|11| Jeda

158 24 10
                                    

Dua minggu sudah aku mengabaikan Arisha

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dua minggu sudah aku mengabaikan Arisha. Telepon dan SMS darinya kubiarkan begitu saja. Lebih tepatnya, tidak ada lagi kabar darinya sejak seminggu yang lalu. Sengaja kublokir kontaknya. Ini aman untuk kami. Dia terhindar dari sakit hati, aku takkan luluh.

Aku kecewa padanya. Dia pembohong. Aku tak mau lagi berurusan dengannya. Benar apa kata Bang Hasan, pacaran tidak berguna. Belajar menjadi fokus utamaku kini. Aku perlu menyiapkan protofolio yang bagus untuk menapaki jenjang pendidikan selanjutnya.

Perasaanku untuk Arisha masih ada. Tak ingin hilang, meski aku sudah berusaha lupa. Biarlah. Suatu hari nanti pasti akan musnah dengan sendirinya.

Belakangan, aku juga punya aktivitas baru. Diskusi intensif dengan Bang Hasan. Sesuai dugaan, dia memanfaatkan jalan yang telah kubuka. Tidak masalah. Aku cukup senang menjalaninya.

Bang Hasan punya wawasan luas. Label anak IPA tidak membuatnya terkungkung pada angka dan nilai pasti. Fakta tentang persoalan masyarakat yang ia paparkan justru lebih dalam dibandingkan aku, yang notabene mempelajari Sosiologi.

Sepulang dari sekolah aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kukunci pintu kamar. Sengaja mengurung diri. Kuganti seragam putih abu-abu dengan kaos dan celana training. Ekonomi keluargaku pas-pasan. Aku tidak punya banyak koleksi pakaian.

Aku menarik napas. Bersiap untuk tidur. Saat mataku akan terpejam, pintu kamar diketuk. Desisanku terdengar.

"Dani!"

Itu suara Bang Faras. Enggan, aku bangkit. Terganggu dengan bunyi gedoran yang tidak berhenti. "Kenapa, Bang?" tukasku begitu pintu terbuka.

"Arisha mau ngomong."

Ternyata cewek itu belum menyerah. Aneh sekali. Dia yang memutuskanku, dia juga yang kembali mengejar. "Capek. Pengen tidur."

Bang Faras menatapku tajam. "Kalau ada masalah diselesaikan, jangan kabur."

"Dia yang bermasalah, bukan aku."

"Terserah. Pokoknya dengarkan saja. Dia mau menjelaskan sesuatu." Bang Faras memperbesar volume panggilan. Aku jadi bisa mendengar suara Arisha.

"Halo, Dani?"

"Hm," gumamku malas-malasan.

"Maaf, aku benar-benar minta maaf. A-aku nggak berniat mutusin kamu."

Aku membuang muka. Ini sedikit memalukan. Bang Faras masih ada di sini dan mendengarkan percakapan kami. Kurebut ponsel miliknya. "Pinjam bentar, Bang!" tukasku sambil sedikit mendorongnya, lantas menutup pintu.

"Jangan lama-lama! Aku ada janji sore ini!" teriaknya dari luar.

"Halo, Dan?" Arisha kembali bersuara. Terdengar agak sengau. Mungkinkah dia habis menangis?

Aku bersandar pada pintu. "Kenapa?"

"A-aku masih suka sama kamu. Nggak mau kayak gini. Aku pengen kita seperti dulu." Arisha terbata. Aku mendengarkan dengan saksama. Tampaknya cerita ini masih berlanjut. "Ra-rafid sakit. Dia ngajak balikan. Aku nerima karena kasihan. Nggak tega lihat kondisinya. Sekarang dia udah membaik."

"Terus?"

"Aku emang salah. Harusnya kuceritakan ini sejak awal. Aku nggak mau selingkuh. Kondisi Rafid waktu itu parah banget, makanya aku milih putus sama kamu. A-aku nggak nyangka kalau kamu bakalan semarah ini. Ma-maaf, Kak."

Aku diam. Alasannya masuk akal. Dapat kuterima. Selain itu, di daerah kami tidak lumrah memanggil kakak kepada orang yang hanya berjarak setahun. Arisha menunjukkan penyesalannya. Betapa mudah aku luluh. Hanya saja, aku tidak ingin selalu dinomorduakan bila kejadian semacam ini terulang lagi. "Dia manusia, aku juga. Kami sama-sama punya hati. Aku nggak bisa berbagi. Sekarang kamu pilih, aku atau dia?"

Jawabannya jelas. Dia memilihku. Aku hanya ingin mempertegas. Senyumku mengembang. "Panggil aku kakak mulai sekarang!"

"Nggak mau!"

"Oh, gitu?"

"Eh! Iya, iya! Jangan marah lagi! Kontakku jangan diblokir!"

Aku terkekeh pelan. Kubuka pintu kamar. Sambil mencari keberadaan Bang Faras, kami terus mengobrol.

Langkahku berhenti mendadak. Bang Hasan muncul tiba-tiba. Dia masih menggunakan seragam sekolah.

"Kenapa kelihatan kaget gitu?"

Aku tersenyum kikuk. Merasa tertangkap melakukan kesalahan. Kujauhkan sejenak ponsel dari telinga. "Baru pulang, Bang?"

Bang Hasan mengulum senyum simpul. Aku sedikit tidak nyaman melihatnya. "Tadi ada kegiatan rohis. Nanti malam jadi diskusi kayak biasanya, kan?"

Aku mengangguk. "Aku ke sana dulu, Bang!" tukasku sambil buru-buru mendekati kamar Bang Faras. Tidak mungkin berlama-lama membiarkan Arisha menunggu di telepon.

"Halo, Sha?"

"Ngobrolin apa, sih? Kok lama?" Arisha bertanya penasaran.

"Basa-basi biasa. Oh, iya, udah dulu, ya? Ponselnya mau diambil," ujarku cepat. Tanpa mendengar jawaban Arisha, aku langsung memutus sambungan.

Aku termenung. Rasa gelisah ini ... apa artinya?

To be continue ...

This Is Our Way | ✔Where stories live. Discover now