|21| Bicara Tentang Dakwah

215 22 12
                                    

Agustus 2018

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Agustus 2018.

Genap dua tahun aku menempuh pendidikan di kota ini. Banyak hal yang berubah. Tidak mudah memang, tetapi aku mampu bertahan sampai sejauh ini. Kulangkahkan kaki dengan riang. Tahun ajaran baru senantiasa memberi kesan berbeda.

Mahasiswa berseragam hitam-putih lalu-lalang di sepanjang jalan kampus. Mahasiswa baru yang belum tersentuh beratnya kehidupan kuliah. Aku selalu suka melihat sorot ingin tahu dari mata mereka.

Langkahku semakin cepat setelah memasuki gedung jurusan. Lantai tiga menjadi tujuan. Biar kutebak, dosen pasti belum datang. Mereka biasanya terlambat 10 menit. Berhubung sudah tahu betapa pentingnya disiplin dalam pandangan Islam, kuputuskan untuk hadir tepat waktu.

Kulirik jam tanganku. Tinggal 5 menit lagi. Pintu ruangan 305 sudah di depan mata. Langkahku sedikit melambat saat melihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu sambil menatap kertas pengumuman. Sepertinya dia tengah memastikan jadwal.

Aku tidak mengenalinya. Mungkinkah dia mahasiswa dari kelas lain? Mengingat kelas pagi ini adalah mata kuliah pilihan. Besar kemungkinan gabungan dari setiap kelas.

"Maaf, permisi, Mas. Saya mau lewat," tukasku agak sungkan setelah berdiri di sampingnya. Dia menghalangi jalan masuk.

Lelaki itu menoleh. Pandangan kami bertemu. Senyumnya merekah. Aku buru-buru mennggerakkan bola mata ke arah lain. Gila. Bolehkah aku sedikit berkomentar? Kurasa dia benar-benar tampan.

Aku menepuk jidat. Apa yang kupikirkan? Ah, salah satu kelemahanku muncul lagi. Masih susah mengendalikan hati. Bukan berarti aku langsung jatuh cinta pada laki-laki asing ini.

"Ini kelas Asesmen Formatif, ya?" tanya laki-laki itu.

"Iya, Mas," sahutku cepat. Dia tersenyum geli. Aku mengerjap. Apa yang salah?

"Terima kasih informasinya. Silakan masuk duluan," tukasnya sambil bergeser, memberiku jalan. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil kesempatan.

Sesampainya di dalam kelas, kupilih bangku paling depan. Setelah ditegur Pak Revan beberapa tahun lalu, aku kapok tidur di dalam kelas. Terlebih, aku belum tahu bagaimana ketentuan dosen pengampu mata kuliah ini.

Seperti biasa, Aurel sudah mendiami posisi favoritnya. Tepat di hadapan meja dosen. Ah, gadis itu memang agak-agak ambisius dengan nilai. Kurasa IPK-nya pasti di atas rata-rata. Entahlah.

Aku sengaja duduk di dekat Aurel. Besar kemungkinan kami akan jadi partner lagi jika ada pembentukan kelompok. Terlepas dari sikap menyebalkan, dan lisannya yang super tajam, Aurel sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya.

"Kamu udah nulis artikel opini?" bisikku kepada Aurel. Kami jadi tim media di organisasi. Sungguh mengherankan. Tidak di kelas, tidak di organisasi, kami hampir selalu bersama. Mau tidak mau, aku berlatih membiasakan diri dengan sikapnya.

This Is Our Way | ✔Where stories live. Discover now