Malam (2)

74 7 7
                                    

Matahari sudah tidak berada di tempat gagahnya. Kelina dan Alde masih berjalan di trotoar jalanan kota. Kondisi Kelina sudah sedikit lebih baik. Sebelum pulang tadi Alde menyuruh Kelina membersihkan tubuhnya yang kotor di toilet, lalu mengeringkan badannya dengan jaket Fadhil.

Awalnya Kelina tidak ingin lagi masuk ke toilet itu, namun Alde berhasil meyakinkan Kelina bahwa dia akan menjaganya di depan dan tidak akan terjadi apa-apa lagi.

Sore ini cukup ramai suasana di jalanan kota. Alde dan Kelina berjalan bukan tanpa maksud, sedari tadi mereka tidak menemukan angkutan umum menuju rumah Kelina. Entah mengapa Kelina sering menghadapi ini, angkutan umum yang sulit didapatkan.

"Capek?" tanya Alde, ia memecahkan bungkam di antara mereka.

Kelina menggeleng. "Sudah biasa kok, Kak. Angkutan umum ke rumah emang jarang."

Alde mengangguk paham. "Emang tadi lo kenapa?"

Kelina diam, tidak menjawab.

"Iya terserah sih kalau gak mau cerita."

Kelina hanya menunduk beralih pada langkah kakinya. Bukan dia tidak ingin bercerita, namun Kelina belum siap saja menceritakannya. Mengingat itu sangat menakutkan baginya. Bukan hal yang menyenangkan untuk dibahas kali ini.

"Kak, mau kemana?" Kelina yang baru saja mengangkat kepala, melihat Alde berbelok ke sebuah toko pinggir jalan. Kelina dengan cepat mengekori.

Sekarang mereka masuk ke dalam toko itu. Kelina baru mengetahuinya bahwa toko tersebut menjual berbagai jenis jaket. Alde tampak sibuk menyusuri pandangan seperti tengah memilih jaket di sana.

"Kak--"

"Gausah nanya," Alde memotong.

Alhasil, Kelina memilih diam. Dia baru saja ingin menanyakan untuk apa Alde ke sini. Tapi ucapannya sudah dipangkas begitu saja.

Alde akhirnya menjatuhkan pilihan pada salah satu jaket berwarna toska. Jaket itu tampak lucu. Alde kemudian membawanya ke kasir.

"Gausah di bungkus, Mbak. Mau langsung dipakai," ucap Alde pada Kasir.

Kasir hanya mengangguk, mengikuti perkataan Alde. Usai membayar, Alde mengambil sebotol parfum di ranselnya, menyemprotkan pada jaket yang baru saja dia beli.

Alde langsung mengambil alih jaket abu-abu milik Fadhil yang tersampir di kedua bahu Kelina. Menggantinya dengan jaket toska itu.

"Kenapa--"

"Gausah nanya."

Kelina mengembungkan pipinya. Lagi-lagi pertanyaan dia dipotong oleh Alde. Tanpa menolak, Kelina memakai jaket yang diberikan.

Sudut bibir Alde sedikit melengkung sekilas.
Gue gak suka lo pakai jaket abu-abu ini, ucapnya dalam hati.

Tanpa menunggu apapun lagi, mereka keluar dari toko itu. Melanjutkan jalan, setidaknya berharap angkutan umum ke arah rumah Kelina dapat berpapasan dengannya.

"Lo di sini tinggal dimana, Kak?"

"Kost."

Kelina mengangguk. Dia tahu Alde tidak memiliki rumah di kota ini. Tempat tinggalnya adalah di kota lama. Tempat mereka kecil dahulu.

Kelina masih mengingatnya. Masa dimana mereka menjadi anak-anak yang terus bermain tanpa mengenal beban masalah. Kelina ingat, ketika dia masih merengek cengeng sebab dijaili oleh kakak laki-lakinya yang sekarang telah tiada.

"Kak Alde! Kak Ghani nakal," rengek Kelina kecil waktu itu. Dirinya baru saja dilempari bantal di atas kasur kamarnya.

Anak laki-laki yang dipanggilnya itu malah ikut terkekeh bersama Ghani yang sudah tertawa puas di sana. Alde kecil menggeleng menghampiri Kelina.

"Sakit?"

Kelina yang menggembungkan pipinya, mengangguk. Dia melotot pada Ghani yang meledekinya. Kelina tahu Ghani pasti merasa merdeka setelah melempar bantal ke wajah Kelina. Itu balas dendamnya karena Kelina merebut robot Ghani kemarin sore. Bukan apa, Kelina kesal Ghani dan Alde terus bermain bersama, sedangkan Kelina tidak memiliki teman dan tidak diajak bermain.

Alde meniup dahi Kelina. "Sudah, gapapa. Besok paling benjol."

Kelina membulat sempurna. Alde terkekeh melihat ekspresi itu. Ghani malah tambah terpikal.

"Kak Alde!" Kelina geram bukan main, dia langsung melempar bantal dengan tangan mungilnya. Kedua anak laki-laki itu langsung bergegas lari menjauh darinya.

Kelina ingat setiap detail masa itu. Masa dimana kehangatan masih sangat terasa di kehidupannya. Kehangatan yang ada di dalam diri Alde.

Kelina memandang Alde yang berjalan di sampingnya. Andai waktu dapat diputar kembali. Entah apa yang ingin dia perbaiki. Bahkan Kelina tidak tahu letak kesalahan itu ada pada siapa. Apakah kesalahan itu ada pada Kelina atau ... takdir? Tapi, Kelina tidak mungkin menyalahkan takdir. Keadaan membuatnya memilih pilihan yang tidak ada jawaban benar.

"Angkot," ujar Alde.

Pikiran Kelina semua terbuyar. Sebuah angkutan umum berhenti di sana. Kelina diberi aba-aba untuk menaikinya. Alde ikut naik. Mengantar hingga sesampainya depan pagar rumah Kelina.

"Terima kasih, Kak."

Alde hanya berdeham dingin menanggapi. Kelina tersenyum sedikit miris melihatnya. Alde langsung membalik punggung, berjalan pergi.

"Kak Alde?"

Tepat itu langkah Alde berhenti, tanpa balik melihat Kelina.

"Apa lo masih benci sama gue?"

Alde terdiam sejenak.

"Apa penting buat gue jawab?" tanya balik Alde.

Kelina diam. Alde meneruskan langkah kakinya. Hati Kelina merasa teriris kembali. Kelina tidak tahu harus bagaimana lagi jika jawaban Alde adalah iya.

Sungguh, dia benar-benar merindukan Alde yang dulu. Alde yang hangat ... selalu menghiburnya, dan tidak ketus pada Kelina.

Lalu, apakah Kelina pantas mendapatkan itu?

Apakah dia pantas? Mengharapkannya.


















REMENTANGWhere stories live. Discover now