|6| Memulai Lembaran Baru

207 30 23
                                    

Oktober 2012

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oktober 2012.

Hari terus berganti. Ada yang datang. Ada yang pergi. Perpisahan adalah hal biasa. Hidupku tetap baik-baik saja walau tanpa kehadiran Rafid. Tak ada sapa saat kami berpapasan tanpa sengaja. Mungkin aku yang menghindar atau Rafid sudah tak peduli. Entahlah, yang kutahu, seiring berlalunya waktu, perasaanku untuknya semakin memudar. Tidak butuh waktu lama, aku yakin rasa ini akan musnah.

Bang Faras sudah kembali ke kota sejak sebulan yang lalu. Pertemuan kami kala itu menjadi yang terakhir hingga detik ini. Aku tersenyum mengingat kenanganku bersamanya. Bang Faras sengaja menenggelamkan perahu kami. Jadilah kami menghabiskan waktu untuk berenang hingga menggigil kedinginan.

Aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Orang tuaku marah, tapi aku hanya mendengarkan dalam diam. Teringat kata-kata Bang Faras, bahwa orang tua memang suka mengomel. Itu tandanya mereka khawatir. Daripada sakit hati, lebih baik diamkan saja. Tunjukkan raut wajah menyesal agar mereka puas. Kutahu sarannya sedikit menyesatkan.

Keberadaan Bang Faras meninggalkan kesan mendalam. Hadirnya mengantarkan arti bahagia. Terlebih, pemuda itu menyeret serta orang lain untuk mengenalku. Entah bagaimana caranya, sejak sebulan yang lalu aku menjadi dekat dengan teman kostnya— Daniyal Alhusain. Cowok yang kutahu penuh prestasi walau berasal dari keluarga tidak mampu.

Dani tidak kalah menyenangkan. Dia tipe cowok yang enak diajak curhat. Pendengar sejati. Berteman dengannya menciptakan kenyamanan. Aku bercerita kepadanya tanpa rasa canggung. Tanpa sadar, dalam waktu-waktu yang kami habiskan bersama, obrolan penuh canda yang senantiasa mengiringi, semakin aku mengenalnya, kabar darinya menjadi hal yang paling kutunggu. Mungkin itulah yang membuatku sangat yakin kalau Rafid takkan lagi bertahta di hati. Aku jatuh cinta padanya.

Dulu, kupikir Rafid takkan terganti. Bagaimanapun akhir hubungan kami, dia tetaplah pacar pertamaku. Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa Rafid tidak kusebut sebagai cinta pertama? Karena memang, jauh sebelum dekat dengan Rafid, sudah ada yang lebih dulu membuat hatiku berbunga. Mengingat cowok dalam lingkup pergaulanku terbatas seharusnya sudah bisa ditebak. Benar. Bang Faras adalah orangnya.

Kurasa aku menyukainya sejak berusia 10 tahun. Terpesona terhadap sikapnya yang bijak ketika menghadapi keusilanku. Suka bagaimana ia memperlakukanku dengan baik. Aku merasa senang dan tidak ingin menjauh darinya. Sayang sekali, aku tidak cukup berani untuk menunjukkan gelagat tertarik di hadapannya. Lagi pula, usia kami terlalu jauh, tidak mungkin Bang Faras minat kepada bocah sepertiku. Kini perasaanku sudah bukan lagi untuknya, tetapi Bang Faras masih menempati posisi istimewa di hati.

Aku menarik napas pelan. Bel pulang berbunyi. Segera kubereskan alas tulis. Mood-ku sangat baik hari ini. Memikirkan Dani akan menelpon lagi, membuat jantungku berdebar-debar. Inilah rutinitas baruku sepulang dari sekolah. Menghabiskan beberapa menit hanya untuk bertukar sapa melalui telepon.

Langkahku ringan. Tugas-tugas sekolah tidak lagi terasa berat. Selain mengobrol tidak tentu arah, Dani juga sering membantuku menyelesaikan PR. Beginilah rasanya dekat dengan anak SMA yang berprestasi. Menyenangkan.

Tidak butuh waktu lama, aku sudah berdiri di depan rumah. Kuketuk pintu agak kencang. Mama muncul dengan senyum di wajah. Kutahu ia menyimpan lelah. "Aku pulang," ujarku sambil mencium tangannya.

"Udah tahu," sahutnya sambil menggeleng pelan. Aku tersenyum lebar. Meski sering mengoceh, marah ketika perintahnya tidak dipatuhi, tidak segan memukul jika aku nakal, jauh di dalam hati, aku benar-benar menyayangi Mama.

"Makan dulu, Sha," tukasnya sebelum aku masuk ke kamar.

"Iya. Mama udah makan?"

"Belum. Nanti aja bareng bapakmu."

Aku mengangguk paham. Memang sudah begitu dari dulu. Mama akan menunggu Bapak pulang dari sekolah. Lalu menemaninya makan siang. Terlepas dari sikap mereka yang kadang pilih kasih, keluargaku terbilang harmonis.

Setelah berganti pakaian, aku langsung menyantap makan siang. Sedap seperti biasa. Mama memang pandai memasak. Tak selang berapa lama, setelah mencuci piring bekas makan, aku memutuskan untuk istrahat sejenak.

Kupandangi langit-langit kamar. Tidak ada yang menarik perhatian selain bekas sarang laba-laba yang menempel di sana. Sepertinya aku harus lebih rajin membersihkan kamar.

Aku menguap lebar. Tidak melakukan apa-apa ternyata bikin cepat mengantuk. Mataku hampir terpejam ketika ponselku berdering nyaring. Segera kucari benda pipih yang masih tersembunyi di dalam ransel. Senyumku merekah saat menemukan nama Dani terpampang di layar. Tanpa membuang waktu, kutempelkan ponsel itu di telinga.

"Hai, Sha. Udah pulang dari sekolah?" sapannya terdengar di ujung telepon.

"Udah. Kamu sendiri gimana?"

"Belum. Teman-temanku ngajakin kerja kelompok. Ada proyek buat UTS."

"Kerja kelompok jam segini? Enakan tidur kali!"

"Itu kamu. Bisa-bisa nilaiku terjun bebas kalau gitu."

"Nggak asik!" cibirku.

"Nggak pa-pa. Tapi, aku asik diajak ngobrol, kan?"

Aku mencibir. "Ge-er!"

Kudengar Dani tertawa pelan. "Udah makan belum?"

"Udah dong. Kamu pasti belum, iya, kan?"

"Kok tahu?"

"Suara perutmu kedengaran sampai sini."

"Bisa aja. Seandainya lokasi kita dekat, kamu mau nggak bawain aku makan siang?"

"Iya dong. Lumayan 'kan sekalian bisa minta bantu ngerjain tugasku."

"Dasar pamrih!"

Aku tertawa mengejek. "Memang."

Dani berdehem, lalu tak lagi terdengar suara. Aku melirik layar ponsel. Masih terhubung. "Halo?"

"Sha ..."

"Hm?"

"Aku nggak keberatan sih bantuin kamu ngerjain tugas."

"Harus gitu," sahutku agak songong.

"Aku jadi punya alasan buat selalu ngehubungin kamu."

Aku mengernyit. Cara bicaranya terdengar berbeda. Seperti menyimpan keraguan. "Kamu boleh nelpon meski aku nggak punya tugas kali."

"Iya sih, tapi aku pengen berguna buat kamu."

"Hah? Ngomong apa, Dan?"

Hening lagi. Cukup lama. Aku masih menunggu Dani bersuara. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Aku jadi waspada. Takut ada kabar buruk. "Kamu masih suka sama Rafid, Sha?" tuturnya sangat pelan.

"Heh? Kok tiba-tiba nanya soal Rafid?"

"Pengen tahu."

"Masih, tapi nggak terlalu. Ah, kayaknya udah hilang deh. Kenapa emang?"

"Aku berharapnya udah hilang benaran. Tapi, kalau pun belum, mau nggak, kalau aku yang gantiin posisi Rafid?"

Hening. Aku berusaha mencerna perkataanya. Mataku mengerjap. Dani mau menggantikan posisi Rafid? Sebagai apa?

"Halo, Sha?"

"Bentar deh. Ini ... kamu nembak aku?" tanyaku memastikan. Sebisa mungkin mengontrol agar suaraku tidak terdengar girang.

"Iya. Aku suka kamu. Mau jadi pacarku?"

Detik itu juga jantungku seolah berhenti sesaat, lalu euforia berhamburan memenuhi rongga dadaku. "Kok bisa?!"

To be continue ...

Akhirnya tokoh yang cuma disebut-sebut namanya muncul juga. Next, mari mengenal Dani dan siap jatuh hati padanya. Ehe.

Ehem! Sekadar info, vote dan komen itu gratis, lho! 😉

This Is Our Way | ✔Where stories live. Discover now