|1| Rafid, Pacar Pertamaku!

520 42 19
                                    

📍

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

📍

Desa X, Buton, Mei 2012.

"Risha! Tolong ambil jemuran!"

Teriakan mama membuatku menarik napas. Dengan langkah gontai, aku berjalan ke halaman belakang. Kupandangi jemuran dengan nanar. Risiko jadi anak sulung. Tidak ada yang dapat disuruh-suruh kecuali aku.

Arisha Luana, begitulah orang lain mengenalku. Anak pertama dari dua bersaudara. Irsyad— bapakku— seorang kepala sekolah di SMA X, satu-satunya sekolah di desaku. Maira— mamaku— hanyalah ibu rumah tangga biasa. Fauzan—adikku— bocah tengil berusia 11 tahun. Sebagai anak sulung dan berjenis kelamin perempuan, beginilah rutinitasku.

Pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, aku diwajibkan membantu pekerjaan rumah. Mencuci piring bekas makan malam. Di sekolah aku berteman dengan banyak orang, tapi tidak ada yang benar-benar dekat sehingga layak disebut sahabat. Menjelang sore, sepulang dari sekolah, aku kembali menekuni pekerjaan rumah. Aku sampai dibuat heran. Rasanya, kerjaan mama tidak pernah ada habisnya. Dari pagai sampai malam selalu berkutat di dapur. Begitu terus. Rutinitas kami sudah terprogram sedemikian rupa.

Seperti saat ini, misalnya. Mentari sebentar lagi berubah warna. Kilau keemasan memantul di permukaan laut. Aku memejamkan mata sejenak. Meresapi bau air garam yang dihantarkan ombak. Benar sekali. Rumahku terletak di tepi pantai. Sekitar 50 meter dari bibir pantai. Tidak perlu khawatir jika pasang naik karena rumah ini terletak di ketinggian 7 meter. Ada tebing setinggi itu yang memisahkan daratan dan lautan.

Aku meninggalkan jemuran. Suara azan Ashar berkumandang. Cepat-cepat, aku meletakkan tumpukan pakaian ke dalam keranjang bersih. Melangkah ke dapur tempat mama menghabiskan waktu. Tampaknya mama sedang asik menyiapkan makan malam.

"Ma, aku izin keluar, ya?"

"Mau ke mana?"

"Jalan-jalan sama teman. Ya? Ya? Sekali-kali, Ma. Tadi aku udah bantu beres-beres rumah. Nanti malam aku bakalan lipat pakaian deh. Boleh, ya?"

"Jangan pulang malam! Kamu tahu sendiri kalau bapakmu nggak suka cewek keluyuran."

"Siap!" seruku semangat. Tidak apa. Ini merupakan momen langkah. Jarang-jarang aku diizinkan keluar tanpa memakai alasan tugas sekolah. Untunglah bapak masih ada kerjaan di sekolah. Jika tidak, aku yakin izin keluarku hanyalah khayalan.

Aku mematut diri di depan cermin. Usiaku baru 14 tahun. Seperti remaja pada umumnya. Ada hal-hal yang kurahasiakan dari orang tua. Aku tersenyum puas melihat penampilanku. Keluargaku memang tidak kaya, tapi kebutuhan kami terpenuhi. Aku tak perlu khawatir tentang uang jajan dan pakaian. Mama juga termasuk ibu-ibu modis. Aku sering dibelikan pelbagai model pakaian yang sedang trend di pasaran. Boleh dikata, penampilanku tidak dekil-dekil amat walau tinggal di desa terpencil.

Hari ini adalah momen istimewa. Pengumuman kelulusan anak kelas tiga sudah terlaksana. Mereka berencana jalan-jalan demi merayakan kelulusan. Aku tentu saja senang. Sebagai cewek yang memilik hubungan dekat dengan salah satu siswa kelas tiga, aku turut bergabung dalam euforia ini.

Pintu rumahku diketuk. Di saat-saat seperti ini, aku bersyukur karena kamarku yang paling dekat dengan pintu utama. Dia sudah datang. Aku segera berbalik. Meraih tas selempang yang kutaruh sembarang di atas kasur. Langkah kakiku terasa begitu antusias. Ketika pintu kubuka, senyumnya adalah pemandangan pertama yang kulihat.

"Sudah siap?" tanyanya. Aku mengangguk semangat. Pandanganku tertuju di balik punggungnya. Sebuah motor terpakir manis di tepi jalan. Dia berbalik. Sepertinya menyadari kebingunganku. "Punya teman. Sengaja kupinjam biar kamu nggak nebeng ke cowok lain."

Aku tersenyum malu. Ah, cowok ini satu-satunya alasan aku menikmati hari. Ia hadir memberikan warna baru di duniaku. Sejak setahun yang lalu, dalam pandanganku, tidak ada yang lebih menarik darinya.

"Ayo jalan!" tukasnya sambil menarik pergelangan tangan kananku. Aku segera menutup pintu. Sedikit khawatir jika mama melihatku bersamanya. Kupandangi genggaman kami. Jantungku bertalu.

Dialah Rafid, tetanggaku sekaligus pacar pertamaku.

To be continue ...

Singkat, ya? Haha. Gimana? Apa kalian merasakan perbedaan dengan cerita-cerita yang lain? Semoga nggak aneh, ya. Ini teenfict pertamaku. Masih butuh belajar buat nge-feel lagi ke masa-masa sekolah. Ehe.

This Is Our Way | ✔Where stories live. Discover now