Aldebara(n)

101 11 1
                                    

"Kelina ... "

Kelina menghentikan langkahnya di depan kelas, tepat saat mendengar namanya itu terpanggil. Jam istiharat baru saja berdering dan Kelina tadinya berniat ingin ke kantin bersama Fira.

Kelina berbalik ke arah meja guru, ternyata yang memanggil dirinya itu adalah Bu Sita, guru mata pelajaran matematika yang baru saja selesai mengajar di kelas Kelina.

Kelina menghampiri. Begitupun Fira yang bersamanya, mengikuti. Kelina dengan sopan menanyakan ada apa beliau memanggilnya.

"Ibu minta tolong boleh, ya? Antar buku-buku ini ke ruang kelas dua belas IPA satu. Ibu mau rapat guru soalnya setelah ini," jelas Bu Sita.

Kelina mengangguk patuh. "Baik, Bu."

Bu Sita tersenyum pada Kelina, lalu beranjak dari kelas. Sebelum guru itu menghilang di kelokan depan kelas sana. Sekarang Kelina pun beralih pada Fira di sampingnya.

"Lo ke kantin sama Julia ya? Gue sendiri aja antar buku-buku ini," ucap Kelina pada Fira.

Fira mengangguk paham pada temannya itu. "Iyaudah. Gue duluan ya."

Fira meninggalkan Kelina keluar kelas terlebih dahulu di sana. Kelina menatap tumpukan buku tulis di hadapannya. Dia harus mengantarkan buku-buku itu seperti amanah Bu Sita. Tapi, banyak juga yang akan dia bawa?

Kelina tidak ada pilihan lain. Dia harus segera mengangkat tumpukkan buku itu. Jumlahnya mungkin sekitar tiga puluh lima buah. Cukup berat.

Kelina menyusuri koridor yang ramai. Orang-orang yang mengenali Kelina menyapanya. Tapi, anehnya tak terlihat batang hidung Aftab hari ini? Biasanya pemuda itu akan muncul begitu saja dengan amat menyebalkan.

Sebentar ... Kelina semestinya bersyukur tidak bertemu dengan Aftab hari ini. Mengapa pula dia harus menghiraukan pemuda ajaib itu. Lebih baik Kelina fokus mengangkat tumpukkan bukunya. Semakin lama, tumpukkan itu membuat Kelina sedikit kewalahan.

Sesampainya di ruang kelas 12 IPA 1, Kelina berhenti di depan pintu, berharap ada penghuni kelas itu yang dapat Kelina jangkau. Masalahnya dia tidak pernah mengunjungi ke dalam kelas ini. Terlebih ini kelas seniornya. Apa yang harus Kelina lakukan?

"Permisi, Kak. Saya disuruh Bu Sita mengantar ini," Kelina akhirnya berucap pada kakak kelas yang duduk di kursi dekat pintu.

Kakak kelas itu menoleh. "Oh, iya. Taruh aja di meja guru sana."

Kelina dengan sopan memasuki kelas, menuju meja guru di sudut ruangan sana. Dia melakukan seperti instrupsi yang kakak kelas katakan padanya tadi. Syukur lah Kelina dapat tahu apa yang harus dia lakukan.

Kelina menaruh tumpukan buku itu dengan sempurna. Namun sepertinya ada kejanggalan. Ada hal yang membuat Kelina terdiam sesaat.

Kak Alde. Laki-laki itu duduk tepat di kursi barisan depan meja guru. Alde sempat melihat sekilas ke Kelina yang menatapnya. Tapi, ia langsung menutup bukunya, lalu pergi.

Kelina menatap punggung Alde yang hilang keluar kelas. Kelina langsung berbalik, memutuskan untuk mengejarnya.

~~~

Kelina menginjakkan kakinya di atas rerumputan. Sekarang dia tengah berada di halaman belakang sekolah. Alde yang tadi Kelina kejar, di sana dia berada. Di bawah pohon rindang, asyik bersandar meluruskan kakinya seraya membaca buku.

Kelina tanpa berpikir banyak lagi menghampiri, kemudian mengambil duduk tepat di sampingnya.

"Kak Alde ... "

Alde tampak tidak merespon sedikit pun. Entah Alde berpura-pura untuk tidak mendengarnya dan seolah memang tidak orang di samping dirinya.

"Lo ... lagi baca apa?"

Alde hanya melihat sekilas ke arah Kelina, menaikkan kaca matanya. Ia masih tak mengacuhkan gadis itu. Kelina bagai angin berlalu gitu saja.

"Gue mau bilang terima kasih sama lo. Lo suka jenguk Mama dan ... Kak Ghani."

Kelina tersenyum sedikit miris. "Gue gak nyangka bisa ketemu lo lagi."

"Dari dulu lo gak pernah salah, Kak. Lo bintang. Aldebaran ... bintang yang paling terang di rasi Taurus."

Alde masih diam. Ia tidak merespon semua ocehan Kelina. Perempuan itu sudah tidak menyerukan suaranya lagi. Beberapa saat, Alde pun menarik napas panjang. Ia menutup bukunya. Beralih pada Kelina.

"Lo tau?"

Kelina tersenyum tidak percaya. Alde mengatakan sesuatu padanya. Kelina menjadi antusias saat itu. Dia akhirnya mendapat respon.

"Apa?" tanya Kelina.

"Gue punya teman ... "

"Dulu pas gue susah, dia pergi gitu aja. Tiba-tiba dia sekarang ngajak ngobrol gue sok dekat," lanjut Alde.

Seketika senyum Kelina tidak seantusias sebelumnya. Hatinya sangat tertohok. Tapi, Kelina sebisa mungkin menutupinya. Kelina terkekeh pura-pura. "Emang kenapa kalau dia pergi terus tiba-tiba sok dekat, Kak?"

"Jilat ludah sendiri."

Sebongkah pisau kini yang terasa seperti menusuk Kelina. Jawaban Alde itu membuat manik mata Kelina berair. Kelina terus berusaha keras menahannya. Jangan menangis, Kelina. Jangan ... tapi, itu sakit sekali.

"Berarti ... seseorang yang sudah pergi, gak semestinya kembali lagi?"

Senyum Kelina terasa bergetar. Alde tidak menjawab. Ia langsung bangkit dari duduknya, lalu pergi. Tidak peduli meninggalkan Kelina sendirian.

Air mata yang Kelina tahan dari tadi akhirnya tumpah begitu saja.

~~~

Alde membanting bukunya di meja sesampainya di kelas. Penghuni kelas di sana hanya melihat sekilas ke arah Alde. Selanjutnya, mereka tidak menghiraukan.

Alde duduk di kursinya, mengusap wajah gusar. Ia merasa sangat kesal dengan dirinya. Di samping sudah ada Fadhil, teman sebangku Alde. Fadhil hanya menggelengkan kepala melihat orang yang baru ia kenal beberapa hari lalu itu.

"Kenapa sih gue ketemu sama lo lagi! Bahkan gue gak tau kalau lo sekolah di sini!" geram Alde pada dirinya sendiri.

"Kenapa lagi sih lo? Ngambis tapi budak cinta juga," Fadhil di sebelahnya menyerukan suara.

Fadhil memang banyak bertanya pada Alde sejak detik pertama mereka kenal. Alde cukup terbuka pada Fadhil, bercerita secara singkat jika Fadhil bertanya. Tapi, masih saja Fadhil belum mengerti dengan orang satu ini. Masalahnya ia buat rumit sendiri.

"Lo itu gak bisa bohongin diri lo sendiri. Lo masih suka sama dia," ucap Fadhil lagi.

Alde merendahkan napasnya di sana. Ia teringat apa yang dilakukannya pada Kelina tadi. Tak seharusnya Alde melakukan itu. Alde merasa dirinya teramat bodoh.

"Gue lebih baik lihat dia pergi, dari pada lihat dia nangis gara-gara gue, Dhil."
















------------------------------

A.n :

Wooooo......!!!
'Jilat ludah sendiri'!
Itu nyesek banget sii... Nusukkk...
Ga boong. Sumpil!😟

Tinggalkan jejak!🙆

REMENTANGWhere stories live. Discover now