Babak Dua: Sebuah rencana

Začít od začátku
                                    

"Tentu." balas Joey mengambil kertas itu dan dia segera berjalan mendekati tas Devonna yang berada di bangku hitam dekat dengan meja kerja Hailee.

Devonna memutar tubuhnya, kini dia duduk di pinggir brankar dengan kaki yang menggantung ke lantai, mengarah langsung kepada gravitasi bumi yang terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin ini karena dirinya terlalu lemas setelah tidur panjang yang nyenyak dan mendadak. Begitu pikirnya. Devonna mulai menyentuh permukaan lantai yang dingin di bawah telapak kakinya. Dia merintih kesakitan, rasanya seperti ada jarum yang yang mendorong masuk ke dalam kulit dan dagingnya. Joey menoleh, melihat Devonna yang berusaha untuk berdiri sekuat tenaga. Dia menghampiri Devonna dan segera merangkul tubuhnya.

"Dev, jangan memaksakan dirimu." tukas Joey yang kini merangkulnya dan membawanya pergi ke tempat duduk.

Devonna tampak terengah-engah untuk langkah yang sekecil itu dan biasanya dia remehkan. "Aku hanya sebuah rongsokan yang dibalut dengan cover baru." tukas Devonna kemudian dia melihat Joey yang mengambil tasnya. "Apa kau sedari tadi menemaniku?"

"Ya... karena Hailee memaksaku." ucap Joey dan dia merentangkan tangannya. Devonna bangkit berdiri dengan bantuan lelaki itu. "Seharusnya kau tak perlu memaksakan dirimu sendiri, Dev. Jika kau sakit bilang saja."

"Joey, apa kau tidak ingat dengan ucapanmu sendiri?" tukas Devonna selagi mereka berjalan bersama keluar dari ruangan. "Guru saja sudah tidak ada yang percaya dengan ucapan Hailee jika aku sakit dan tak sadarkan diri, bagaimana jika aku hanya izin saja? mereka bisa-bisa memanggil ayahku lagi dan itu adalah hal terakhir yang ingin aku tambahkan ke daftar hidupku."

Joey hanya terdiam, Devonna melihat Joey dengan seksama. "Ayahku tahu?" tanya Devonna.

"No... ." balas Joey melihat Devonna. "Jangan berasumsi jawabanku ketika kau tak mendengar apa yang aku ucapkan. Mimik wajahku yang tampan ini tidak akan memberikan jawaban yang jelas untukmu."

Devonna menyipitkan matanya dan menggeleng kepalanya dengan perasaan jijik setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Joey. Kini mereka berjalan di koridor sekolah yang sepi dan gelap, satu-satunya penerangan hanyalah cahaya rembulan dari luar sana yang membias masuk melewati jendela-jendela di koridor. Sesekali langkah kaki mereka terdengar menggema di koridor yang sepi ini, seakan mereka sedang di kejar oleh mahluk mengerikan dari ujung kegelapan koridor. Devonna mulai memberanikan untuk berjalan tanpa bantuan Joey setelah merasakan kakinya lebih baikkan dari sebelumnya—walau dirinya masih jalan tertatih-tatih seperti wanita jompo.

Sesampainya di dorm, Devonna segera duduk di sofa dan Joey menaruh tas Devonna di sebelahnya. Dia berdiri sambil menatap Devonna.

"Hailee bilang kau harus rajin merendam kakimu di air hangat dan coba untuk memberikan stimulasi-stimulasi secara berkala. Misalnya kau melakukan pemanasan atau memijat kakimu pelan." jelas Joey.

Devonna mengangguk. "Baiklah, aku mengerti. Terima kasih banyak telah membantuku."

Devonna memijat keningnya dan melihat Joey yang masih berdiri di depannya dengan raut wajah seakan meminta jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ia lontarkan dari mulutnya. Devonna menyipitkan matanya. "Mengapa kau masih di sini, apa kau ingin sesuatu?"

Joey menggigit kedua bibirnya dengan kencang, hingga terlihat kemerahan seperti buah plum segar yang matang di kebun paman kalian. Joey mendekati Devonna dengan cepat, membuat perempuan itu sedikit memundurkan tubuhnya karena kaget—secara harfiah sebenarnya dia ketakutan.

"Devonna, Hailee mengatakan padaku kau bertambah parah." jelas Joey dengan nada yang begitu lembut, bahkan membuat Devonna seakan lupa bahwa lelaki itu adalah lelaki yang sama yang pernah menghadriknya. Rasa simpati itu menggapai tubuh Devonna dengan tenang, dia kini merasa sedikit nyaman. "Tell your father about this. Kau masih mempunyai kehidupan panjang di depanmu."

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Kde žijí příběhy. Začni objevovat