Senja (1)

74 8 4
                                    

Kryukk!

Tawa Aftab dan Kelina yang tadinya telah mereda, sekarang kembali terdengar. Aftab terkekeh menggelengkan kepala menatap Kelina.

Iya, masalahnya itu suara perut Kelina yang terasa sangat lapar. Kelina hanya ikut tersenyum malu.

"Eh ... Mau kemana?" tanya Kelina, dia melihat Aftab langsung beranjak dari tempatnya. Pemuda itu menjulurkan tangannya berniat membantu Kelina bangun.

"Pulang. Lo laper kan?"

Kelina bangkit dari duduknya, menerima juluran tangan Aftab. "Gak cari kedai makan aja?"

"Menghemat."

Kelina terkekeh mendengar jawaban Aftab. Tumben sekali pemuda itu mengambil keputusan yang benar. Tanpa menunggu apapun lagi, dia mengekori Aftab menuju motor besar pemuda tersebut.

~~~

Kelina menghela napas pelan, menumpukkan kepalanya pada bahu Aftab. Pemuda itu sekarang tengah berkonsentrasi mengendarai motornya. Tidak ada pembicaraan diantara mereka sampai saat ini. Kelina sedari tadi hanya sibuk melihat keramaian jalan. Kelina tahu jalan yang mereka lewati bukanlah menuju ke rumah Kelina. Dia sudah bisa menebak, Aftab pasti akan membawanya ke rumah pemuda tersebut.

"Lo sering diem akhir-akhir ini, Af," ujar Kelina memecahkan kebisuan. "Kenapa?"

Aftab belum menjawab. Ia hanya melihat Kelina sekilas melalui kaca spion motornya.

"Ya meskipun lo tetap aneh, nyebelin," lanjut Kelina.

Aftab terkekeh. "Perasaan lo doang kali."

Kelina dapat melihat wajah Aftab yang tepat di samping wajahnya. Pemuda itu sedikit terlihat misterius. Atau tepatnya aneh berkali lipat. Terlebih ketika dirinya menjadi sedikit pendiam. Seperti ada yang disembunyikan darinya. Tapi, apa yang tengah disembunyikannya itu?

Sepuluh menit berlalu, Kelina dan Aftab akhirnya sampai. Rumah luas bernuansa elegant itu kembali Kelina pijaki. Sebuah mobil sedan tampak terparkir di sisi halaman. Kelina sempat mengerutkan dahi, dia belum melihat mobil tersebut sebelumnya.

Seusai turun dari motor Aftab, pemuda itu menuntun Kelina masuk. Kelina dengan cepat menepiskan pikirannya. Mungkin itu mobil ibunda Aftab atau kerabat yang tengah bertamu, pikir Kelina. Mengingat Kelina belum pernah bertemu oleh ibunda Aftab juga.

"Ma ... Aftab pulang."

Seorang wanita paruh baya muncul dari sisi ruangan. Ya, Kelina sudah bisa menebaknya, tak lain itu pasti Ibunda Aftab. Beliau menghampiri Kelina dan Aftab dengan senyum di wajahnya.

"Kelina, Tante," Kelina memperkenalkan diri.

Dianti--Ibunda Aftab tersenyum penuh ramah pada Kelina. Tapi bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya yang berpakaian lengkap oleh jas ikut muncul dari sisi ruangan.

Yang membuat Kelina cukup terkejut bukan itu. Namun ialah gadis yang bersama dengan pria paruh baya tersebut. Kelina mengenalnya.

Vanya.

Iya benar, itu Vanya. Gadis yang satu angkatan di sekolah dengannya. Tak pernah absen oleh tatapan tajam yang diberikan untuk Kelina.

Gadis tersebut tampak sedikit sayu dari terakhir Kelina bertemu dengannya di rumah Chintya kemarin. Namun tetap saja, tatapan isyarat bahwa dia tidak suka langsung Kelina dapat saat bertemu langsung dengan sepasang matanya.

"Kenapa laki-laki ini ke sini lagi, Ma!" Aftab yang di samping Kelina seketika menggeram melihat pria paruh baya di hadapannya.

"Aftab, Ayah kamu cuma ingin bertanggung jawab--" ucapan Dianti terpotong.

"Laki-laki tanggung jawab seperti apa, Ma, yang ninggalin keluarganya sendiri!"

Damn!

Kelina membeku seketika. Tadi apa katanya?Ayah Aftab? Bukankah Ayah Aftab sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu? Lalu sekarang ... Ah, apa ini maksudnya?

"Aftab, Papa--"

"Kita pergi dari sini, Kel." Tanpa mendengar apapun dari pria paruh baya di sana, Aftab menarik Kelina keluar dari rumah.

Kelina yang masih terpaku hanya mengekori. Mereka kembali menaiki motor besar Aftab meninggalkan perkarangan rumah. Kelina dapat melihat wajah geram Aftab. Pemuda itu benar-benar meluapkan emosi amarahnya.

"Berhenti, Af," ujar Kelina.

Aftab menurut. Ia meminggirkan motornya di trotoar yang tampak lengang. Kelina pun turun dari motor tersebut. Aftab terlihat amat kacau.

"Lo bohong sama gue." Suara Kelina terdengar serak.

Kejadian tadi cukup membuat Kelina tercekat. Selama ini Aftab adalah orang yang Kelina sangat percaya. Tapi, melihat kebenaran tadi mengapa berhasil Kelina merasa sakit? Kenapa Aftab tidak berterus terang saja padanya?

"Lo bilang Ayah lo udah meninggal sepuluh tahun yang lalu!"

Kelina terus menatap lekat Aftab yang tampak suram, pemuda itu tidak menatap Kelina. Hingga pada akhirnya Kelina mengalihkan pandangannya, bendungan di mata Kelina berhasil menetes. Kelina pun tidak mengerti, baru kali ini Kelina merasa amat dibohongi.

"Gue capek, Kel."

Sekarang Kelina kembali menatap Aftab yang telah menangkap manik matanya dengan lekat. Pemuda itu terlihat sedikit berkaca. Sangat terasa bahwa dirinya benar-benar lelah.

"Kenapa lo gak jujur, Af?"

"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Aftab. Ia tampak sangat merasa bersalah.

"Gue mau pulang," ucap Kelina.

Aftab menghela napasnya gusar, menuruti. Ia mengantar Kelina menuju rumahnya. Lima belas menit berlangsung, tidak apa percakapan apapun di antara mereka. Aftab begitu kacau.

Kelina melihat Aftab sekilas dari kaca spion. Baru kali ini Kelina menyaksikan seorang pria hingga berkaca. Seorang Aftab bisa juga terlihat ada di titik lemahnya. Kelina menjadi merasa sedikit bersalah. Dalam posisi ini pasti Aftab lah yang teramat tidak baik-baik saja. Apakah Kelina terlalu egois?

Aftab memberhentikan motornya tepat di depan pagar rumah Kelina. Gadis itu turun dari motornya.

"Are you ok?"

Aftab menoleh, tatapan mereka bertemu.

"Gue minta maaf," lanjut Kelina.

Aftab tersenyum tipis. Raut wajahnya masih sayu. Ia mengacak pelan puncak kepala Kelina, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Tepat jam empat sore. Thanks ya."

Setelah itu tanpa berucap apapun lagi, Aftab kembali melajukan motor besarnya meninggalkan perumahan Kelina.

Kelina menghela napas panjang. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang tengah dirinya rasakan. Tidak seharusnya Kelina marah begitu pada Aftab. Pasti Aftab punya alasan mengapa Aftab tidak mengatakan yang sebenarnya pada Kelina. Tapi juga tetap saja, Kelina ingin Aftab mempercayainya seperti Kelina menceritakan apa pun pada Aftab.












REMENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang