🍒 Tiba-tiba, Kita?

Start from the beginning
                                    

"Aly, kamu kuat?" suara Ibu yang akan mengiring kepergianku. Semenjak aku menitipkan kedua anakku kepada beliau, setiap akhir pekan aku harus kembali ke kota dimana aku harus mencangkul sawah dan ladangku untuk memperoleh penghidupan kami. Ya, jarak kota tempatku bekerja dengan rumah ibuku tidak kurang dari 190 km. "Inshaallah, Aly nitip anak-anak ya Bu. Maaf seharusnya Aly bisa membahagiakan Ibu, tapi nyatanya kini justru merepotkanmu Bu."

"Tidak ada seorang Ibu yang merasa direpotkan oleh semua anak-anaknya. Kamu harus sehat, kuat, senyummu harus bisa membesarkan hati kedua permata hati Ibu."

"Iya Bu." entahlah, mengapa aku kini menjadi lelaki melow yang seringkali menangis jika mengingat semua jalan hidupku. Meski tidak meraung namun air mata sialan ini selalu saja jatuh disaat yang tidak tepat. Jelas aku tidak ingin terlihat lemah di depan Ibu. Aku tidak ingin membebaninya lagi, cukup dengan menitipkan kedua anakku. Bukan dengan air mata yang akhirnya jatuh setiap kali aku pamit untuk kembali ke kota tempatku bekerja.

"Carilah Ibu untuk mereka Nak."

"Ibu__?" kalimat macam apa itu yang tiba-tiba keluar dari bibir wanita yang telah melahirkanku. Bahkan pusara istriku masih belum kering mengapa Ibu memintaku mencarikan Ibu untuk mereka, itu artinya istri untukku. Tidak, aku belum siap untuk itu. Jatuh cinta, kewajiban dan tanggung jawab baru? Allah, cukup aku dengan takdirku hari ini yang memang harus ku lalui.

"Anak-anakmu butuh figur seorang Ibu. Percayalah kepada Ibumu ini, kamu akan kesulitan menjelaskan kepada mereka seorang diri manakala putrimu lebih nyaman bercerita kepada Ibunya daripada kepada Bapaknya." ucapnya lagi.

"Ada Ibu, apa yang harus aku takutkan?" senyum wanita ini sungguh menyembunyikan ribuan arti yang harus aku pecahkan. "Bukan hanya mereka yang membutuhkan Ibu, tapi kamu juga membutuhkan istri. Anak Ibu ini masih normal bukan? Ibu sangat mengerti kebutuhanmu sebagai seorang lelaki dewasa. Dan itu tidak bisa ibu berikan Aly."

"Astaghfirullah Bu." sumpah, bahkan aku belum berpikir ke sana. Ya, aku lelaki normal selayaknya mereka yang berkebutuhan akan hal itu tapi untuk sekarang aku belum memikirkannya, namun ibuku dengan sangat bijaksana menuntunku untuk tidak hanya egois dengan diriku sendiri namun juga untuk kedua anakku. Allah, malaikat tanpa sayap ini selalu kusebut dengan panggilan Ibu.

Aku lelah, aku pasrah, aku resah bahkan hatiku masih merasa gelisah. Dalam kungkungan doa yang tidak pernah terputus aku meminta restunya untuk melangkah. Apa yang telah Allah siapkan untuk takdirku di masa mendatang, aku pasrahkan dengan segala kerelaan hati.

Berbicara tentang sebuah pekerjaan, tidak akan pernah selesai sebelum kita mengakhiri dan menganggapnya selesai. Sama seperti kini, sebagai seorang supervisor pemasaran selayaknya aku berpindah dari satu kota ke kota yang lain sesuai dengan job desk pekerjaan dan daerah pemasaran di bawah tanggung jawabku.

Aku harus bergerak sedangkan tubuhku masih belum memungkinkan untuk bisa melakukan lebih. Di belakang kemudi ini, kepalaku benar-benar berat dan akhirnya aku mengalah. Pagi ini aku memilih untuk mendatangi sebuah rumah sakit dan meminta seorang dokter untuk memberikan nutrisi atau vitamin yang bisa membuatku fit kembali. Karena tujuh bulan semenjak kepergian almarhumah istriku kondisiku benar-benar drop.

"Kami infus vitamin saja ya Pak? tidak lama, mungkin sekitar dua sampai tiga jam saja. Sekalian Pak Aly beristirahat sementara di IGD."

"Tapi bukan opname kan dokter?"

"Bukan. Hanya infus vitamin saja karena melihat tekanan darah Bapak masih dibawah normal. Itu juga yang menyebabkan Pak Aly merasa lemah dan lesu. Makan makanan yang kaya serat dan tentu cukup istirahat akan membantu memulihkan kondisi Pak Aly dengan segera." ucap dokter setelah menekan lengan kiriku untuk memasukkan jarum infus yang akan menghantarkan vitamin itu bersatu dengan aliran darahku.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now