36. Sekarang Kita Adalah Saudara

16 3 0
                                    

Diana membuka pintu gerbang rumah Vonny. Lalu dia menyusuri jalan setapak. Awan bergulung dan udara membawa angin yang lumayan kencang. Langit sangat gelap dan tidak ada bulan yang menyinarinya. Dia merasakan suara detakan jantungnya mulai kencang. Kemudian dia berlari.

Di depan pintu Vonny, Diana melemparkan tubuhnya ke lapisan kayu yang tebal itu. Suara benturannya menjadi bergema. Diana menunggu dengan napas terengah untuk pintu terbuka. Ternyata tidak.

Saat itu gelap. Sungguh gelap. Sedangkan ponsel Diana tertinggal di rumahnya dan Remi sudah pergi. Diana mengetuk lagi, namun tidak ada jawaban. Tidak ada bel pintu. Diana mencoba memutar kenop pintu, namun pintu terkunci.

"Vonny!" teriak Diana. Tapi tidak ada jawaban. "Vonny," teriak Diana lagi.

Diana merasakan suara berdetak di dalam dirinya menjadi semakin cepat, keras dan lantang. Waktu tinggal beberapa detik lagi. Tubuhnya memompa darah. Kulitnya menghasilkan keringat. Seperti sesuatu yang bergerak di ototnya dan di darahnya. Naik ke setiap inci kulitnya. Berusaha untuk keluar.

Selama sejenak, Diana hanya merasakan sakit dan hawa panas yang menyebar ke sekujur tubuhnya. Betapa anehnya merasakan sakit itu. Betapa anehnya memiliki begitu banyak saraf di dalam tubuhnya yang mampu melakukan hal semacam itu, tapi tidak pernah benar-benar terbakar.

Diana merasakan tubuhnya terkulai dalam gerakan lambat. Dia merasakan gravitasi bumi menarik turun tubuhnya dan dia tidak menolak.

Akhirnya dia terkapar di lantai teras.

Diana tidak tahu apa yang telah mereka lakukan kepadanya dan mengapa dia membiarkan mereka melakukannya. Itulah pikiran terakhir Diana sebelum suara berdetak itu akhirnya berhenti dan segalanya menjadi gelap.

***

Diana tergeletak di depan rumah Vonny. Dia tidak bisa bergerak. Dia tidak bisa bicara. Tapi dia bisa merasakan segalanya. Dia hanya bisa merasakannya sekarang. Dia merasakan ada tangan yang mengangkat tubuhnya dan merasakan jari-jari kakinya terlepas dari sandal miliknya. Dia ingin menengadah untuk melihat siapa yang melakukan itu, tapi dia tidak mampu.

Kepanikan menyerang Diana, tapi jantungnya tidak berpacu. Hanya berdetak dengan perlahan. Diana mendengar suara-suara tapi telinganya tidak bekerja dengan baik karena yang bisa didengarnya hanyalah suara asing yang menjadi satu. Otaknya tidak mau memproses suara itu menjadi kata-kata.

Bulan tampak kembali. Bulan muncul dari belakang awan. Sekarang Diana bisa melihat tubuhnya sendiri, diterangi oleh cahaya. Kemudian dia mendapati dirinya dibaringkan di atas sesuatu yang keras. Mereka berada di ruangan rahasia. Ruangan yang menjadi tempat pertama Vonny mengajaknya. Diana bisa melihat wajah Vonny yang menunduk di kursi bambu, dikelililingi oleh cahaya lilin.

"Akhirnya kamu sadar," kata Vonny. Diana mencoba mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu di dalam mulutnya. Vonny mengangkat tangan Diana yang masih mencengkram botol kecil. Diana merasakan jari-jarinya dibuka dan botolnya diambil. Di bagian samping, dia mendengar suara kaca yang menyentuh besi.

"Cepat," ujar seseorang.

Widya ada di sana. Dia tersenyum lebar. Dia memegang benda yang terlihat seperti jarum panjang mengacung. Vonny membuka botol Diana dan memberikannya pada Widya. Widya memegangnya dan membuka benda tersebut.

Dan seketika suara berdengung memenuhi udara.

Widya menunduk. Dia menarik bagian pergelangan Diana, seperti menyingkap kulit Widya. Entah bagaimana, Diana merasakan jantungnya seperti dikeluarkan. Diana mencoba memejamkan matanya agar dia tidak perlu melihat darah, cairan merah atau sesuatu yang menjanggal.

Tapi matanya tetap terbuka.

Vonny tertawa hingga bergema. Suara tawa yang mengerikan. Kemudian Diana menyadari bahwa suara tawa itu bukan seperti suara pintu yan terbuka. Tapi suara yang yang akan menutup segalanya untuk selamanya.

Kemudian Diana memegang dadanya. Rasa sakit yang panas terpancar keluar. Suara dengungan dan desisan berlanjutan terus, semakin lama semakin keras. Tak lama semua berubah menjadi sunyi. Kesunyian yang hanya bisa didengar oleh beberapa orang. Kesunyian yang datang saat suara detakan pelan tapi konsisten yang dia dengar setiap detik seumur hidupnya akhirnya terhenti.

Asap dari lilin tersebut mulai memunculkan gambar. Pertama-tama sepasang kekasih yang sedang berdansa. Menjauh, mendekat dan manjauh. Tubuh mereka bergerak dalam harmoni yang sempurna. Lalu terdapat ruang kosong di antara mereka sampai mereka saling memunggungi dan berputar.

Lalu muncul wajah Brian. Tulang pipi dan rambut Brian terlihat jelas. Seolah dari asap itu memperlihatkan setiap sudut wajah Brian dengan jelas. Setiap bagian yang dulu pernah membuat Diana terpukau. Namun tak lama kemudian gambaran wajah itu menghilang dengan sendirinya.

Asap membentuk tornado transparan yang berputar semakin cepat. Seiring dengan putaran itu, sesuatu terjadi di daerah dada Diana. Sesuatu baru sedang terbentuk. Satu per satu mulai terpasang di tempatnya.

Asap berubah menjadi bentuh hati berwarna merah dan tampak kuat dari apa pun. Di belakangnya tampak wajah Diana yang tenang, kuat dan cantik.

Kemudian semua itu lenyap. Lilinya bergoyang. Di dalam dada Diana, jantungya yang baru mulai berdetak. Diana duduk perlahan dan mengerjapkan mata. Semuanya sunyi. Vonny dan Widya tampak berkilau di tengah cahaya bulan.

Diana menarik napas panjang, menghembuskannya seolah sedang menghembuskan asap. Diana mengangkat tangannya ke dada. Dia menekan dadanya yang sebelumnya berisi hatinya yang patah. Di tempat yang sebelumnya terasa sakit, kini sudah tidak ada lagi.

"Bagaimana perasaanmu sekarang, Diana?" tanya Widya.

"Aku tidak tahu, aku seperti mati rasa," jawab Diana. Tapi Diana mengangkat tangannya ke wajah dan merasakan senyuman tersungging di sana.

Widya mengulurkan tangan dan meremas tangan Diana. Diana menunduk dan melihat dadanya. Dia menyentuh dadanya dan merasakan sesuatu yang berbeda di sana. Dia merasa kuat.

"Sekarang kamu adalah bagian dari kita," kata Widya. "Kamu bisa merasakan kekuatan itu dan sekarang kamu adalah penghancur hati."

"Apa hanya kita?" tanya Diana.

"Masih banyak di luar sana. Tidak hanya kita." Vonny memutar bola matanya, tapi nada suaranya terkesan bergurau. Vonny berbicara dengan Diana seperti sedang berbicara dengan anak kecil.

Diana menoleh ke Vonny dan tersenyum. Diana menoleh ke arah dada Vonny. "Kita semua merasakan itu juga dan kita semua memiliki hati yang kuat." Jelas Vonny. Vonny dan Widya menyentuh bagian dadanya masing-masing.

"Dan sekarang kita adalah saudara,"

"Maksudmu?"

"Itu berarti tidak ada ruang untuk orang lain untuk menghancurkan hatimu dan juga hatiku." Jelas Vonny.

"Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya?" tanya Diana.

"Banyak yang akan terjadi di masa depan. Tapi akan ada banyak waktu untuk membicarakan itu nanti. Sekarang kita punya banyak waktu. Maka pulanglah sekarang dan beristirahat." Kemudian Vonny tersenyum.

"Besok kita akan merayakan semuanya." Kata Widya.

Widya mengulurkan tangan memeluk Diana. Diana tersenyum saat mereka membantunya berjalan ke arah mobil. Diana senang bisa menjadi bagian dari mereka.

Dan pada saat mereka sampai di rumah Diana, baru Diana benar-benar mempercayainya.

***
Hi, readers makasi sudah mampir ke cerita ini. Jangan lupa vote, komen dan juga sarannya.

Akhirnya bisa mengirim cerita lagi setelah ke-hectic-an di kampus selesai. 🌈

GOD BLESS YOU!

(TAMAT) The Truth About Broken Heart (PART 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang