Akhir Januari 2019.
Sebulan berlalu sangat cepat. Besok perkuliahan semester genap dimulai. Tiga tahun sudah aku menyandang status sebagai mahasiswa.
Dua hari yang lalu aku balik ke Malang. Meninggalkan setumpuk kesedihan dari kampung halaman. Perasaanku masih belum membaik. Aku terlalu shock akan kebenaran yang disodorkan di depan mukaku.
Kuusap air mataku kasar. Rasanya bagaikan mimpi. Kupeluk diriku erat-erat. Aku tergugu. Sesak luar biasa.
Pertanyaanku selama ini terjawab sudah. Bapak yang bersikap dingin, Mama yang diam saja. Tak kusangka hidupku akan begini menyedihkan.
Di saat aku sudah bertekad untuk meniti jalan dakwah, kenyataan pahit justru menyambutku. Aku kehilangan rasa percaya diri. Tak pantas orang sepertiku menjadi aktivis.
Aku terus menangis. Menyesali keputusanku pulang kampung. Seandainya aku tetap di Malang, mungkin hatiku takkan sesakit ini. Aku akan terus hidup dengan baik. Tidak akan ada yang berubah.
Kini, segalanya terasa serba salah. Aku ingin mengutuk apa pun. Menyalahkan siapa saja yang membuat perasaanku kacau balau. Aku terisak. Lagi dan lagi.
Malam itu, entah berapa lama aku meratap, mengais-ngais impian di tengah kenyataan, berharap semua yang kudengar salah.
Akan tetapi, berapa lama pun aku berharap, sejauh apa pun aku berusaha ingkar, bahkan meski air mataku mengering, dadaku sedemikian sesak, di dalam mimpi sekalipun, takkan ada yang berubah. Fakta tetaplah fakta.
Hari-hari selanjutnya kujalani tanpa semangat. Aku hanya terbaring di atas kasur. Beranjak ketika lapar, ingin ke kamar mandi, atau melaksanakan salat.
Kuliah kutinggalkan, amanah kulupakan, dering ponsel tak sedikit pun menarik perhatianku.
Semua terasa percuma. Aku jijik pada diri sendiri. Kebanggaan yang kumiliki lenyap tak bersisa.
Aku berguling di atas kasur. Telentang. Suram. Nyaris tidak ada cahaya yang masuk ke dalam kamar.
Ah, sudah berapa lama aku seperti ini? Tanggal berapa sekarang? Kuraih ponselku sekilas. Genap seminggu.
Apakah belum waktunya untuk mati? Aku kehilangan makna. Tak ada gunanya. Segalanya kini terasa salah.
Aku mengerjap. Bola mataku bergulir. Ah, siapa yang datang mengunjungiku?
Kupejamkan mata. Tak peduli meski pintu kamarku terus diketok. Semakin lama gedoran di pintu semakin brutal. Biarkan saja.
"Aku tahu kamu ada di dalam! Buka pintunya, Arisha!"
Suara itu tidak asing. Siapa pun dia, aku ingin menemuinya. Perasaan ini terlalu berat kutanggung sendirian. Sayang, aku tak punya cukup keberanian. Jika terhadap diri sendiri saja aku jijik, apatah lagi orang lain.
YOU ARE READING
This Is Our Way | ✔
Teen Fiction[Chapter lengkap] This is our way ... Inilah kisah kita semasa remaja. Ketika hidayah menyapa, kita pun berpisah. Rasa belum sepenuhnya musnah. Ada misteri terbentang. Rahasia langit belum tersingkap. Suatu hari nanti, ketika usia jauh lebih dewasa...