|28| Begini Ceritanya

156 19 18
                                    

Enam tahun yang lalu, tepatnya setelah aku dan Dani putus, hari-hariku terasa suram

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Enam tahun yang lalu, tepatnya setelah aku dan Dani putus, hari-hariku terasa suram. Kegalauanku berlangsung hampir satu bulan.

Aku jadi suka linglung. Mama berkali-kali mengomeliku gara-gara bekerja sambil melamun. Gangguan-gangguan dari Fauzan kuabaikan, bahkan aku tak curiga ketika Fauzan terang-terangan ingin meminjam ponselku.

Rupanya anak itu sedikit terusik dengan kondisiku. Rumah jadi terasa sepi, begitu katanya. Seperti biasa, Fauzan mencari tahu lewat pesan-pesanku. Aku yang saat itu masih menyukai Dani, pesan kuanggap sebagai kenangan. Tak ingin kuhapus, meski kami sudah berpisah. Dari sanalah Fauzan memulai penyelidikannya.

Tak tanggung-tanggung, anak itu menghubungi Dani secara pribadi. Lewat ponsel miliknya, tentu saja. Mulailah Fauzan memberondong Dani dengan segala macam rasa ingin tahunnya.

Lucunya, berdasarkan pengakuan adikku, cowok itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Fauzan tak pelak menjadi sasaran dakwah Dani. Selain itu, masih kata Fauzan, Dani kadang bertanya tentangku. Sekali lagi, Dani bertanya TENTANGKU. Cowok yang katanya mau hijrah itu, nyatanya sama saja sepertiku. Kami menderita gagal move on.

"Aaa ..." Aku menjerit pelan. Kutenggelamkan wajah pada bantal. Jantung, tolong tahu diri! Jangan bikin aku sesak napas.

Tarik napas, embuskan. Baiklah, kulanjutkan cerita ini.

Sejak saat itu Fauzan dan Dani sering berkomunikasi. Fauzan seolah jadi penggantiku. Dalam artian, meski kami sudah berpisah, Dani tetap mengetahui informasi tentangku. Sedangkan aku, selama bertahun-tahun merana sendirian.

Hah!

Aku telentang. Bibirku berkedut-kedut. Aku cekikikan. Ini gila. Rasanya aku mendengar detak jantungku sendiri. Cuplikan percakapanku dengan Fauzan terngiang-ngiang di kepala.

"Bahkan Bang Dani senang pas tahu kamu nggak lulus kedokteran."

"Hah?!"

"Kata Bang Dani, selain uang panai-mu pasti mahal, dia juga bakalan minder kalau punya istri dokter, sedangkan dia cuma guru."

"Oi?"

"Aduh, siapa sangka kakak Dani-mu itu udah berencana ngajak nikah." Fauzan tertawa di ujung telepon.

Kubasahi bibirku. Aku berguling. Penjelasan Fauzan belum berhenti berputar-putar di pelupuk mata.

"April lalu dia minta tolong sama aku buat bikin janji sama Bapak. Dia datang ngelamar kamu, Kak."

"April? Itu udah lama. Kenapa nggak ada yang ngabari aku?"

"Pertama, sebetulnya, dari dulu Bang Dani ngelarang aku buat cerita-cerita sama kamu. Biar kamu nggak terganggu. Lagian, kalian bukan mahram, buat apa saling menghubungi? Begitu katanya. Ah, aku juga pernah cerita tentang perubahanmu. Kedua, Mama-Bapak ngelarang. Takut kuliahmu jadi nggak fokus."

"Terus kenapa kamu sekarang ngasih tahu aku?"

"Kamu udah libur, kan? Nggak ada masalah lagi dengan kuliah." Fauzan lagi-lagi cengengesan.

"Itu kalau urusannya sama Mama-Bapak. Kenapa kamu ngelanggar permintaannya Dani?"

"Oh itu," Fauzan menjeda agak lama. Aku tak sabar menunggu. "Sebenarnya kamu masih suka sama Bang Dani atau nggak?"

"Bukan urusanmu, Ozan. Cepat lanjutkan!"

Fauzan berdecak. "Masalahnya, Mamanya Rafid pengen kamu jadi mantunya. Sejak Rafid pulkam, semakin gencar dia ngedekatin Mama. Waktu itu mereka bawa banyak oleh-oleh ke rumah. Belum lagi, Mama kelihatannya setuju-setuju aja."

"Coba ulangi, Ozan?"

"Ya, pokoknya, aku lebih suka Bang Dani. Meski sering ngerekcokin aku tentang hijrah, dia nggak pernah mengklaim seolah-olah Surga cuma milik golongannya. Satu lagi, penampilannya normal. Nggak kelihatan kayak sok alim. Dia masih pakai celana jin sama kemeja. Seperti laki-laki kebanyakan, lah. Beda sama Rafid. Sejak pulang dari Makassar, dia udah mirip ahli ibadah. Jangkutnya panjang sekali, celananya cingkrang, ke mana-mana hampir selalu pakai baju koko. Sedikit-sedikit bahas bid'ah. Masa aku pernah dibilangin bakalan masuk neraka gara-gara manjangin ujung celana?"

Aku menepuk jidat. Tertawa lebar. "Oi, mana mungkin Rafid kayak gitu. Kamu aja yang salah paham, Fauzan. Ngomong-ngomong, apa hubungannya pertanyaanku tadi dengan kecondonganmu menyukai salah satu di antara mereka?"

"Nyuri start, lah! Dani jelas-jelas suka kamu, bahkan berani ngelamar. Sedangkan Rafid, itu cuma impian mamanya. Mana ada dia datang ke rumah buat ngomong baik-baik ke Bapak."

"Ya, wajar dong. Buat apa Rafid datang ke rumah kalau nggak minat! Seperti katamu, cuma mamanya yang tertarik."

Fauzan terkekeh. "Jadi, kamu berharap dia yang datang?"

"Hah? Mana mungkin?!"

Tawa Fauzan semakin kencang. "Itu artinya kamu suka sama Dani? Ckck. Nggak heran, sih, kegalauanmu pas ditinggal Dani lebih ekstrem, daripada putus sama Rafid."

"Jangan ngomong aneh-aneh, Fauzan!" ketusku sambil menahan malu.

"Cie, syukurlah kamu nggak patah hati."

"Fauzan cerewet!"

Kudengar dia terbahak. Aku mencebik. "Ozan, terus responnya Bapak gimana?"

Lengang. Tawa Fauzan terhenti. Aku menanti penuh was-was. "Ozan?"

Saat itu, Fauzan menjawab sambil cengengesan.

Aku bangkit. Perasaan ini kian mengganggu. Fauzan membawa kabar baik sekaligus kabar buruk.

Baiknya, aku jadi tahu kalau Dani menyukaiku. Itu benar-benar membahagiakan.

Buruknya, lamaran Dani digantung. Iya, DIGANTUNG. Masih serangkaian dengan cerita Fauzan, Bapak tidak menolak ataupun menerima Dani. Beliau akan memberikan izin menikah setelah aku wisuda plus meraih gelar magister.

Sekarang umurku 21 tahun. Aku baru menyelesaikan kuliah sebanyak 6 semester. Bila mengikuti rentang kelulusan normal, setidaknya aku masih butuh 1 tahun untuk menamatkan program sarjana, ditambah 2 tahun tahun untuk gelar magister. Catat, itu kalau normal. Bagaimana bila kendala datang tak terduga sehingga mau tak mau kuliahku molor?

Tidak! Mama, Bapak, anakmu ini pengen nikah. Jangan dihalang-halangi!

Aku mengacak-acak rambutku.

Daniyal Alhusain, kenapa kamu datang di saat aku belum lulus? Mentang-mentang kamu sudah bergelar sarjana, seenaknya saja memporak-porandakan hatiku! Kamu pikir semua orang tua setuju bila anaknya menikah sambil kuliah?

Aku terbangun. Hah! Fauzan sialan! Seharusnya dia tidak perlu mengabariku kalau ujung-ujungnya mengenaskan begini.

Telentang lagi. Pikiranku serasa kosong. Semua euforia menguap dalam sekejap. Senyum miris mengembang. Aku terpejam.

Aku tertawa kencang. Terdengar aneh bahkan di telingaku sendiri. "Bodoh. Dani belum tahu asal-usulku. Setelah tahu, dia pasti milih mundur. Kalaupun nerima, keluarganya belum tentu sepakat."

Malam itu, aku beranjak tidur dengan perasaan gamang. Antara senang dan prihatin akan nasibku.

Bukan hanya Dani, tetapi berlaku pula untuk lelaki lain. Siapalah yang bersedia menikahi perempuan tanpa ayah sepertiku?

To be continue ...

Kira-kira apa yang bakalan  Arisha lakuin, yaa? Cinta bersambut, eh orang tua jadi penghalang. Syedih 😂

Kenapa Mama Arisha mendadak jadi pendukung Rafid?

This Is Our Way | ✔Where stories live. Discover now