|9| Arisha Dilema

167 23 12
                                    

Tidak kusangka orang tuaku memberi izin dengan mudah

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Tidak kusangka orang tuaku memberi izin dengan mudah. Mereka tidak banyak protes ketika kusampaikan kinginanku menjengkuk Rafid. Rasa prihatin mungkin telah menyingkirkan ketidaksukaan mereka untuk sementara.

Di sinilah aku sekarang. Berdiri di hadapan Rafid. Aku memandanginya. Tak dapat kusembunyikan rasa kasihan. Cowok itu terbaring lemah di ranjang pesakitan. Selang infus masih terpasang di tangannya.

"Jangan lihatin aku gitu, Sha," tukasnya. Rafid mengalihkan pandangan.

Aku menarik napas. Bingung harus menjawab apa. Sejak 10 menit yang lalu kami hanya diam. Hanya ada kami di ruangan sempit ini. "Kok bisa sampai sakit gini?" gumamku. Kuputuskan untuk mencairkan suasana.

"Makan nggak teratur. Kata dokter begitu. Sudahlah. Aku nggak minta orang-orang ngajak kamu ke sini buat bahas soal sakitku."

Kuputuskan untuk duduk di kursi yang tersedia. Aku tahu maksudnya. Rafid pasti ingin membahas tentang hubungan kami. Sebaiknya memang segera diselesaikan.

"Aku minta maaf. Nggak bermaksud selingkuh. Dia yang duluan dekatin aku." Rafid menatapku.

Kubalas pandangannya. Tak lagi tersisa rasaku untuknya. Semuanya terasa hambar. "Seharusnya kamu nggak terpengaruh."

"Iya, aku bodoh karena terpengaruh ejekan teman-teman. Kami sekelas. Semua orang ngejodoh-jodohin kami. Maaf, Sha. Aku menyesal," gumam Rafid lirih.

Apa katanya? Setelah apa yang dia lakukan padaku, semudah itu kata maaf terlontar? "Kalau emang kamu nyesal, kenapa nggak menghubungiku saat itu? Kamu menghilang tanpa jejak. Lalu tiba-tiba muncul lagi dalam kondisi kayak gini."

Tangan Rafid terulur ke arahku. Kupandangi wajahnya bingung. "Genggam," terang Rafid lirih.

Aku mengembuskan napas pelan. Enggan sebenarnya. Teringat hubungan kami yang sudah berakhir. Pandangan Rafid memelas. Dia terlihat tidak berdaya. Aku benar-benar kasihan. Tidak pernah kulihat Rafid dalam kondisi seperti ini sebelumnya. Terpaksa kugenggam telapak tangannya. Senyum tipis sontak terukir di bibir Rafid.

"Aku tahu kamu marah. Kurasa percuma menghubungimu. Kamu pasti menolak."

Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik sinis. Serius itu alasannya? Bukankah cowok ini sangat egois? Hanya karena tidak ingin menerima penolakan, ia membiarkanku sedih sendirian. "Kamu egois," komentarku pahit. Perasaanku kembali bergejolak. Aku marah dan kecewa padanya. Teringat lagi akan usahaku membela Rafid di hadapan orang tuaku. Semuanya kini terasa sia-sia.

"Iya, aku mengaku salah." Rafid mengeratkan genggamannya. "Itulah kenapa aku mau kamu ke sini. Perasaanku buat kamu masih sama, Sha. Aku mau kita balikan."

Aku menggeleng. Tidak ada lagi kesempatan untuknya. Aku sudah menemukan pengganti yang jauh lebih baik. Kata-kata manis dari Rafid seakan menguap begitu saja. "Terlambat, Raf."

Tatapan itu muncul lagi. Sorot putus asa. Aku mengalihkan pandangan. Meskipun rasa untuknya sudah lenyap, tapi aku tidak menyukai kesedihannya. Terlepas dari pengkhianatannya, Rafid adalah cowok yang asik. Raut memelas tidak cocok dengannya.

"Aku mohon, Sha. Cuma kamu yang nerima aku apa adanya. Kamu menegurku karena perhatian, bukan dengan aura kebencian. Aku sayang kamu. Kita balikan, ya?"

Aku menahan napas. Ini berat. Biar bagaimanapun, Rafid adalah cowok yang pernah mengisi hari-hariku. Sekarang dia sedang sakit. Kondisi mentalnya pasti menurun. Aku tidak tega menambah beban di pundaknya. Haruskah kuterima ajakan balikan darinya? Lantas bagaimana dengan Dani?

"Sha?" panggilnya lagi. Mungkin karena aku terlalu lama merenung.

Kutatap Rafid dalam-dalam. jika dibandingkan dengan Dani, kondisinya jauh lebih menyedihkan. Setidaknya saat ini Dani bai-baik saja. Rafid sedang sakit. Aku takut penolakan akan semakin membuat kondisinya drop.

Setelah mempertimbangkan situasi, kuputuskan untuk menerima Rafid kembali. Aku mengangguk pelan. Senyum lega terlukis di wajah Rafid. "Makasih, Sayang! Aku janji nggak bakalan macam-macam lagi!"

Aku menggigit bibir bawahku. Bayangan Dani terlintas di benak. Jika begini kondisinya, bukankah sama saja aku selingkuh? Apa bedanya dengan pengkhianatan yang pernah dilakukan Rafid? "Em, aku izin keluar bentar, ya? Kamu istrahat dulu."

Tanpa banyak protes, Rafid melepaskan genggamannya. Tergesa, aku melangkah keluar dari ruangan penuh sesak itu. Kuputuskan untuk mencari tempat sepi. Aku butuh waktu sendirian.

Tidak. Aku tidak mau selingkuh. Hanya boleh ada sepasang hati dalam setiap hubungan. Aku benci pengkhianatan Rafid saat itu. Aku tidak ingin mengikuti jejaknya.

Kuamati kondisi sekitar. Suasana koridor cukup sepi. Mungkin karena sudah terlalu malam. Sebaiknya aku segera menghubungi Dani. Tanpa menunggu lama, pangilanku bersambut. Kutarik napas panjang, dan kuembuskan secara perlahan.

"Halo, Sha? Ada apa nelpon malam-malam?" tanya Rafid.

"Hm, kamu lagi ngapain?"

"Baru selesai ngerjain PR. Kamu kangen, ya?"

Aku tersenyum tanpa sadar. Candanya selalu membuat perasaanku lebih baik. "Iya."

"Kalau udah liburan, aku pasti pulkam kok. Kita ketemuan, ya?"

Kutelan ludah susah payah. Ini salah satu momen yang kutunggu-tunggu. Bertemu dengannya sebagai dua orang yang saling mengenal. "Dan, aku mau ngomong sesuatu," sahutku.

"Kamu udah ngomong, Sha."

"Aku serius."

Kudengar suara Dani berdehem, "Ada apa?"

Aku mendongak. Mataku terasa panas. "Maaf sebelumnya, gimana kalau kita balik kaya dulu lagi?"

"Maksudmu?"

"Aku lebih nyaman kalau kita cuma berteman aja," gumamku lirih. Berusaha menguatkan hati. Aku tidak ingin selingkuh. Menolak Rafid bukanlah pilihan untuk saat ini. Kurasa Dani bisa lebih mengerti.

Hening. Tidak ada sahutan.

Tawa miris terdengar tak lama kemudian. Aku sudah menyakitinya. Kupatahkan hati kami berdua. Bodoh memang. Tetapi, dibanding perasaan kami, kesehatan Rafid jauh lebih penting, bukan?

"Kamu mutusin aku? Apa salahku, Sha?"

Kututupi wajahku pakai tangan kanan. Air mataku tumpah. Pertanyaannya meruntuhkan pertahananku.

Bukan, ini bukan salahmu. Akulah yang membuat kekacauan ini.

"Ka-kamu nggak salah. Aku pengen fokus belajar dulu. Ujian nasional udah dekat. Aku butuh persiapan untuk masuk SMA," terangku dusta. Aku belum siap menyinggung masalah Rafid. Teringat akan pengakuan Dani tempo hari. Cowok itu tidak suka setiap kali kubahas perihal mantan.

"Gitu, ya?" gumam Dani.

"Bisa 'kan kita tetap jadi teman?" tanyaku. Tidak lama, hening kembali menyergap. Sambungan terputus begitu saja. Aku meratapi pilihanku.

To be continue ...

This Is Our Way | ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu