11. Black's Billiard

37 3 0
                                    

Jangan Lupa Vote, Komen dan Saran Kawan
GBU 🖤🌈
•••

Sejam kemudian, Vonny membawa mereka ke ruangan besar yang dipenuhi dengan jejeran meja biliar. Lagu country lama mengalun di dalam ruangan.

"Tempat apa ini?" tanya Diana.

Vonny hanya menunjuk papan nama di atas bar, Black's Billiard dan memutar bola matanya. Diana menoleh ke sekeliling. Dindingnya tertutup foto hitam putih dengan gambar-gambar orang bermain biliar di tahun delapan atau sembilan puluhan.

Diana menatap foto wanita dengan rambut panjang berwarna hitam dan dipoles lipstik gelap sedang memegang tongkat yang diposisikan untuk menyodok. Ada jejeran lelaki di belakang wanita tersebut dan mereka semua menatapnya dengan penuh perhatian. 

"Tempat ini sudah sepi, tapi sembilan puluh sembilan persen pengunjungnya selalu lelaki. Itu sebabnya aku membawamu kemari. Si Black yang mengelola tempat ini dengan sangat baik." Ujar Widya.

Tampak lelaki bertubuh besar seperti beruang yang menyeringai dan menggelengkan kepala. "Tidak perlu merayu," sahut Black seraya memegang cerutunya ke arah Widya.

"Tidak boleh merokok, Black." Widya menunjuk tanda dilarang merokok yang tergantung di sebelahnya. Black hanya mengedipkan mata dan menggoyangkan cerutunya di depan Widya. Asapnya mengepul tinggi.

Kemudian Black memberikan seset bola. "Meja tiga belas untuk kalian."

Widya tersenyum, lalu mereka berjalan ke belakang. Saat mereka berjalan setiap lelaki menoleh ke arah mereka. Sebagian tersenyum, sebagian lagi berpura-pura tidak menyadari mereka, padahal kenyataannya mereka sangat menyadarinya.

"Widya, kamu kenal dengan mereka?" tanya Diana pelan.

"Tidak semuanya" Widya tersenyum.

"Kita suka datang kesini untuk mencoba sesuatu." Jelas Vonny. "Kita juga tidak takut dengan kompetisi," sambungnya.

Widya mulai berkeliaran untuk menghampiri teman-teman lelakinya. Sedangkan Vonny membawa Diana ke salah satu meja, tempat dua orang berusia setengah baya yang sedang terlibat dalam permainan yang seru. Salah satu dari mereka berjalan memutari meja dengan langkah perlahan, menatap ke tengah meja seperti pemburu yang mengincar buruannya. Kedua lelaki itu mengenakan kaos hitam tipis yang menonjolkan otot punggungnya.

"Ayo kita bertaruh satu juta bahwa teman baruku bisa melakukan sodokan itu untukmu," kata Vonny. "Tepat di sudut kiri." Di meja hanya ada satu bola putih, dua bola bergaris dan satu bola hitam di samping meja.

"Dengan teman barumu, siapa takut?" sahut lelaki itu sambil tertawa. "Bahkan aku sendiri tidak bisa melakukannya, tapi sayangnya aku tidak pernah gagal menyodok bola seumur hidupku." Lelaki itu menyeringai serta mengelus bagian dagunya yang terlihat menjijikan.

"Oke kalau begitu, biarkan temanku bertaruh dan memenangkannya."

"Oke, aku akan memberikan satu juta untuk sodokan gadis kecil itu." Lelaki itu mendengus.

Diana menatap Vonny, dia merasa amat payah untuk melakukan sodokan itu. Seumur hidupnya, Diana hanya pernah sekali bermain billiar dengan Remi satu tahun yang lalu dan bolanya terus terpantul di atas meja. "Aku sama sekali tidak bisa."

"Aku rasa kamu lebih baik daripada yang kamu pikirkan." Tegas Vonny.

Vonny mengambil tongkat dari lelaki berkaos hitam. Vonny merogoh sakunya dan mengeluarkan kapur kotak berwarna hitam. Dia menggosok ujung tongkat ke kapur tersebut dan memutarnya. Kemudian dia menyerahkan tongkat itu kepada Diana. Hal itu membuat tangan Diana bergetar.

"Take your time, honey," kata Vonny. Diana mendengar kedua lelaki itu mencibirnya.

"Sodok bola yang putih hingga mengenai bola yang hitam, lalu pantulankan ke dinding, dinding yang itu kemudian ke sudut yang ada di sebelah kiri," bisik Vonny.

Diana memegang tongkatnya. Tangannya gemetar. Diana hanya menunduk ke atas meja lalu menarik tongkatnya ke belakang. Dia mendorongnya ke depan untuk menyodok bola yang putih. Bolanya meluncur ke seberang meja karena dorongan kekuatan yang lebih besar daripada yang diberikan sodokan Diana.

Bola putih mengenai bola nomor delapan memantul ke satu dinding lalu dinding yang lain. Terakhir meluncur dengan mulus ke sudut kiri. Diana berhasil melakukannya dengan sempurna.

Selama sedetik mereka semua hanya berdiri di sana dengan melongo. Diana sendiri tidak percaya dengan apa yang dia telah lakukan.

"Waktunya membayar, para lelaki tampan," pinta Vonny. Vonny mengulurkan tangannya yang kecil. Diana berdiri di sana dengan wajah merona. Tapi saat dia mengangkat kepala, Diana tersentak karena kedua lelaki itu melihatnya dengan takjub.

Tidak pernah ada yang melihatnya dengan cara seperti itu sebelumnya. Tidak satu kali pun seumur hidupnya. Andai saja ada Brian dan dia melihat apa yang baru saja terjadi.

Mereka menyerahkan uang ke tangan Vonny yang terulur. "Kita bisa melakukannya kapan saja, selama kalian berani untuk bertaruh." Nada suara Vonny terdengar manis namun wajahnya sinis.

Vonny juga mengulurkan tangan dan menyentuh salah satu wajah lelaki itu untuk beberapa saat. Kemudian dia membisikkan sesuatu dan lelaki itu memejamkan mata. Vonny dan Diana meninggalkan meja tersebut dan menemui Widya di meja tiga belas.

Diana merasa dadanya mulai terbuka dan dunia seperti menghentikan seluruh aktivitas.

"Baiklah ini selanjutnya," tegas Widya. Widya mengangkat kedua jarinya dan mengerutkan bibirnya dengan sempurnya. "Kamu tidak perlu bersikap terlalu ramah. Bukan berarti kamu harus membuatnya terlihat seolah kamu merasa tidak suka atau jijik pada semua orang. Itu hanya berhasil pada sedikit orang." Ujar Widya. Dari posisi berdiri, Widya mulai membungkuk dan menyodok bolanya. Bola itu nyaris luput dari lubangnya.

"Aku tidak merasa jijik dengan orang baru seperti mereka," bantah Diana. "Aku hanya..."

"Kita tahu, kamu merindukan lelaki yang telah menghancurkan hatimu." Sela Vonny.

Diana terlihat runyam mendengar pernyataan itu. Dia mengangkat bahu dan menunduk.

"Maaf teman, aku tidak bisa mengubah apa yang aku rasakan," kata Diana perlahan.

"Jelas sekali. Tapi kamu bisa mengubah agar kamu tidak terlihat seperti yang kamu rasakan. Untuk menjadi sosok yang sukses kamu harus menjadi seorang aktris yang luar biasa di dunia ini," jelas Vonny.

Widya dan Vonny menyeringai dan menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana cara aku berakting tapi tidak berpura-pura?"

"Dengan meyakinkan dirimu sendiri jika kamu benar-benar merasakannya," jelas Vonny.

Vonny mendekati Diana dan menyentuh wajah Diana, "Wajahmu melakukan banyak hal, bahkan kamu tidak sadar telah melakukannya dan begitu juga dengan orang lain yang tidak sadar telah memperhatikannya. Tapi ada kalanya kamu melakukannya dan mereka memperhatikannya, kemudian terjadilah interaksi. Sulit bagimu untuk mengendalikannya, tapi jika kamu menatap seseorang dan kamu mampu mengeluarkan perasaan hangat terhadap mereka maka semesta akan bekerja sama. Orang lain akan merasakan itu juga, tanpa mereka sendiri menyadarinya dan mereka akan lebih menyukaimu." Vonny terhenti sejenak dan menelan air liurnya.

"Intinya, kamu harus menemukan sesuatu yang kamu suka dari siapa pun yang kamu sukai. Jangan melawan perasaanmu, lepaskan saja dan kirimkan ke arah targetmu." Sela Widya.

"Aku tidak mengerti penjelasan kalian," kata Diana tanpa merasa salah.

Tapi Vonny hanya mengangguk pada Widya. Vonny pun beranjak untuk memanggil lelaki yang dibisikinya tadi.


Keep Reading Babes 🌈🦋

(TAMAT) The Truth About Broken Heart (PART 1)Where stories live. Discover now