31. Besok Adalah Hari Terakhir

14 2 0
                                    

Diana berjalan masuk ke rumah. Dia melewati beberapa ruangan. Dia menuju rangkaian tangga besar. Dia menarik napas. Merasakan rumah ikut bernapas di sekelilingnya. Dia menaiki tangga.

Diana masuk ke kamar mandi mewah dan menyalakan lampu. Kemudian, dengan cepat dia keluar lagi ke lorong. Dia menuju ruangan dengan kenop besi tua sambil memegang kunci yang menurut Widya tidak akan pernah berani dicurinya. Tetapi kenyataannya, Diana memiliki kunci itu sekarang.

Jantung Diana berdetak cepat. Suara detakannya sangat keras hingga dia yakin seseorang di lantai bawah pasti bisa mendengar detakan jantungnya. Bahkan para sahabatnya.

Sungguh mengagumkan betapa kerasnya suara detakan jantung yang hampir patah.

Diana memberanikan dirinya untuk memasukkan kunci ke lubangnya. Dengan putaran cepat, pintu pun terbuka.

Rungan itu hanya diterangi cahaya yang berasal dari lorong. Tidak ada jendela ataupun ventilasi ruangan. Dia mencoba mencari tombol lampu tapi dia tidak bisa menemukannya.

Di tengah cahaya redup, Diana bisa melihat bahwa setiap sisi dindingnya dijejeri lemari rak yang dipenuhi botol-botol. Entah berisi apa.

Diana memohon di dalam hati agar diarahkan ke ramuan yang tepat. Kemudian dia mengambil beberapa botol. Dia akan melihat isinya nanti. Dia berbalik untuk pergi. Tangannya menggapai –gapai tapi yang dirasakannya bukan dinding yang dingin, melainkan kulit manusia.

Sebuah tangan dengan cepat membekap mulut Diana sebelum dia sempat berteriak.

"Jangan takut," bisik sebuah suara. "Ini aku."

Widya melepaskan bekapannya di mulut Diana. Widya yang berdiri di ambang pintu, tapi ingatannya mengisi apa yang tidak bisa dilihatnya. Wajah manis dan mata indah Widya yang dipenuhi ketulusan.

Kebohongan yang hendak dikatakan Diana sudah berputar di dalam mulutnya dan menggantung di belakang bibirnya menunggu untuk dilontarkan.

"Maaf, Widya." Diana menunduk ke lantai. "Seharusnya aku berusaha mencari alasan yang bagus kenapa aku berada di sini. Tapi aku tidak punya alasan."

Widya berjalan masuk ke ruangan dan menutup pintunya. Diana mendengar Widya berjalan di sepanjang dinding. Beberapa saat kemudian, cahaya merah yang hangat memenuhi ruangan. Widya menoleh Diana dan tersenyum.

"Aku percaya pada cinta," kata Widya. "Aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk menjadi diriku yang sekarang. Dalam banyak hal aku justru merasa berterima kasih pada semua lelaki yang pernah mematahkan hatiku sehingga aku bisa menjadi seperti sekarang. Meskipun begitu, aku tetap percaya pada cinta." Mata Widya terkunci pada mata Diana.

"Cinta sejati, cinta tulus, cinta murni yang jarang sekali datang adalah sihir yang terbesar." Widya terdiam. "Aku tahu apa yang kamu sedang lakukan. Aku sudah bisa menebaknya."

Diana mengangkat tangannya ke bibir.

"Aku datang ke sini bukan untuk menghentikanmu. Aku datang ke sini untuk membantumu." Widya menunjuk tiga botol kecil yang dipegang Diana.

Widya berlutut dan beranjak ke panel kayu yang dibaliknya terdapat kotak penyimpanan dengan gembok besi besar. Kemudian, Widya merogoh saku belakang celannya dan mengeluarkan apa yang terlihat seperti paku kecil yang bengkok.

Widya memasukkan salah satunya ke lubang kunci dan menahannya di sana. Dia menggunakan paku yang satu lagu untuk memutarnya. Dia memicingkan mata ke lubang kunci, ujung lidah gadis itu terjulur dari samping mulutnya. Lalu gemboknya terbuka. "Hanya sebuah bakat alami."

Widya tersenyum saat membuka kotak penyimpanan. Di dalamnya terdapat lusinan botol kaca berwarna hitam. Masing-masing diberi label nama. Widya mengambil salah satu botol. Di labelnya tertulis nama-nama para lelaki.

"Tidak ada yang mengubah segala sesuatu, tapi hanya sebatas mengungkapkan kebenaran dan membantumu melihatnya. Aku akan melakukan apa yang aku bisa lakukan untuk membantumu."

"Apakah kamu tidak mendapatkan masalah karenanya?"

"Mungkin, tapi ada beberapa hal yang layak ditebus dengan risiko apa pun."

Beberapa menit kemudian, Diana dan Widya menuruni tangga bersama-sama. Tiga botol kecil tersembunyi di dalam saku Diana.

"Aku rasa minuman buatan Yoga, hanya cocok untuk beberapa orang," kata Widya dengan suata lantang. Widya mencoba mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik sangat pelan hingga Diana hampir tidak bisa mendengarnya.

"Terkadang sihir menemukanmu dan terkadang kamu yang menemukan sihir."

"Tapi," mulai Diana.

"Diam." Bisik Widya. Dia menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak pamrih. Aku hanya melakukan yang benar." Widya berhenti di tangga dan berbalik ke arah Diana. "Ingat besok adalah hari terakhir."

Diana mengangguk.

"Apa pun yang terjadi, ketahuilah aku sangat menghargai usahamu." Widya mengulurkan tangnnya yang mungil untuk menarik Diana mendekat.

****

(TAMAT) The Truth About Broken Heart (PART 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang