|12| Arisha dan Hari-Hari Penuh Warna

167 29 19
                                    

Desember 2012

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Desember 2012.

Aku mematut diri di depan cermin. Senyumku teramat lebar. Betapa tidak sabarnya aku menantikan momen ini.

Liburan semester ganjil telah datang. Dani pulang kampung. Kami janjian bertemu di jembatan penghubung antardesa. Ini akan menjadi pertemuan pertama kami setelah resmi berpacaran.

Hubungan kami baik-baik saja setelah menyelesaikan sedikit gangguan kala itu. Sesekali, kami memang akan berdebat. Mempersoalkan hal-hal remeh.

Selepas hari itu, Rafid terhapus dari catatan kisah cintaku. Kami masih sering berpapasan tanpa sengaja. Sapaan sederhana tetap ada. Biar bagaimanapun, kami bertetangga.

Aku berputar sekali lagi. Memastikan penampilanku sempurna. Cukup memuaskan. Aku pun keluar dari kamar. Kulihat Bapak duduk di teras bersama Fauzan. Aku menarik napas berat. Izin dari Mama sudah kukantongi. Kuberanikan diri untuk mendekat.

"Pak," panggilku takut-takut. Bapak menoleh ke arahku. "Arisha izin ke jembatan, ya?"

"Jangan izinkan, Pak! Dia mau ketemu pacarnya itu!"

Kupelototi Fauzan. Sialan anak itu. Dia pasti membaca pesan di ponselku lagi secara diam-diam. Fauzan suka menyembunyikan barang-barangku kalau kami sedang bertengkar. Ponsel paling sering jadi sarannya.

"Kamu masih pacaran sama si Rafid?"

"Enggak, Pak. Sudah putus. Sekarag pacarnya si Dani. Itu, lho, anak dari desa sebelah yang sekolah di SMA Z Bau-Bau."

"Jangan berisik, Fauzan!" sentakku. Dia meleletkan lidah. Rasanya ingin kujitak kepalanya. Berapa banyak yang diketahui bocah itu?

"Kalian ini bertengkar terus. Ozan, jangan ganggu kakakmu. Arisha juga. Tidak usah diladeni kalau adekmu nakal."

"Maaf, Pak," sahutku. Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Siapa yang bantu mamamu di dapur?"

"Tadi sudah Arisha bantu, Pak. Mama ngasih izin buat pergi."

"Oh, ya sudah. Jangan pulang kemalaman lagi."

"Terima kasih, Pak!" sahutku girang. Kusalami dan kucium tangan Bapak cepat. Sebelum benar-benar berlalu, kusempatkan diri menggetok kepala Fauzan.

"Oi, sakit!" teriaknya. Kubalas dengan tawa setan. Kapok!

Aku melangkah ringan. Tempat yang kutuju tidak terlalu jauh dari rumah. Dapat ditempuh dengan berjala kaki. Jembatan itu terbuat dari kayu dan menjadi penghubung antara dua desa yang dipisahkan oleh selat kecil. Ya, Dani tinggal di seberang sana. Kami bertemu di batas desa.

Tanpa terasa, mungkin karena terlalu antusias, jembatan yang kutuju sudah di depan mata. Samar-samar, kulihat ada seseorang yang berdiri di sana. Kupercepat langkah. Mungkinkah itu Dani?

Jantungku berdetak sangat kencang seiring jarak yang semakin menipis. Rasa-rasanya, perutku mendadak mulas. Ini berlebihan. Sebegitu hebatnya euforia menanti pertemuan dengannya.

Kakiku menapak pada kayu. Terjadi sedikit guncangan. Kueratkan pegangan pada pagar pembatas.

Napasku tertahan. Dia menoleh ke arahku. Pandangan kami bertemu. Kenapa momennya setepat ini?

Jembatan sedang sepi. Matahari semakin tengelam. Angin sepoi membelai wajahku. Bunyi ombak yang menghantam bebatuan tak luput dari pendengaran. Seperti slow motion, dia mendekat ke arahku.

Kuhentikan langkah. Kami terpisah oleh jarak sekitar setengah meter. "Kak Dani/Arisha?" ujar kami bersamaan.

Dani mengulurkan tangan. Kusambut dengan riang. "Anggap aja perkenalan resmi," tukasnya. Sukses membuatku tertawa malu. Ini pertemuan paling aneh yang pernah kualami.

"Udah lama di sini?" tanyaku sambil melepaskan tautan tangan.

Dani mengeleng. "Baru aja. Kamu ke sini jalan kaki?"

"Ya, rumahku dekat kok. Kamu?"

Kami tak lagi berhadapan. Sekarang berdiri bersisian. Tangan ditekuk dan lengan bersandar di pagar pembatas. Pandanganku tertuju pada pulau di kejauhan sana.

"Rumahku juga dekat dari sini. Gimana persiapan ujianmu? Aman?"

Aku berdecak. Aku memang sering curhat masalah kecerewetan guru-guru tentang ujian nasional. Hanya saja, tidak kusangka dia akan membahas lagi hal itu pada pertemuan pertama kami. Ada-ada saja. "Nggak ada topik lain, ya?"

Dani terkekeh pelan. "Emang mau bahas apa?"

Aku menoleh ke arahnya. Begitu pula dengannya. Kami tatap-tatapan. Ini sungguh mendebarkan. "Potongan rambutmu rapi banget?" Aku berkomentar tanpa sadar.

Dani mengangkat sebelah alisnya, lantas tertawa lagi. Sepertinya dia orang yang dapat menertawakan apa pun. "Itu yang pengen kamu bahas?"

"Eh? Enggak, lah! Maksudku, kata teman-temanku, anak IPS biasanya bandel-bandel gitu?"

"Ah, enggak juga. Aku ini buktinya," sahutnya pongah.

Aku mendengkus geli. Dani memang sedikit narsis. Aku suka gayanya. "Gimana dengan teman-temanmu yang lain?"

"Sama aja. Ada yang bandel, ada yang taat aturan. Anak IPA juga begitu. Sayangnya, udah jadi stereotip masyarakat kalau anak IPS itu pasti bandel semua."

Dahiku berkerut. Satu lagi kebiasaan baru Dani. Belakangan, dia sering menggunakan istilah-istilah yang tidak kupahami. "Stereotip itu apa?"

"Eh?" Dani cengengesan. "Stereotip itu konsep atau pandangan tentang suatu golongan yang didasarkan pada prasangka subjektif. Hm ... sederhananya gimana, ya? Ah, suatu kelaziman. Maksudku, sudah jadi kebiasaan masyarakat menganggap anak IPS bandel semua."

Kupandangi Dani dengan saksama. Rasa-rasanya, aku baru saja berbicara dengan alien yang datang dari luar angkasa. "Aku nggak paham."

Dani menggaruk rambutnya. Cengirannya muncul. "Maaf, ya. Akhir-akhir ini aku sering diskusi dengan kakak kelas. Sedikit terpengaruh sama gaya bahasanya."

"Pantas. Kakak kelasmu kayaknya pintar?"

"Dia punya wawasan luas."

"Kalian diskusi tentang apa aja?"

"Banyak hal. Rata-rata topik mengenai islam. Pembahasannya mulai dari akidah. Tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup. Dari mana kita berasal? Apa tujuan hidup kita di dunia? Setelah meninggal, ke mana kita akan pergi? Seputar itulah. Kadang juga masalah sosial. Hm ... apa lagi, ya?"

"Udah, udah. Kayaknya pembahasan kita makin berat." Aku menyengir ke arahnya. Dia tertawa pelan. Kuembuskan napas perlahan. Aku tak ingin menghabiskan momen ini dengan hal-hal seserius itu.

"Betul juga. Kenapa kita malah bahas kakak kelasku?"

Aku mengangguk-angguk. "Eh, ngomong-ngomong, kakak kelasmu itu cewek atau cowok?"

Dani tersenyum penuh arti. Aku menatap curiga. "Kamu meragukan kesetiaanku?" tanyanya kalem. Sukses menghangatkan wajahku.

To be continue ...

This Is Our Way | ✔Where stories live. Discover now