5 ✔

1K 57 2
                                    

Nesa pov

Pagi ini aku membuka mataku terlalu pagi. Pukul 03:00.
Aku membuka ponselku, berbagai nontifikasi muncul setelah lama aku tak membuka ponselku.

Sampai aku tak menyadari sudah masuk waktu subuh. Aku melakukan kewajibanku. Lalu aku memilih untuk mandi lalu berangkat ke sekolah.

Aku keluar dari kamarku menuju meja makan.

“Pagi,” sapaku pada anggota keluargaku kecuali satu orang. Adikku yang pemalas, dia sudah kelas 5 sd. Dan masih selalu bangun kesiangan.

“Pagi juga adek terlucnutku,” ucap kak Tia sambil mengacak rambutku.

Aku menatapnya sebal. Lalu mengambil roti selai dengan susu cokelat.

“Yah, bun. Aku berangkat dulu yah,” pamit ka Tia pada ayah dan bunda.

“Tumben kak jam segini udah berangkat? ” tanyaku heran pada kakak.

“Suka-suka gue lah,” ucap ka Tia acuh, lalu bergegas keluar rumah. Aku mendengus. Dia kakak paling receh.

“Yaudah yah, bun. Nesa juga mau berangkat, ” ucapku.

“Nesa, kamu nggak pengen punya kendaraan pribadi?” tanya ayah tiba-tiba. Aku menatap ayah. Kemudian menggeleng. Aku sedang tidak ingin, aku masih nyaman mengenakan angkutan umum.

“Nggak yah, nggak usah,” ujarku sambil tersenyum. Lalu aku mencium tangan ayah dan bunda.

“Assala’mualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku berjalan menuju halte, lumayan jauh tempatnya dari rumahku. Aku berdiri menunggu bus.

Sudah lama aku menunggu tapi bus tak kunjung datang. Aku mulai merasa cemas, takut nanti jika aku akan telat kemuduan dihukum.

“Duh, mana sih bus nya,” ucapku jengkel.

10 menit aku menunggu. Gimana nih, 5 menit lagi gerbangnya bakal di tutup.

Aku mondar-mandir di halte itu. Menunggu ada keajaiban mendatangiku. Saat aku menunggu, aku mendengar suara motor yang berhenti di depan halte.

Aku menatap motor sport itu. Aku seperti mengenali motor itu. Lalu dia melepas helm fulface nya. Aku menatapnya lamat-lamat.

Arkan. Ya, dia adalah Arkan.

“Anesa, bus nya belum dateng?” tanya Arkan. Aku menggeleng.

“Mau barenga nggak? Bentar lagi gerbangnya di tutup nih,” ucap Arkan. Aku sedikit berpikir.
Yang diucapkan Arkan benar.

“Tapi rasanya kita nggak bakalan tepat waktu sampai sana deh,” ucapku khawatir.

“Udahalah, mau bareng nggak?” tawar Arkan sekali lagi. Dia sudah mengenakan helmnya lagi, lalu menyalakan mesin motornya.

Mau nggak mau aku harus ikut Arkan. Udah untung aku bisa sampai ke sekolah.

Aku mengangguk, kemudian melangkah menaiki motor Arkan yang lumayan tinggi.

“Jangan pegang bahu gue, soalnya mau ngebut,” ucap Arkan yang sedikit tidak jelas. Aku hanya menuruti, niatku yang ingin memegang pundaknya harus di gagalkan.

Mau tak mau aku melingkarkan tanganku di pinggang Arkan. Sebenarnya aku benar-benar malas mengingat sahabatku menyukai Arkan.

Boleh aku jujur, aku juga mulai suka dengan Arkan, dia baik, tampan, tinggi, anak basket, suaranya juga bagus. Arkan salah satu cowok kriteriaku. Tapi, aku akan memendam perasaan itu demi sahabatku.

Tiba-tiba Arkan menghentikan motornya mendadak. Aku melihat gerbang SMA yang sudah tidak jauh lagi. Aku mengernyit heran.

“Kenapa?” tanyaku. Aku melepas peganganku di pinggangnya.

“Gerbangnya udah di tutup, nggak mungkin kita lewat gerbang depan. Kecuali kita mau dihukum,” ucap Arkan. Aku pun memikirkan hal yang sama.

“Kita kebelakang sekolah aja,” ucapku saat mengingat kalau ada jalan disana.

“Ngapain?” tanya Arkan, tapi dia tetap melajukan motornya menuju belakang sekolah.

“Lo lupa atau emang nggak pernah tau kalau di belakang itu ada kantin,” kataku. Arkan menatapku bingung.

Aku hanya memutar bola mataku. Aku berjalan mendahului Arkan.

Aku melihat penjaga kantin yang sudah akrab denganku. Bukan karena aku sering bolos atau sering terlambat datang ke sekolah, tapi biasanya saat jam istirahat, aku dan Anya akan datang kesini untuk makan mi ayam kesukaan aku dan Anya.

“Eh, non Nesa. Kok lewat gerbang belakang, Non,” ujar mang Ujang. Aku mendekati warung mang Ujang.

“Hehehe, hari ini Nesa telat mang," ujarku sambil sedikit terkekeh. Karena tidak biasanya aku terlambat seperti ini.

“Oalah neng.” Aku melihat Arkan yang tengah mengangkat sebelah alisnya.

Aku menarik tangannya menuju ke kelas sebelum ada guru piket.

“Kok lo bisa akrab banget sama tu penjaga kantin?” tanya Arkan saat kita sedang berjalan menuju ke kelas.

“Oh, itu soalnya aku sama Anya sering makan mi ayam buatannya mang Ujang. Kamu udah pernah nyobain belum?” tanyaku. Aku masih memegang tangannya sambil bicara tanpa menghadap ke arahnya.

“Gue belum pernah nyobain sih,” ucap Arkan.

“Yaudah, kapan-kapan gue ajak lo kesana,”  ucapku.

“Oke, nanti jam istirahat pertama gue mau lo anterin gue,” ucap Arkan.

“Iya.” Cukup lama aku berpikir. Lalu aku tersadar.

“Eh, kenapa gue yang anterin lo?” tanyaku saat sudah sadar.

“Ya, nggak papa sih. Lo kan udah akrab sama penjaga kantinnya. Jadi, nggak usah ribet,” ucap Arkan. Aku hanya memutar bola mataku.

Saat aku hendak kembali berjalan di koridor yang sepi. Aku seperti berhenti bernapas. Kini, dihadapanku berdiri seorang guru piket terkiller di SMA.

Tanpa aku sadari, aku menggenggam erat tangan Arkan. Arkan yang menyadari gelagatku, dia berdiri disisiku.

Dia terlihat kaget sebentar, lalu menormalkan lagi ekspersinya.

“Kalian berdua! Udah telat, pacaran lagi di sekolah!” marah bu Atik. Aku meneguk salivaku kasar. Seperti nya aku dan Arkan akan dihukum.

“Kalian ibu hukum hormat di depan tiang bendera sampai jam istirahat,” ucap bu Atik dengan tegas. Aku menatap ke arah Arkan. Dia terlihat seperti biasa saja. Tanpa berkata apapun, dia langsung berjalan menuju tiang bendera.

“Yah, bu. Kami itu bukannya telat tapi kami baru ... Kami baru selesai sarapan dari kantin. Ini juga mau ke kelas,” ucapku membuat alasan.

Bu Atik menatapku dengan tajam. “Lalu, kenapa dia langsung menjalankan hukumannya tanpa keberatan?” tanya bu Atik. Di dalam hati aku merutuki kebodohan Arkan.

“Dia orangnya emang penurut banget, Bu,” bohongku.

“Apapun itu, kamu tetep ibu hukum. Sekarang kerjain hukuman kamu atau mau ibu tambahin?” ancam bu Atik.

Mau tak mau aku menyusul Arkan yang sedang hormat mengahadap tiang bendera.

“Gagal bohong, Sa?” ejek Arkan saat aku sudah berdiri di sampingnya.

“Huh, nggak pa-pa, yang penting gue udah usaha dan bisa mengulur waktu beberapa menit,” ucapku. Aku cemberut saat Arkan tersenyum mengejekku.

Tapi, senyum Arkan itu begitu manis. Karena itu aku tak heran mengapa sahabatku itu sangat menyukai dia. Tapi, btw apakah anak itu hari ini berangkat?
Entahlah, yang penting sekarang, aku ingin waktu cepat berlalu.

Nesa pov end

Best Friends [END]Where stories live. Discover now