8 ✔

806 45 0
                                    

Nesa berjalan dengan santai menuju kelasnya. Masih pagi, karena itu Nesa berjalan dengan santai.

Dia masih mencerna perkataan Daffa baik-baik. Nesa telah memutuskannya, Nesa pikir kenapa harus mematuhi apa yang Daffa katakan. Toh, Anya adalah sahabat Nesa. Anya sahabat pertamanya. Anya sahabat terbaiknya dan seterusnya akan seperti itu.

Nesa meletakan tasnya diatas kursinya. Dia mengambil ponsel dari saku nya lalu mulai bermain game. Hobi Nesa.

Saat ruang kelas mulai ramai dengan penghuninya, Nesa mematikan hp nya lalu menatap ke sekeliling. Dia sedang mencari seseorang. Kalian pasti tahu siapa yang dia cari. Anya.

Tapi, orang yang ia cari tak kunjung ketemu. Nesa beranjak menuju meja Dea si absensi kelas.

“De, lo liat Anya nggak?” tanya Nesa saat sudah duduk di sebelah Dea. Dea menatap Nesa heran.

“Lo kan kembarannya, masa nggak tau dia dimana,” ujar Dea.

“Lo gimana sih De, kita itu nggak kembar,” ucap Nesa agak nge-gas. Dea hanya terkekeh karena Nesa tersulut candaannya.

“Iya maaf. Semalem Anya udah ngabarin gue, katanya dia sakit,” ucapan Dea membuat Nesa terasa sakit.

“Kenapa Anya nggak ngabarin gue, yah?” tanya Nesa lirih.
Dea hanya mengangkat bahunya.

Nesa kembali duduk di kursinya. Kabar tentang Anya membuat pikirannya tidak konsen.

                        *****

Kringggg

Bel istirahat berbunyi. Nesa membereskan buku-bukunya, dia hendak berjalan ke kantin sendirian. Tapi, tiba-tiba Luna datang mengajaknya ke kantin bersama.

Nesa hanya mengangguk. Dia berjalan bersama Luna, dari kelas hingga ke kantin, Luna terus berbicara tentang hal yang menurut Nesa tidak penting.

Tapi, Nesa tetap mengangguk dan kadang tersenyum saat Luna meminta pendapatnya yang sama sekali tak Nesa pahami.

“Oh iya Anesa, Anya kemana?" tanya Luna. Nesa hanya menggeleng. Dia tidak mau kalau Anya akan marah padanya jika memberikan info tentangnya pada orang lain.

Dan Luna hanya mengangguk. Mengerti kalau dia tidak ingin memberitahu. Mereka melanjutkan makan mereka dengan ocehan yang diutarakan Luna.

Nesa kembali ke kelas bersama Luna. Belum juga Nesa duduk di kursinya, Luna mengajak Nesa menemui sahabatnya yang berada di kelas lain. Dia memaksa dan Nesa mau tak mau mengantar Luna. Padahal guru akan masuk sebentar lagi.

“Udah selesai ngomong sama sahabat kamu?” tanya Nesa yang sedikit geram karena menunggu terlalu lama. Luna dengan tidak bersalahnya hanya mengangguk. Dan di detik berikutnya Nesa benar-benar kesal mendengarnya.

“Anterin ke kantin yuk, aku mau beli minum dulu.” Nesa membelalakan matanya. Dia benar-benar ingin mencekik gadis ini sekarang.

Nesa hanya mendengus dan kadang melirik tak suka pada Luna.

Saat sudah berada di kelas. Benar saja, guru sudah datang dan duduk manis di mejanya. Nesa melirik tak suka pada Luna.

Guru yang sedang mengajar di kelas kami adalah guru matematika.

“Abis dari mana?” tanya bu Tiyas dengan tajam.

“Abis dari perpustakaan bu,” ucap Nesa. Bu Tiyas menatap tanganku dan tangan Luna.

“Kalian boleh duduk kalau kalian bisa ngerjain soal di depan!” perintah bu Tiyas. Nesa hanya mengangguk. Dia mengambil spidol yang ada di meja guru, lalu meju ke depan untuk mengerjakan soal. Ini mudah bagi Nesa, karena dia sangat pandai dalam pelajaran matematika.

“Baiklah Nesa, kamu boleh duduk,” ucap bu Tiyas. Aku mengangguk.
Luna pun ikut pergi setelah hanya berdiri, tapi langkahnya terhenti karena seruan dari bu Tiyas.

“Kami mau kemana Luna?” tanya bu Tiyas.

Luna berbalik kemudian menatap bu Tiyas.

“Saya mau duduk bu,” jawab Luna. Sepertinya satu kelas sedang menahan tawa karena ekspresi bu Tiyas dan sikap kepolosan Luna, tapi bukan sikap kepolosan melainkan sok polos.

“Siapa yang suruh kamu duduk. Sekarang kamu kerjakan soal yang ada di depan!” perintah bu Tiyas. Wajah Luna menegang, sama dengan teman satu kelas yang lain, Luna hanya menyontek saat diberikan tugas.

Berjam-jam Luna mengerjakan soal di depan dan selalu buntu. Bu Tiyas bahkan sampai meledak-ledak karena ke tidak bisaan Luna yang di atas rata-rata.

Karena emosi bu Tiyas yang sudah memuncak hingga satu kelas yang menjadi pelampiasannya. Benar-benar malang.

Hingga jam istirahat kedua, mereka masih merasakan imbasnya. Mereka di beri tugas untuk mengerjakan pr hingga 20 halaman untuk di kumpulkan hari senin.

Nesa hanya menepuk jidat karena kebodohan Luna. Bahkan, hampir murid satu kelas menyalahkannya.

“Ya ampun Luna. Masa soal segitu gampangnya kamu nggak bisa!” marah Salma.

“Udahlah Sal, orang udah terjadi mau diapain lagi coba?” ujar Najwa mencoba menenangkan Salma yang emosinya yang sudah meledak.

“Ya maaf, gue udah berusaha semampu gue, tapi udah takdirnya gue nggak bisa, hehe ...,” ucap Luna yang di akhiri suara kekehan. Nesa tertawa melihat nya. Eskpresi Salma yang ingin marah meledak-ledak dan ekspresi Luna dengan watados nya.

____________________________________



Best Friends [END]Where stories live. Discover now