Bagian 5 (B)

61 11 4
                                    

Happy reading!

**

Semangat! Walau tanpa adanya penyemangat!

Tetap berjuang, walaupun perjuanganmu tidak diharapkan.

**


Ririn berjalan mengikuti Lintang. Kakinya berpijak di atas tanah sawah, dekat dengan sebuah sungai.

"Lo yakin di sini banyak tanah liatnya?" tanya Ririn. Ia merasa tidak yakin. Pasalnya, yang sekarang ada di hadapannya ini adalah tanah lumpur, bukan tanah liat.

Tanah lumpur dengan tanah liat, berbeda atau sama?

Lintang menengok ke belakang, "Iya, Rin. Pasti ada. Kalopun nggak ada mana mungkin kelompok Abi mau datang ke sini."

"Bisa aja kan, dia itu ngibulin kita."

"Hush! Suudzon aja lo kerjaannya."

Ririn memutarkan bola matanya. Sekarang ia merasa tidak nyaman dengan semuanya. Kaki yang ia biarkan kotor terkena lumpur, baju yang terciprat genangan air, hidung mampet, kepala yang masih terasa sakit. Lengkap sudah penderitaannya sekarang.

"Lintang, istirahat dulu kek! Capek nih, gue. Mana jalannya licin! Kotor semua nih, baju gue," keluh Ririn.

Sekarang, giliran Lintang yang memutar bola mata malasnya. "Kan gue udah bilang, lo nggak perlu ikut. Udah tau badan lo lagi drop, kaya gitu. Ngeyel sih, lo. Rasain dah tuh!"

"Rese lo! Masih jauh nggak sih tempatnya?"

"Deket kok. Ada di balik batu itu," jawab Lintang seraya menunjuk batu besar yang terlihat oleh pandangannya.

Ririn memelototkan matanya, "Berarti kita harus nyebrang sungai dulu dong?" tanyanya, Lintang mengangguk sebagai jawaban.

Tidak ingin berlama-lama, akhirnya Ririn mau tidak mau harus segera sampai ke sana. Kalau tau akan begini, mending dia diam saja di rumah.

"Ayo, Rin! SEMANGAT!" ujar teman-temannya yang sudah ada di tempat. Sedangkan Ririn? Hanya mengekori Lintang dari belakang.

**

"Capek?" tanya Lintang, saat mereka sudah berhasil menyusul teman-temannya, namun Ririn segera mendudukan diri di atas batu.

"Iyalah! Pake tanya segala."

Dengan tiba-tiba Vina menyodorkan satu botol air mineral, "Minum nih, kanjeng ratu. Makanya, kalo nggak biasa ke sini, nggak usah ikut. Nyusahin lo!" kekeh Vina.

Ririn hanya memberenggut, memajukan bibirnya, "Gue cuma mau yang terbaik buat kelompok kita. Makanya ikut. Kalo gue nggak ikut, tapi dapat nilai, gue ngerasa nilai itu nggak wajar."

"Nggak wajar gimana?" tanya Vina.

"Nggak wajar aja, karena gue nggak ikut ngerjain dan nggak ikut ngerasain capeknya."

Lintang menaikkan sebelah alisnya, "Yang lain aja pada santai, walaupun mereka nggak ikut ngerjain."

"Karena perasaan gue beda sama mereka."

"Terserah deh! Udah cepetan minum, habis itu kita susul kelompoknya Abi yang lagi nyomotin tanah liat!" titah Vina.

Sekali lagi, entah apa yang Ririn rasakan. Mendengar nama Abi disebut, membuat hatinya berdegup kencang. Membuat pipinya memanas.

Akhirnya, dengan segera, Ririn meneguk airnya dan bangkit berdiri, "Ayo!"

Dengan langkah yang semangat, Ririn beserta sebagian kelompoknya menghampiri kelompok Abi yang sedang berjongkok seraya memegang ember. Masing-masing anggotanya pun, memegang kayu untuk menggali tanah liatnya itu.

Ririn sedikit kecewa, sebab Abi hanya numpang tenar saja di kelompoknya. Buktinya, saat ia berjalan mendekat, matanya tidak menangkap sosok Abi di antara mereka.

Apa iya, dirinya harus bertanya, 'Abi-nya kemana?', 'loh, katanya ada Abi?', atau 'ini kan kelompoknya Abi, tapi kok dia-nya nggak ada?' bila iya, Ririn harus bertanya seperti itu, malu sudah harga dirinya. Teman-temannya mudah sekali menebak pemikiran Ririn.

Dengan segera, Ririn mengerjakan kegiatan menggali tanah liat dan memasukkan ke dalam ember. Ia pun harus menahan semua rasa penasarannya yang tadi. Dan ia hanya mampu menahan kekesalannya dengan cara menghela nafas kasar.

Vina yang menyadari itupun bertanya, "Lo kenapa sih? Dari tadi ngedengus terus?"

Ririn menatap polos ke arah Vina, "Ah, nggak. Gue ... gue cuma sedikit ngerasa pusing aja," jawabnya. Gadis itu memang tidak bohong, di samping ia merasa kesal, ia juga sedang merasakan sakit kepala yang luar biasa. Mungkin karena hawa panas yang menerpanya. Dan ia tidak terbiasa dengan itu.

"LO PUSING?!" tanya Vina dengan hebohnya membuat semua mata menatap ke arahnya. Termasuk kelompoknya Abi.

Lintang dan Jajang yang berada sedikit jauh dari posisi Ririn akhirnya berjalan mendekat.

"Ka-kamu sakit ke-kepala, Rin?" tanya Jajang.

Ririn hanya tersenyum, "Cuma dikit kok."

"Ah, lo itu dari tadi dikit, dikit terus! Dikit-dikit, lama-lama jadi bukit! Udah ayo, kita pulang aja!" Lintang mengajak Ririn bangkit. Namun Ririn enggan.

"Ih, gue nggak mau! Lagian ini tanah liatnya baru setengah, belum penuh."

"Biarin aja dilanjut sama Vina, Jajang."

"Pokoknya gue nggak mau!"

"Keras kepala!"

"Bodo amat!"

Baru saja Ririn ingin melanjutkan kegiatannya. Namun ia malah terdiam. Yang berkata terakhir kali padanya, itu bukan suara Lintang, melainkan ... dengan segera Ririn membalikkan badannya kembali. Bibirnya berkedut, mengeluarkan senyum tertahan. Inginnya ia berujar, bahwa ia sangat senang Abi ada di sana. Namun semua itu ia tahan.

"Gue emang keras kepala!" ujar Ririn sebaliknya.

"Terserah lo deh!"

Setelah berujar seperti itu, Abi malah berjalan menjauhi Ririn dan menghampiri kelompoknya.

Ya, Ririn cukup sadar. Ia bukanlah orang penting di mata Abi. Ia juga tidak berhak mendapatkan jamuan istimewa darinya.

Dengan setengah hati, Ririn meneruskan kegiatannya, menggali tanah liat.

Semangat! Walau tanpa penyemangat. Karena hidup bukan hanya untuk berjuang demi diri sendiri. Melainkan orang lain juga.

**

Alhamdulillahirrabil'alamin...

Update-nya lama ya?
Mohon maaf sekali, semuanya🙏. Setelah ini, saya usahakan lancar. Oh iya, saya ucapkan terima kasih banyak untuk yang sudah membaca cerita ini. Saya juga senang sekali, karena mendapatkan beberapa pemberitahuan bahwa cerita About Him (Abi) ditambahkan ke reading list kalian. Disandingkan, bersatu dengan cerita teratas yang ada di reading list kalian. Sekali lagi terima kasih, terima kasih semuanyaaaaa!

See you in next chapter!


About Him, AbiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon