17 ✔

836 55 0
                                    

Nesa membuka matanya, dia menatap ke arah luar jendela. Lalu dia menatap ke arah sofa untuk mencari bundanya.

Tidak ada. Hanya ada Arkan dan Daffa yang sedang tertidur pulas.
Saat Nesa ingin mengambil air di atas meja nakas, tangan seseorang lebih dulu menggapainya lalu meminumkannya pada Nesa. Nesa menatap orang itu.

"Kapan kalian sampai?" tanya Nesa ambigu. Hampir saja air mata lolos dari kelopak mata Arkan, dia buru-buru menatap ke atas langit-langit kamar.

"Em... Nesa baik-baik aja kan? Nesa kuat kan? Minggu depan udah mau ujian loh. Kamu nggak belajar?" tanya Arkan bertubi pada Nesa.

Nesa terkekeh.

"Kamu ngomong apa sih Arkan? Kita itu masih kelas XI, masih lama kali," ucap Nesa sambil tertawa.

Arkan terdiam. Dia benar-benar menangis pilu. Dalam hatinya, dia ingin memeluk gadis dihadapannya itu.

"Oh iya, kok kaki Nesa nggak bisa di gerakin sih," ucap Nesa saat kakinya tidak bisa bergerak.

"Nggak, kaki Nesa bisa gerak kok. Tapi nanti," ucap Arkan sambil tersenyum miris.

"Oh, oke. Sekarang Nesa laper, beliin bubur di kantin dong. Bubur rumah sakit nggak enak, Nesa nggak suka," ucap Nesa. Arkan mengangguk.

"Yaudah, aku pergi dulu buat beliin kamu bubur." Setelah itu Arkan pergi menuju kantin rumah sakit.

Saat Arkan sedang berada di kantin, dia melihat Anya sedang makan dikantin bersama seorang laki-laki. Arkan mendekati Anya.

"Anya?" ucap Arkan, membuat seseorang yang di panggil menoleh.

"Loh, Arkan. Kamu ngapain disini?" tanya Anya. Arkan membelalakan matanya.

Jadi, apakah Anya tidak tahu kalau Nesa sedang di rawat di rumah sakit?

Arkan tanpa berkata sepatah pun langsung pergi ke kamar inap Nesa dengan membawa bubur.

Arkan berjalan dengan kesal, karena Anya tak menjenguk sekalipun Nesa. Padahal mereka adalah sahabat dekat.

Saat Arkan hendak membuka pintu, dia melihat Daffa yang sedang berbincang-bincang dengan Nesa.

"Daff, ujian sebentar lagi, yah?" tanya Nesa. Daffa mengangguk. Nesa itu aneh? Atau idiot? Kenapa dia sangat pelupa?

"Iya, kamu cepet sembuh dong. Biar bisa ikut ujian," ucap Daffa. Nesa mengangguk.

Lalu Arkan langsung masuk membawakan semangkuk bubur.

"Loh Arkan? Kamu kesini juga? Itu apa?" Arkan terperangah mendengar ucapan Nesa. Begitupun dengan Daffa. Saat suasana tiba-tiba hening, bunda Nesa datang bersama kak Tia dan Wulan.

"Hai kak, kakak baik-baik aja kan," ucap Wulan sambil memeluk sang kakak.

Nesa mengangguk sambil membalas pelukan adiknya.

"Yaudah tante, Arkan sama Daffa mau pulang dulu," ucap Arkan. Bunda mengangguk. Mereka mencium punggung tangan bunda Nesa lalu pergi.

****
Mereka berdua sama-sama terdiam di dalam mobil Daffa.

"Lo kasian nggak sih, sama keadaan Nesa?" tanya Daffa.

Arkan mengangguk.
"Kalau gue jadi Nesa, pasti sekarang gue udah mati deh. Gue nggak bakalan sanggup mikul beban seberat itu," ucap Daffa dan lagi-lagi diangguki Arkan.

"Lo denger nggak sih? Pas gue bangun waktu denger pergerakan Nesa dia kayak lupa kalau kita dateng udah lama. Dan pas gue bahas ujian, dia bilang kalau kita itu masih kelas XI, dan gue inget banget kalau Nesa itu minta gue beliin bubur. Tapi, lo liat kan? Dia lupa sama yang dia ucapin," ucap Arkan.

Daffa mengangguk. Mereka berdua sama-sama terdiam.
"Apa bener dia Nesa yang gue kenal?" tanya Arkan. Tak mendapatkan respon. Dia menatap Daffa yang ada di sebelahnya.

"Entahlah, jujur gue juga ragu kalau Nesa bisa ngadepin ujian minggu depan. Lo inget apa kata tante Fani? Setiap malem dia nangis gara-gara ngeliat Nesa yang mati-matian belajar terus sampe larut malem. Dia bahkan nggak inget pelajaran yang baru di ajarin. Entah gimana gue kalau jadi Nesa. Dia yang sakit aja mati-matian buat ngerjain pr, lah kita? Kita yang sehat aja pr masih nyontek," ucap Daffa.

Arkan mengangguk. Menit-menit itu mereka habiskan untuk berkelana ke pikiran masing-masing.

Best Friends [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя