22

1K 54 0
                                    

Anya pov

Anesa. Hanya satu rasa yang aku tanamkan pada dia. Benci.
Aku rasa dia tak lagi menganggapku sahabatnya.

Jika memang itu yang dia mau, aku pun melakukan hal yang sama. Dia mangcuhkan dan menelantarkan aku. Aku pun akan melakukan hal yang sama.

Sifat Nesa tak jauh dari sikap sahabatku yang dulu. Dia akan berteman denganku, setelah dia bosan dia akan ganti dengan sahabat yang baru. Aku benci. Aku benci Nesa.

Aku benci dia bukan hanya dia merebut Arkan dari ku. Tapi dia menghianati janji kita. Aku menyayanginya seperti saudara ku sendiri. Tapi, dia justru mengacuhkanku. Aku tak pernah berpikir sekalipun untuk menggantikannya menjadi sahabatku. Tapi, bukankan Anesa lebih dulu yang memulai, maka aku yang meneruskan.

Aku memilih menjauh darinya. Duduk bersama teman SMP ku. Itu akan jauh lebih baik.

Anesa. Dia adalah pengkhianat. Aku tahu aku tidak sepintar Anesa. Tapi, percayalah kalau aku tak pernah sekalipun ingin memanfaatkannya.

Aku benar-benar menganggapnya saudariku. Tapi dia mengecewakanku.

Aku beruntung tak memberitahukan sesuatu yang aku sembunyikan dari semua orang.

Rahasia terbesarku. Aku yakin setelah Anesa mengetahuinya, dia akan menangis dan minta maaf padaku.

Anya pov end

****

"Baiklah, kita akan mulai rencananya besok," ucap Arkan. Nesa mengangguk. Dia menyukai ide kreatif Arkan.

"Okey, aku pulang dulu," pamit Nesa. Arkan mengangguk.

Lalu Nesa berjalan menuju kelas
Tadi, mereka masih berada di kantin meng Ujang saat membuat rencana.

Dia akan menjalankannya mulai besok. Nesa berharap rencananya dan Arkan akan berhasil.

*****

"Assa'lamualaikum bun," salam Nesa saat dia masuk ke dalam rumah.

"Wa'alaikumsalam, Nesa kok jam segini udah pulanh?" tanya bunda. Pasalnya masih pukul 1 siang.

"Iya bun, kan ujiannya udah selesai," ucap Nesa. Bunda mengangguk.

"Nesa udah minum obatnya belum?" tanya bunda.

Nesa menggeleng.
"Kamu itu gimana sih, gimana mau sembuh kalau obatnya nggak pernah diminum. Sekarang kamu minum obatnya," ucap bunda. Nesa mengangguk.

Dia mencari obatnya didalam tas, tapi tak kunjung ketemu.

"Ups, obatnya ketinggalan di sekolah kayaknya deh bun," ujar Nesa sambil menepuk jidatnya.

"Huh, Nesa. Yaudah, kamu nggak perlu ambil di sekolah. Beli di apotik aja," ucap bunda.

"Nggak perlu bun, Nesa ke sekolah lagi aja. Sekolah belum ditutup kok," ucap Nesa.
Dia pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian.

"Bun, Nesa ke sekolah dulu yah." Nesa langsung berlari menuju halte. Tapi sayang, dia terlalu lelah, sampai di halte, darah keluar dari hidungnya. Nesa pun merasakan sakit pada kepalanya.
Nesa jatuh terduduk. Sakit di kepalanya kini bertambah, dan darah tak berhenti mengalir dari hidungnya. Tiba-tiba mata Nesa berkunang-kunang. Hingga Nesa jatuh pingsan.

******

Nesa membuka matanya. Sama seperti waktu dia jatuh pingsan di bawah hujan. Nesa melihat ruangan serba putih itu, dan tak lepas dari alat infus dan alat pernapasan yang mengangganggu itu.

Kali ini Nesa melihatnya. Dia melihat orang yang menolongnya.

"Hey, kamu udah sadar?" tanya orang itu. Nesa hanya diam.

"Ini udah yang kedua kalinya aku nolong kamu dalam keadaan yang sama," ucap orang itu sambil melipat tangannya di depan dada.

"T-te-rima k-kasih a-at-as pertolongan k-kakak," ucap Nesa dengan terbata.

"Sebenarnya apa penyakit yang yang kau idap?" tanya orang itu.

Nesa hanya tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela.

"Kakak akan terkejut bila mengetahuinya. Bahkan aku tak memberitahukan pada siapapun, bahkan orang tuaku," ucap Nesa.

Orang itu hanya menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Siapa nama kakak?" tanya Nesa. Orang itu menoleh.

"Rendy." Nesa mengangguk lemah.

"Oh iya, kenapa kakak masih disini? Apakah kakak tidak punya urusan lain?" tanya Nesa.

Ka Rendy memicingkan matanya.
"Apa maksudmu? Kau mengusirku?" tanyanya. Nesa terkekeh. Kak Randy orang yang sensitif.

Nesa menggeleng.
"Bisakah kakak menghubungi kakakku?" tanya Nesa pada kak Rendy.

Ka Rendi mengangguk.
"Berapa nomor kakakmu?" tanya kak Rendy.

"08********24," ucap Nesa. Kak Rendy menatap heran ke arah Nesa.

"Apakah ini nomor kakakmu?" tanyanya yang merasa kurang yakin. Nesa hanya mengangguk.

"Memangnya kenapa?" tanya Nesa. Ka Rendy menggeleng. Dia menghubungi nomor itu.

"Dia akan datang sebentar lagi." Nesa mengangguk. Lalu suasana menjadi hening.

Tak lama, Tia datang dengan napas yang tidak teratur.

"Nesa, kamu nggak papa kan?" tanya kak Tia khawatir. Nesa mengangguk.

"Jangan kasih tahu bunda, Nesa nggak mau bikin khawatir bunda," ucap Nesa sambil memelas.

Tia hanya menghembuskan napas kasar sambil mengangguk. Dia tak habis pikir dengan adiknya itu.

"Oh iya kak, kenalin dia kak Rendy. Dia yang udah nolongin Nesa," ucap Nesa.

Tia menatap ke arah Rendy dengan tatapan bahagia. Begitupun kak Rendy.

Nesa menatap mereka berdua bingung, lalu didetik berikutnya dia tersenyum lebar.

"Ekhem, backstreet. Aku bilangin ayah mau?" ucap Nesa dengan datar, tapi di dalam hatinya ia tertawa bahagia.

Ka Tia dan ka Rendy nampak terkejut. Mereka menampakan senyum malunya sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.

"Em... Aku ke kantin dulu yah," ucap kak Rendy. Dia langsung bergegas menuju kantin rumah sakit.

Nesa terkekeh melihat tingkah kak Rendy.

"Dek, kamu tahu dari mana kalau kakak sama kak Rendy pacaran?" tanya kak Tia yang penasaran.

"Memang hubungan kalian bisa di tutupi. Tapi mata nggak bisa bohong," ucap Nesa.

Tia hanya memutar bola matanya malas. Ia tahu kalau adiknya itu bisa melihat sesuatu dari matanya.

*****

Nesa memaksakan pulang sorenya, dia tak mau membuat bundanya khawatir. Padahal Tia sudah membujuknya untuk tetap berada di rumah sakit dan akan berbohong pada bunda. Tapi Nesa tidak mau dan tetap kukuh pada pendiriannya.

____________________________________

Best Friends [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang