15. Bully

2.4K 115 30
                                    

Update nih, ada yang masih nungguin dan kawal cerita ini sampai tamat? Thankyou yaa!
Selamat membaca.


•••


Vano membeku. Cowok itu terdiam menatap seseorang yang kini memandangnya penuh kekosongan. Dia seperti biasa berekspresi datar. Tanpa berbicara sekalipun ke arah lawan bicaranya.

"Devano?"

"Kenapa?" ujar Vano dengan wajah yang masih saja datar. Cowok itu berada di ruang kepala sekolah yang kini terlihat hening. Keduanya terdiam lagi beberapa saat.

"Sudah papa duga kamu ada di sini."

"Terus? Saya nggak peduli." Vano terkekeh pelan. Bukan candaan. Dia terdiam bungkam lagi. Seolah tak ingin lama-lama berada di dalam ruangan itu. Sebenarnya dia ingin beranjak pergi. Namun, rasa hormat pada seseorang berpangkat itu masih sedikit menguasai dirinya.

"Devano ...," ujarnya pelan.

"Kembalilah ke rumah."

"Buat apa?" ujar Vano tertawa pelan. Varon, pria paruh baya yang kini menjabat kepala sekolah sekaligus ayah Vano kini terdiam beberapa saat.

"Papa menyuruhmu untuk kembali ke rumah."

"Nggak penting banget." Vano tertawa lagi. Seolah seperti menentang ucapannya dengan memberikan kata-kata sepele yang tak pernah dia ucapkan pada pria di depannya.

Manusia di depannya ini beberapa kali menghela napas pelan.

"Gimana mama? Masih disakitin aja ya?" ujar Vano terkekeh lagi. Varon menatap wajah Vano dalam diam.

"Buat apa, gue pulang kalo ngeliat mama nggak baik-baik aja di rumah itu?" lanjut Vano lagi. Seolah mengeluarkan semua isi pikiran yang ada di otaknya.

"Maksud papa bukan seperti itu."

"Kayak gimana tuan Varon Gibrananta yang harus saya selalu hormati padahal saya benci melakukan hal itu?" ujar Vano lagi-lagi tertawa pelan. Cara bicaranya kini berganti formal.

"Papa mencintai mama mu. Hanya saja-"

"Anda mencintai orang lain selain mama saya? Benar?" ujar Vano tertawa sumbang. Sudah cukup cowok itu basa-basi di hadapan pria itu. Sangat amat disayangkan waktunya terbuang sia-sia.

"Tolong kembalilah ke rumah."

Vano tertawa. "Untuk apa pulang ke rumah kalau tempat itu bukan sesuatu kebahagiaan buat saya?"

Varon, pria itu memijat pangkal hidungnya.

"Maafkan papa, tapi tolong papa harap kamu pulang."

"Anda papa saya? Anda masih menganggap saya anak anda? Tapi saya nggak merasa anda adalah ayah saya." Vano dengan tatapan kosong menatap manik mata pria di depannya. Dia menghela napasnya.

"Maafkan papa." Sudah beberapa kali Varon mengucapkan kalimat itu. Dengan ekspresi yang ditunjukkan Vano, cowok itu terlihat tidak ingin menggubrisnya sama sekali.

KEYVANO [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang