Bagian 8 (A)

77 5 1
                                    

Selamat membaca!

**

Kepada Abi, si jagonya ngegaet cewek :

Mungkin rasa ini hanyalah rarasaanku saja. Buktinya rasamu ada untuk banyak orang.

**

Ririn heran. Ini rasanya tidak mungkin! Ini rasanya tidak benar! Rasanya ini hanyalah sebuah harapan yang sebentar lagi akan hilang. Oh Tuhan ... jangan! Jangan biarkan hal ini terlewatkan begitu saja. Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa semudah ini? Seperti tidak biasanya. Gadis cantik itu masih tersenyum. Sebuah kebetulan yang membahagiakan.

"Gimana? Atau kamu nggak usah ikut aja? Ya, kalau kamu nggak berminat, Ayah bisa batalkan persetujuannya," ujar Ayah Ririn. Membuat anak gadisnya itu tersentak dan segera menggelengkan kepalanya.

"N-nggak, Ayah! Jangan gitulah, Ririn mau kok. Ririn mau ikut!" serunya dengan ceria. Aaaah ... betapa rasa senang mengaliri tubuhnya saat ini. Sedari tadi ia juga tak mau diam, selalu tersenyum. Untung saja stok pasta gigi di rumahnya banyak. "Ayah, makasih ya! Makasiiiiiiih banget!"

Ayah Ririn tertawa saat melihat anak perempuannya senang. Jarang sekali ia melihatnya. Apalagi saat ini pipinya selalu dihujani kecupan ringan dari sang Anak yang memeluknya erat. Memang selalu begitu, anaknya akan merasa antusias jika ada kegiatan di sekolahnya.

"Ambilkan bolpoin di atas nakas dekat TV, Ayah tanda tangani suratnya sekarang," ujarnya santai. Kelewat santai untuk ukuran biasanya. Ririn mengerutkan keningnya seraya tersenyum heran. Ada angin apa Ayahnya bisa selepas itu untuk memberikan izin padanya? Wah, Ririn malah menaruh curiga pada Ayahnya sekarang. Terus berpikir, hingga saat ia kembali dari mengambil bolpoin, wajahnya masih menyiratkan rasa heran. Membuat sang Ayah tertawa lepas.

"Kamu masih nggak percaya, sayang?"

Kali ini Ririn berdecak seraya menyimpan bolpoin ke atas meja di hadapan sang Ayah. "Bukannya nggak percaya, Ayah! Tapi Ririn rasa ... ini tumben sekali? Ririn selalu takut buat ngasih surat ini ke Ayah, tapi Ayah malah minta suratnya duluan. Dari mana Ayah tau?" Ririn menatap sang Ayah dengan tatapan menyelidik.

Ayahnya malah tertawa, membuat Ririn yang melihatnya merasa bergidik geli. Ayahnya kenapa sih? Apa jangan-jangan Ayahnya mempunyai calon Ibu baru untuknya? Kalau iya, Ririn tidak keberatan sama sekali dengan keinginan sang Ayah yang ingin menikah lagi. Karena Ririn rasa, selain dirinya, sang Ayah pun membutuhkan pendamping hidup lain yang mampu mengurusinya.

Semenjak Ibunya meninggal tiga tahun yang lalu-tepatnya saat Ririn duduk di kelas satu SMP-Ibunya dipanggil Yang Maha Kuasa karena penyakit radang paru-paru yang menyerang tubuhnya. Ah, jika mengingat hal itu rasanya kesepian kembali menghampirinya. Sepi ... semenjak saat itu rumahnya menjadi sepi karena sanak saudara yang setiap harinya menemani dan harus kembali pulang ke rumah mereka untuk melakukan kegiatannya masing-masing.

Sekarang Ayahnya menatap Ririn dengan senyum yang tak lepas sama sekali. Serius, bukannya Ririn ceria seperti tadi, kali ini ia malah merasa heran. "Ayah udah punya calon Ibu baru buat aku, ya?" tanya Ririn. Tangannya meraih surat yang baru saja ditanda tangani oleh sang Ayah.

Gelakkan tawa menyembur dari sang Ayah. Membuat Ririn merasakan perbedaan, "Ayah kenapa sih?! Masa dari tadi ketawa terus. Emangnya ada yang lucu?" tanyanya seraya merengek agar menghentikan tawanya.

"Ayah cuma lagi seneng, liat kamu seneng kaya gitu. Apalagi pas mau minta izin ke Ayah, kamu kaya takut banget," jelas Ayahnya. Ujung jarinya menghapus air mata yang mulai mengalir di ujung mata karena gelakkan tawanya sendiri. "Terus tadi apa? Calon Ibu baru? Ayah bahkan nggak berpikiran sampai ke sana. Kamu tuh ada-ada aja, sayang..."

About Him, AbiWhere stories live. Discover now