Part 18: Behind the Story

8.6K 866 27
                                        

🌙

Sasuke menatap langit malam dengan tatapan sendu. Dirinya dan Naruto berada dalam perjalanan menuju Desa Takumi. Sebenarnya bukan hanya mereka berdua, Sai juga ikut bersama. Katanya ia rindu melaksanakan misi bersama tim 7.

"Aku tidak merasakan cakra Sakura-chan disekitar sini." Naruto berucap, menghilangkan suasana suram dan sepi yang melingkupi mereka bertiga.

"Urusai, Dobe!"
"Sai, bagaimana keadaanmu?" Sasuke bertanya sambil mengamati hutan yang mereka lewati dari atas burung Sai.

"Masih bagus, aku bisa bertahan dua sampai tiga jam lagi, Sasuke-san."

Sai tersenyum hingga matanya menghilang. Membuat Naruto melakukan gestur seperti seseorang sedang menahan muntah. Entah kenapa sifat Sai dari dulu tidak berubah. Selalu tersenyum aneh hingga matanya menghilang.

"Hei, Sasuke. Jangan terlalu khawatir, aku yakin Hinata-chan baik-baik saja. Shitenshounin pasti tidak akan membiarkan Sakura-chan menyakitinya."

Naruto berusaha menjadi sosok yang bijak. Ia kelak adalah seorang Hokage, jadi tidak masalah bukan belajar memberi wejangan dari sekarang? Lagipula, ia merasa cukup khawatir pada keadaan Sasuke.

Dia tidak bisa tidur malam dengan nyenyak, makan tidak teratur, apalagi setelah bertemu dengan Hinata dalam keadaan yang cukup mengagetkan.

Bahkan Naruto sempat heran, mengapa saat itu Sasuke seolah kehilangan semua kekuatan yang ia miliki? Kemana jutsu amaterasu miliknya? Kemana elemen api yang ia miliki? Kemana sifat pembunuh berdarah dingin miliknya? Kenapa semuanya hilang begitu berhadapan dengan sang istri sendiri?

Saat Naruto bertanya dengan serius kepada Sasuke, ia hanya menjawab bahwa laki-laki mana yang akan melukai gadis yang dinikahinya?

Ugh, benar juga. Lagian kenapa saat itu ia memberi pertanyaan retoris tak berbobot seperti itu?

"Naruto." Sasuke memanggil nama sahabatnya dengan nada lirih. Sontak sang pemilik nama langsung menoleh dan memberikan wajah seolah bertanya 'ada apa?'.

"Apakah kau yakin? Keputusanmu saat itu, hal yang benar?"

Naruto diam menunduk. Wajah yang semula terlihat cerah, seketika menjadi mendung saat telinganya mendengar kalimat yang tak ingin ia dengar. Sementara Sai nampak diam, ini bukan urusannya. Dia hanya diminta oleh Rokudaime-sama agar menemani Sasuke dan Naruto. Serta menjadi penengah bila saja Sasuke akan mencekik atau membalas dendam pada Sakura.

Yah, alasan tadi memang hanya kedok semata.

"Aku sedang mencobanya. Kau tahu, tidak mudah melupakan orang yang kita sayangi bukan?"

Perkataan Naruto sukses membuat Sasuke dan Sai terdiam cukup lama. Benar juga, melupakan seseorang yang kita sayang memang sangat sulit. Terlebih saat alasan kita meninggalkannya karena alasan sakit hati.

Dulu Sasuke juga pernah mencoba melupakan seseorang yang ia sayang. Demi keegoisannya, dia rela meninggalkan apa yang sudah dicapai kakaknya sendiri. Dan hingga saat ini, dirinya masih menyesal. Andaikan ia tahu alasan sebenarnya.

Sai juga sama, dia juga memiliki orang yang ia sayangi. Kakaknya, ah tidak. Sebenarnya bukan kakak, lebih tepatnya senior. Namanya Shin, orang yang mengajarkannya arti perasaan dan ekspresi. Namun sekarang orang itu sudah tiada, dan Sai tidak punya lagi alasan untuk berekspresi.

"Ingin mendengar sebuah cerita?" Sai bertanya dengan nada datar dan wajah sok polos. Naruto dan Sasuke terdiam, seolah mempersilakan bahwa Sai bercerita.

"Sai, itu bukan sebuah nama. Itu adalah kode nama, bahkan aku tidak memiliki nama asli. Saat di Anbu Roots, kami diajarkan untuk tidak berekspresi. Kami tidak memiliki nama, rumah, atau perasaan. Tugas kami hanya satu, menjalankan misi dengan baik.

Red String [End]Where stories live. Discover now