BAGIAN XXXII: KETERBUKAAN

Start from the beginning
                                    

"Sampe kapaaaan, kamu sadar? Bukan dia..."

"Hah?"

"Bukan dia yang kamu cinta. Tapi aku." Werdi tampak tak berkelakar seperti biasanya. Matanya menatap serius.

"Wer... gue cape ngomong sama lo... perasaan gue... yang tau,,, ya gue!!! Bukan elo!!!"

"Gak usah sok galak, cin... aku tau kamu", sahut Werdi semakin serius, "Aku mengerti kamu. aku paham isi pikiran kamu mau kemana, hati kamu gimana, kalo kamu gigit kuku, itu kenapa, kalo kamu mendelik, itu kenapa... aku... tahu hati kamu. aku cuma terlambat. Dan kamu gak percaya,,, kalo aku..." Kalimat Werdi terputus. Jerry sudah muncul di sampingnya dengan wajah yang seperti menahan kuat-kuat untuk tidak menghajar Werdi.

"Pak Jerry..." Werdi tampak terkejut.

"Jadi Pak Werdi udah tau siapa saya, kan? Saya juga udah curiga...", sahut Jerry tanpa senyum.

"Loh? Harusnya,,, saya yang curiga... kan..." Werdi menuding Wanda serta Jerry secara bergantian, "Kalian yang membohongi saya dan semua orang di kantor..."

"Terserah kalau anda mau buka siapa Wanda ke orang-orang satu kantor", sahut Jerry tandas. "Di kantor, anda pimpinan saya. Di sini,,, anda pengganggu istri saya..."

Wanda mulai tegang. Ia tak suka melihat wajah Jerry yang begitu berbeda. "Sayang", kata Wanda. "Dia gak usah diladenin..."

"Wanda... coba tanya hati kamu sendiri... jujur sama diri kamu sendiri... apa iya, kamu memang cinta dia...", kata Werdi dengan cepat. "Permisi..." Werdi pun berlalu pergi.

Jerry hanya terdiam dengan tangan yang mengepal kuat. Terdiam seribu bahasa.

"Sayang..." Wanda meletakkan tangannya di dada Jerry. "Kamu jangan terpengaruh sama dia. kan,,, kamu yang sering ajarin aku... jangan ambil pusing omongan orang yang gak ada gunanya buat kemajuan kita..."

Mendengar itu, Jerrypun mengendurkan urat-urat syarafnya yang sempat menegang. "Sayang...", mulai Jerry, "Aku... bener-bener... gak tenang... kalo kamu satu kantor sama Werdi. Tapi... satu sisi, Rudy udah bayar harga dan investasi waktu buat kamu... aku bener-bener dilema..."

"Sayang!!! Denger ya!!!", kata Wanda mulai kesal. "Coba liat aku! Pilihan itu di tangan aku! Kamu gak punya pilihan selain percaya sama aku!!!"

"Kamu masih cinta dia?", tanya Jerry langsung. Menatap mata Wanda tanpa berkedip.

Wanda menggeleng cepat. "Enggak. Cuma kamu. Kamu harus percaya sama aku. Sekali aja, kamu belajar percaya sama aku. Juga percaya, kalo aku bisa jaga diri..."

"Aku...", suara Jerry mulai berbisik miris, "Aku takut banget kehilangan kamu..."

Wanda terenyuh mendengarnya. Ia langsung meraih tangan Jerry dan menggenggamnya kuat-kuat. "Kamu pernah bilang... badai pasti berlalu...", kata Wanda lagi dengan mata menerawang. "Yang mau terus-terusan salah... pasti akan terpotes dengan sendirinya. Begitupun dengan Werdi..."

"Sayang..." Jerry memperkencang genggaman tangannya pada Wanda. "Kita juga salah... kita gak bisa begini terus... lebih baik, kita terus terang ke manajemen. Setelah itu,,, terserah keputusan manajemen... gimana?"

Wanda langsung melepaskan genggaman tangannya. "Gak bisaaaa... gak bisaaa... aku... aku baru aja nemu'in dunia aku yang baru, yang hidup, yang nyata... aku gak bisa mundur, sayang... gak bisa..."

Jerry merunduk. "Oke... kalo gitu, aku dan Werdi yang harus mundur."

"Gak bisa gitu, sayang... kamu lagi ngebangun banyak orang kan... di tempat itu... dan kamu mau ninggalin mereka? Kamu bilang, kamu perduli sama mereka? Dan Werdi, gak bakal mau mundur..."

Jerry melihat ke sekelilingnya dengan seksama. "Kita jangan ngobrol di sini. Nanti, anak buah aku ada yang liat..." Jerry segera menarik tangan Wanda untuk berlalu pergi dari situ.

***

Jerry termenung lagi di gazebonya. Datangnya hari senin seakan membunuhnya perlahan-lahan... ingatan akan Werdi yang terus berusaha mendekati Wanda seakan menampar dirinya untuk melihat kepada kenyataan... bahwa ia sendiri ragu, apakah ia benar-benar dicintai... hanya satu yang bisa membuktikan, apakah Wanda benar-benar mau menerima dirinya dengan segala kekurangannya. Ia pun berniat membukakan hasil lab tentang kemndulannya yang permanen, pada Wanda...

Wanda sudah membawakan secangkir kopi panas untuknya. "Sayang...", Jerry mulai membuka mulutnya sambil menyambut sodoran secangkir kopi dari wanda. "Aku punya rahasia..."

Tangan Wanda mendadak bergetar mendengar pengakuan suaminya itu. Ia selalu percaya, Jerry tak pernah merahasiakan segala sesuatu darinya.

"Kamu punya... selingkuhan???" Mata Wanda mulai berkilat.

Jerry terkekeh geli. Ia menggeleng. "Bukan. Gak ada pikiran aku ke situ... aku malah takut kamu yang selingkuh..."

Ganti Wanda yang terkekeh... "Ehehehe... kamu tuh, ya... mana ada yang betah sama akuuuuu..."

"Ada... Werdi", sahut Jerry singkat.

"Udah, deh!!! Bete kalo bahas dia!!! Pegel!!! Pegel!!!" Wanda mengibas.

"Aku mau jujur...", sambung Jerry langsung. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskan pengakuannya... "Aku mandul..." Jery langsung merunduk. Merasa begitu "kurang" sebagai laki-laki.

Wanda terpekur sesaat. Dengan mata lirak-lirik kebingungan. "ng... mandul... maksudnya, kamu gak bisa... itu... punya anak?"

Jerry mengangguk.

"Oooooh.... gak masalah, sayang... aku juga rada takut kesaing, kalo kita punya anak... kamu malah manjain dia, aku di lupa'in..."

"Hah? Kamu gak mau punya anak? Kan..."

Wanda geleng-geleng. "Tauk, ah! Belum! Aku takut kamu di rebut!"

"Hah? Wan... kalo anak kita sendiri, masa kamu mikir gitu? Harusnya seneng kan? Kalo aku sayang sama anak kita sendiri???"

Wanda terkekeh. "Aku bercanda." Wanda mulai menghela nafas. "Iya... sebetulnya, aku mau banget punya anak... anak bayi itu lucu... t'rus penasaran,,, mukanya nanti mirip kamu apa mirip aku, yaaaa..." Mata Wanda menerawang. 'Dan aku gak bakal kesepian lagi... kamu kan selalu sibuk kerja..."

Jerry merunduk lagi. Menyadari itu, cepat-cepat Wanda berceloteh lagi, "Tapi itu gak ngurangin cinta aku ke kamu... kamu kok, bego amat, sih... kenapa nutup-nutupin dari aku???"

"Aku... aku... minder ngomongnya", aku Jerry.

"Yaaa, ampuuuun... sayang... kamu kasian banget, sih... selama ini mikirnya gitu??? Kamu tuh, ya... kalo ngajarin anak buah paling bisa! Keterbukaan!", Wanda mengikuti gaya bicara Jerry kalau sedang briefing pagi, "Diskusi... cari solusi... preeeetttt... katanya, sesulit apapun, harus saling terbuka dan kerja sama... mana, nih... omongannya kok,,, buat urusan di luar doaaaang..."

Jerry tersenyum malu. "Namanya juga manusia, sayang... jadi... kamu... gak masalah?"

"Apa, sih,,, yang masalah??? Gampang! Pungut anak aja dari panti! Beres!!! Gitu aja kok, repot!!!"

Jerry tergelak geli. "Kita bicara anak... kamu kira kayak mungut apaaaa, gituuuuuh...."

"Ah! Kita kan bisa usaha ke dokter dulu... kata Rudy,,, kan banyak cara... kata kamu, yang penting berusaha... kok, sendiri yang ngomong, sendiri yang keblingerrr..."

Jerry tak menyangka, banyak perkataannya yang ia pikir tak pernah benar-benar di dengar oleh Wanda, ternyata di rekam kuat oleh memory Wanda. Perkataan yang terus didengungkan di telinga, suatu saat akan muncul ke permukaan di waktu-waktu yang tepat. Dan waktu yang tepat itu malah menegur diri Jerry sendiri, sebagai orang yang pernah memperdengungkannya di telinga Wanda selama bertahun-tahun...

MENIKAH DENGAN INTEGRITASWhere stories live. Discover now