11 | Pertemuan

502 147 32
                                    

Memang sedari awal sudah salah. Seharusnya kita tidak pernah bertemu.

***

Stella sibuk memilih-milih merek roti tawar yang akan ia beli. Persediaan di rumah sudah habis tak tersisa. Si nyonya besar tempat ia menumpang hidup pun, sudah mencak-mencak tak karuan. Setiap hari menyemburkan lava panas dari dalam kepalanya. Salah sedikit, Stella langsung mendapat pukulan. Hidup ini terlalu keras.

Ponselnya bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk tanpa diundang. Gadis itu menghela nafas pelan, lantas menggeser tombol hijau pada layar monitor benda pipih itu.

"Iya tante," sapa Stella mencoba sabar karena setelahnya pasti ada bentakan di seberang sana.

"DASAR SIPUT! BELI ROTI AJA LAMANYA SEABAD! CEPAT SAYA LAPAR!" tuh kan, benar.

Tante Elisabeth, begitulah Stella memanggilnya. Seorang wanita setengah paruh baya yang menjabat sebagai tantenya sendiri. Memang sedari kecil selepas kedua orangtuanya meninggal dunia, Stella dirawat oleh Tante Elisabeth. Kekerasan? Sudah makanan sehari-hari bagi Stella.

Berbicara tentang drama, Stella juga salah satu aktris dalam drama kehidupannya. Ia selalu tampil menyebalkan di mata orang-orang. Genit? Gatal? Semua itu Stella lakukan demi bisa mengesampingkan permasalahan yang justru tidak akan selesai begitu saja.

"Ini lagi pilih rotinya tante."

"Ckck. Dasar otak sempit! Pilih roti aja butuh banyak waktu buat mikir!" cecar Tante Elisabeth. Lagi-lagi Stella mendengus, ia harus selalu memperbarui stok kesabaran jika menghadapi Tante Elisabeth.

"Ada barang lain yang harus Stella beli," ujar Stella, namun Tante Elisabeth tetap bersikukuh memarahinya.

"Ngeles mulu! Saya gak habis pikir ya, gimana rasanya jadi orangtua kamu punya anak yang bentukannya kayak gini. Mereka pasti kecewa," sarkas Tante Elisabeth. Kedua pelupuk Stella sudah tergenang dengan air. Ia tidak bisa jika ada yang mulai menyangkutkan orangtuanya dengan apa yang ia lakukan.

"Tante, Stella udah pernah bilang jangan bawa-bawa nama orangtua Stella!"

"Halah. Sekali-sekali mereka harus tau gimana kelakuan anaknya yang gak berguna! Atau jangan-jangan-"

Tut ....

Sudahlah Stella malas mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan Tante Elisabeth lontarkan. Ia akan menduga yang tidak-tidak. Stella benci itu, karena bagaimanapun juga ia tidak akan nekat dengan membunuh kedua orangtuanya. Dan, untuk apa?

Stella yang sudah dirundung emosi akhirnya memasukkan sembarang roti ke dalam keranjang. Ditemani tetesan air mata, gadis itu berjalan hendak membeli keperluan lainnya.

Bruk

"M-maaf maaf," ujarnya setelah tak sengaja menabrak orang lain. Belanjaan yang telah terkumpul dalam keranjang, berjatuhan di atas lantai.

"Eh?"

"Biar saya bantu," tutur orang itu seraya membantu Stella memasukkan kembali barang-barangnya. Gadis itu terperangah saat tak sengaja tangannya bersentuhan.

Ayolah, adegan ini persis seperti dalam drama-drama Indonesia. Dimana si tokoh antagonis dan protagonis saling bertabrakan, lalu bukunya jatuh, dan lalu saling tatap-menatap, akhirnya jatuh cinta. Sangat familiar, bukan?

My Brother My Boyfriend [ SELESAI ✓ ]Where stories live. Discover now