BAGIAN XXXXIII: HARI PERTAMA DI CABANG BARU

3.5K 114 17
                                    

BAGIAN XXXXIII: HARI PERTAMA DI CABANG BARU

Awal bulan baru telah tiba. Waktunya Wanda menjumpai kantor barunya di Pluit. Wanda menapak masuk ke showroom luas yang hanya memiliki satu lantai. Dengan banyaknya koridor dan sekat gypsum yang membatasi dinding demi dinding ruangan. Kantor ini tidak semewah kantor cabang Jakarta Timur. Dengan lahan parkir yang lebih sempit dan lebih dekat ke jalan raya. Di sekeliling pagar yang membatasi area gedung, banyak di penuhi pedagang kaki lima. Dan di sisi kanannya terdapat kanal kecil untuk mencegah banjir.

Dengan senyuman, Wanda melihat-lihat ke dalam ruangan sales, dengan di antar oleh security. Ia datang terlalu pagi. Dan tiba jauh lebih awal dari orang-orang lama di tempat itu.

Wanda memperhatikan meja demi meja yang ada dan langsung saja memilih meja yang di anggapnya paling bersih dan tidak terlalu banyak yang terkelupas catnya.

"Hai... yang pindahan itu, ya..." Rino menyapa ramah, saat tiba tak seberapa lama setelah Wanda. "Betewe, itu bukan meja lo. Yang punya tu meja, galak, loh...", sambung Rino memperhatikan Wanda yang sudah duduk manis di meja yang paling besar di ruangan itu. Dan letaknya agak ke depan, satu-satunya yang berhadapan dengan meja-meja kecil lainnya. Tapi Wanda tak mau bergeming. "Siapa cepat, dia dapat", sahut Wanda santai. Membuat Rino terkekeh geli. Seolah ia akan mendapat tontonan asik yang bisa membuat Wanda jera nantinya. "Hehehe... ya udaaahhh... terserah lo, deh... entar juga lo tauuuu..."

Rino sudah 3 tahun merajalela di Pluit sebagai junior yang baru saja naik jadi senior. Wanda senyam-senyum. "Iya", kata Wanda sambil mengeluarkan sebuah foto ukuran 5R yang berbingkai minimalis, dari dalam tas kerjanya. Membuat Rino sempat mengerenyitkan dahi melihat itu. Rino melirik cepat untuk memandangi wajah laki-laki tampan yang di kenalnya di situ. "Itu kan Pak Werdi..." Rino terdiam sejenak. Memicing pada Wanda. "ngapa'in taruh fotonya di meja lo, Wan? Wanda kan namanya? Anak emasnya si Gerard kan..."

Wanda menyahut cepat, "Kalo gue anak emasnya Oom Gerard, gak bakal gue di ungsi'in ke sini." Tapi kemudian Wanda senyam-senyum lagi sambil memandangi foto Werdi di atas mejanya. "Supaya semangat", sahut Wanda, sambil mengeluarkan kartu ulang tahun yang pernah ia kirimkan untuk Werdi dulu. Wanda membuka kartu itu, sibuk membolak-baliknya seolah-olah ia sedang membaca tulisan yang panjang. Rino melirik lagi,,, usil untuk mencaritahu...

"Lo siapanya Pak Werdi?", tanya Rino lagi.

"Mantan pacar", sahut Wanda singkat.

"ooooooh... jadi masuk kerja berkat bantuan si mantan, nih?"

Wanda mengangguk.

"Nepotisme, dong...", kata Rino lagi. "Panggil Pak Gerard pake Oom, emangnya,,, lo keponakannya?"

Wanda mengeleng. "Bukan", sahutnya, "Dia relasi bokap."

Rino menyeringai. "mmmmmhhh... lengkap... bikin dinasti, nih..."

Wanda tak menyahut. Ia sudah terbiasa dengan lontaran-lontaran sinis tentang dirinya. Kemana pun dia bergabung, ia seringkali di tolak atau di asingkan.

"Lo dateng kepagian", kata Rino lagi. "Gue juga, nih... gara-gara motor mogok, gue naek kereta,,, jadwalnya cuma ada dua pilihan. Yang pertama, bikin gue kepagian sampe sini... yang kedua, bikin gue kesiangan sampe sini..." Rino masih terus berceloteh, sementara Wanda sibuk menyeka mejanya dengan tissue basah.

"Biasanya, naek motor darimana?", tanya Wanda sambil memasukkan kunci mobil barunya ke dalam tas kerjanya.

"Dari Cibubur..."

Mata Wanda pun membelalak mendengar itu. "hah? gak mungkiiiin..."

Rino pun balas membelalak. "Lah,,, kenapa? Itu mah biasa aja, kaleee..."

MENIKAH DENGAN INTEGRITASWhere stories live. Discover now