|26| Terbukanya Tabir Rahasia (b)

152 21 13
                                    

Malang, di indekos Arisha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malang, di indekos Arisha.

Kubiarkan air mataku mengalir. Biarlah Aurel menyaksikan semuanya. Agar dia paham betapa tidak pantasnya aku berada di atas jalan dakwah.

Kulihat dia mengitarkan pandangan ke segala arah. Aku tidak mampu menebak pikirannya lewat sorot mata. Sudah pernah kubilang, bukan? Aurel cenderung punya tatapan kosong.

Aurel menengok ke kiri dan ke kanan. Sepertinya dia mencari sesuatu. "Nyari apa?"

"Tisu, soalnya aku nggak punya."

"Tisuku habis. Buat apa?"

Aurel mengangguk-angguk. Kali ini dia mengeluarkan beberapa lembar kertas HVS dari dalam tas. "Buat kamu. Aku nggak punya tisu. Kamu bisa pakai itu buat nyeka air mata."

Aku mendengus, lalu menangis sambil tertawa. Tega sekali manusia satu ini. Kelakuannya benar-benar ajaib. Bisa-bisanya aku curhat padanya!

Aurel menyeringai tipis. "Merasa lebih baik?"

Aku melotot. Kertas yang dia berikan benar-benar kupakai mengelap wajah. Agak sakit, tetapi biarlah. Hitung-hitung membuat suasana aneh ini terurai. "Mana ada orang yang merasa lebih baik setelah dikasih kertas!" sahutku sebal, tetapi tak mampu sembunyikan kedutan di bibir. Astaga. Temanku ternyata seunik ini.

Aurel menarik napas. "Jadi, masalah itu yang buat kamu mengurung diri selama seminggu?"

Aku membuang muka. Tak membantah.

"Sudah kamu pastikan hal itu ke orang tuamu? Ada kemungkinan nenekmu salah, bukan?"

Aku menggeleng. Hatiku rasanya pedih. "Aku takut Bapak bakalan terluka lagi. Biar bagaimanapun, itu aib orang tuaku di masa lalu. Semoga Allah mengampuniku karena menceritakan aib mereka, tapi sungguh, aku butuh solusi. Aku tahu sikapku belakangan keliru. Membenci Mama yang membesarkanku, menyalahkan takdir, bahkan berencana mundur dari dakwah. Sayangnya, aku benar-benar nggak punya ide gimana menampung semua beban ini.

"Aku mati-matian nahan perasaanku selama di rumah. Khawatir mereka bakalan curiga kalau aku pundung begini. Setiap kali melihat wajah Bapak, aku merasa bersalah. Setiap kali melihat wajah Mama, kebencianku mencuat. Aku nggak terlalu yakin kamu bakalan ngasih solusi, tapi setidaknya, makasih udah bersedia mendengarkan."

Aurel memandangiku lamat-lamat. Aku masih berusaha menerka apa yang dia pikirkan. Tak kudapati sorot penghakiman di sana. Sesaat, aku bisa lega.

"Aku diizinkan berkomentar?"

Lumayan mengejutkan mendengarnya meminta izin. Kupikir orang sepertinya asal ceplas-ceplos. Tak peduli respon orang lain. Begitulah Aurel yang kukenal selama ini. Ah, mungkin, mungkin saja dia punya aturan main sendiri dalam menentukan waktu yang tepat untuk menunjukan sedikit simpati. Kutanggapi dengan anggukan.

"Dengan kata lain, mereka belum tahu kalau kamu udah mengerti rahasia yang disembunyikan rapat-rapat?"

"Ya, begitulah."

This Is Our Way | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang