantungan dengan bentuk matahari. Aftab memamerkannya pada Kelina.

"Matahari itu lebih gagah, Kel. Gue lebih suka matahari. Dia menerangi dunia. Kata Ibu gue nih, gue harus seperti matahari. Bersinar meski dia sendiri."

"Lagipula, matahari juga kan yang di belakang bulan, sampai akhirnya bulan bisa bersinar," lanjut Aftab.

Kelina menatap Aftab begitu lekat. Mata elang pemuda itu cukup indah untuk saat ini. Meski tajam namun aura pelindung darinya Kelina dapat rasakan. Aftab tampak begitu tulus. Mendengar pernyataan Aftab, Kelina jadi mengetahui sesuatu. Dia menghela napasnya pelan.

"Tapi, rembulan sama matahari gak mungkin bersama."












REMENTANGWhere stories live. Discover now