33. Pertemuan dengan Yoga

13 3 0
                                    

Diana meminta Yoga untuk menemuinya di belakang sekolah. Pada saat bel berbunyi, Diana sudah setengah jalan melintasi halaman belakang. Setiap tarik napasnya membuatnya semakin memfokuskan diri, seperti pemburu yang hendak berburu.

Diana membuka tutup botol hitam, lalu dia menuangkan sedikit cairan dan diusapkan ke punggung tangannya.

Saat Diana sampai di belakang sekolah, dia melihat Yoga. Yoga duduk di atas kap mobil dengan lutut diangkat dan lengan ditopangkan dengan canggung di atasnya. Lelaki itu tampak manis dan membuat gerakan yang menegaskan kegugupan. Dia melihat jam tangannya, mengetuk kakinya di kap mobil, menggigit kuku jari tangan, matanya menoleh ke sana kemari dengan gelisah.

Selama beberapa saat, Diana berdiri beberapa langkah dari jalanan hanya untuk mengamati Yoga.

"Hi, Diana" sapa Yoga. Yoga melompat dari kap mobil dan mulai berjalan ke arah Diana, berjalan seperti seseorang yang ingin berlari tapi berusaha keras untuk tidak melakukannya.

Yoga mengulurkan tangan dengan canggung dan menarik Diana ke dalam pelukannya. Diana merasakan wajah Yoga menyapu puncak kepalanya, dengan sangat cepat. Seolah Yoga sedang mencium rambut Diana.

"Aku senang kamu mengajakku bertemu. Aku sebenarnya ingin menelponmu untuk tahu bagaimana keadaanmu, karena kemarin kamu mengatakan perutmu sakit di rumah Vonny. Apakah kamu sudah merasa lebih baik?" wajah Yoga merona, Diana tidak berani membalas tatapan lelaki itu.

"Iya, aku lebih baik," balas Diana.

"Jika tidak keberatan aku ingin membawamu ke suatu tempat," kata Yoga. "Kita bisa pergi keluar, makan es krim atau semacamnya."

"Kita di sini dulu sebentar," elak Diana. "Hari ini sangat indah." Diana tahu dia harus melakukan ini dengan cepat. Dia harus melakukan ini sebelum dia berubah pikiran.

"Jadi, bagaimana kamu bisa mengenal Vonny dan yang lain?" mengagumkan bagaimana Diana bisa terdengar begitu tenang padahal jantungnya berdetak dengan sangat keras. "Aku baru sadar, jika aku tidak pernah bertanya tentang hal ini padamu."

"Sebenarnya, aku sudah sering melihat mereka di tempat billiard dan secara tidak langsung aku mengenal mereka."

Diana mengangguk. Berhati-hati untuk tidak melihat langsung ke arah mata Yoga.

"Dan juga mereka mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu denganku di pesta, padahal aku tidak suka menghadiri pesta."

"Dan seseorang itu adalah kamu," ujar Yoga. Yoga merona lagi. "Yang paling lucu adalah aku tidak berniat pergi ke pesta itu tapi..."

Diana mengusapkan kembali cairan itu ke tangannya, dia merasakan cairan itu menggelitik telapak tangannya. "Mungkin saja bukan aku yang dimaksud mereka."

"Tapi pasti yang dimaksud mereka adalah kamu, karena setelah aku bertemu denganmu, aku...."

Diana memejamkan mata. Dia menarik napas panjang.

"Aku merasa seperti aku sudah menunggumu seumur hidupku," lanjut Yoga.

Mata Yoga terpejam dan lelaki itu terus memejamkannya sedikit terlalu lama, tersenyum tipis seolah sedang mengingat lagi momen yang baru saja mereka alami. Akhirnya Yoga membuka mata. Diana masih tidak berani menatap lelaki itu.

"Diana, kamu sangat....." kata Yoga.

"Sttttt" Diana mengangkat satu jari dan menekankannya dengan lembut di bibir Yoga.

Diana menatap dada Yoga, melalui lapisan kemeja putih. Kulit, otot dan tulang terdapat jantung Yoga. Jantung yang berdetak kencang.

"Yoga," kata Diana. "Maaf..."

Tapi kemudian Diana membuat kesalahan, dia menatap langsung mata lelaki itu. Di sanalah tampak ada cinta. Cinta yang tulus dan murni. Cinta yang tidak memperlukan pertanyaan dan tidak menginginkan jawaban. Cinta yang meluap ke segala hal. Cinta yang membawa keyakinan pada dunia dan hidup. Tampak sesuatu yang ajaib.

Pada saat itu, Diana tahu tanpa keraguan sedikit pun bahwa Yoga tidak pernah mengalami patah hati. Sehingga Diana tidak bisa bahkan tidak tega untuk membuat Yoga merasakan itu.

Diana merasakan jantungnya yang patah dan getir semakin berat di dadanya.

"Maaf aku meninggalkan sesuatu di dalam kelas, sesuatu..." ujar Diana dengan gelisah.

"Aku akan menunggumu," sahut Yoga. "Aku tidak keberatan untuk menunggumu."

"Tidak perlu, sebaiknya kamu segera pulang." Tegas Diana.

Yoga tampak bingung. "Diana, apa aku melakukan kesalahan padamu?"

Diana menggelengkan kepala. "Tidak, tidak," jawab Diana. "Kamu sangat baik, sungguh baik. Aku harap kamu tidak berubah."

"Bisa kita bertemu di lain hari?"

"Aku tidak bisa memastikan," jawab Diana. Wajah Yoga langsung terlihat kecewa. "Maksudku bisa saja," tambah Diana dengan cepat. "Kedengarannya menyenangkan."

Lalu, Diana berbalik dan berjalan lagi ke arah pintu masuk menuju sekolah. Dia sudah membuat pilihan. Sekarang semua sudah terlambat. Dia sempat berhenti dan menoleh ke belakang sejenak, dia melihat Yoga sedang mengamatinya. Yoga melambaikan tangan.

Diana tahu ini akan jadi pertemuan terakhir dengan Yoga, jika hati Yoga belum terlalu hancur. Dia mungkin akan merasakan sedikit kesedihan karena perpisahan itu atau mungkin kecemasan. Tapi hati Diana sudah terlalu berat untuk memikul beban yang lain.


Tetep swipe up yawss 🖤
Jangan lupa vote, komen dan saran juga.
Terima kasih.

(TAMAT) The Truth About Broken Heart (PART 1)Where stories live. Discover now