♥Ramon "Chapter 47"♥

Start from the beginning
                                    

Memeluk lehernya dengan erat dan tertawa riang. Tawanya menular pada dirinya.

Apapun tentang gadis itu selalu bisa membuatnya tertular. Entah itu tawa sang gadis, kebahagiaan sang gadis ataupun kesedihan dan tangisnya sekalipun. Semuanya berpengaruh padanya.

Flashback off

Deg

"Aaarghhh..."

"Mondy. Mon, kamu kenapa?" Raya, gadis itu beranjak dari duduknya, mendekati sang pacar yang tiba-tiba saja merintih kesakitan.

"Arrghh..." Mondy hanya berteriak tertahan sambil memegang kepalanya sendiri.

"Mondy, kepala kamu sakit? Kamu kenapa??" Raya panik lantaran Mondy tak menyahutinya dan hanya mengeluarkan suara kesakitan.

"Mondy, kita ke rumah sakit sekarang. Ayo.." ajaknya dan kemudian dia mengeluarkan dompetnya, mengambil beberapa lembar uang berwarna merah lalu meletakkannya begitu saja di atas meja.

"Ayo bangun." dia sendiri langsung memapah Mondy dan berjalan meninggalkan tempat duduk mereka.

"Aarghh, Ray, kepala aku sakit, Ray." ucap Mondy dengan suara pelan, membisiki Raya.

"Iya, iya. Kamu tahan sebentar ya. Kita ke rumah sakit sekarang." balas Raya dengan suara penuh kecemasan.

"Ray, ada sesuatu yang masuk ke ingatan aku." bisik Mondy sangat pelan.

"Mon, kamu jangan banyak bicara dulu ya.  Kamu tahan sakit kamu dulu, kita ke rumah sakit." dengan susah payah, Raya hendak menarik pegangan pintu cafe itu, sebelum-....

"Raya, Aurel..."

"Mondy!!"

Sebelum akhirnya Mondy jatuh tak sadarkan diri. Beberapa orang mengerubungi Raya.

"Tolong, tolong bantu saya. Angkat ke mobil saya." ucapnya pada orang-orang itu.

Hingga akhirnya 3 orang laki-laki membantunya membawa Mondy keluar dari cafe itu, menuju mobilnya.

Raya, Aurel

Dua kata itu cukup mengganggu Raya. Apa yang sebenarnya Mondy ingat? Itulah yang Raya pikirkan. Itu yang mengganggu pikirannya sendiri.

Raya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya itu, ia harus fokus. Fokus membawa Mondy ke rumah sakit.

Dia tidak mau Mondy sampai kenapa-kenapa dan itu dikarenakan salahnya lagi. Dia tidak mau itu terjadi.

Walaupun egonya sempat menang tadi, tapi kali ini ia ingin biarkan egonya kalah dan hatinya yang mengambil alih. Hatinya yang ternyata sangat takut jika harus meninggalkan atau ditinggalkan oleh Mondy.

Mondynya, Arsyanya

Cukup Arsya yang meninggalkannya dalam kenangan masa lalu yang terlupakan. Tapi Mondy, dia tidak mau Mondy juga meninggalkannya dan lambat laun akan melupakannya juga.

*****

Raya mondar-mandir di depan pintu ruang UGD. Wajahnya cemas, panik dan khawatir. Di dalam sana orang yang ㅡjujurㅡ sangat ia cintai belum sadarkan diri. Sementara di luar sini dia tidak bisa melakukan apapun. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Mondy, dia akan sangat menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri. Bukan hanya dia yang akan menyalahkan dirinya sendiri, tapi orang lain juga akan menyalahkannya.

Kekalutannya sedikit teralihkan saat pintu ruang UGD terbuka. Seorang laki-laki berjas putih keluar dari dalam sana, tentu saja dia adalah dokter yang menangani Mondy.

"Dengan keluarga pasien?" dokter itu langsung bertanya padanya.

"Iya, iya, Dok. Saya keluarga pasien." jawab Raya cepat.

"Pasien sudah sadar, mbak. Dan kondisinya sudah membaik." ucap dokter itu.

"Alhamdulilah, Ya Allah.." Raya mengusapkan kedua telapak tangannya pada wajahnya, mengucap syukur.

"Mondy gak papa kan, Dok? Soalnya tadi Mondy sempat teriak kesakitan gitu sambil megangin kepalanya, terus pingsan. Saya takut dia kenapa-kenapa, Dok." ucap Raya dengan cemas.

"Itu biasa, mbak. Pasien inikan sedang mengalami amnesia. Dan soal dia kesakitan sambil memegangi kepalanya, hal tersebut diduga kuat karena kepalanya yang dihantam oleh ingatan masa masa lalunya. Itulah kenapa saya akan ingatkan untuk jangan membiarkan Mondy sampai memaksakan ingatannya. Atau hasilnya akan seperti sekarang ini, bahkan bisa lebih parah dari ini." jelas dokter itu.

"Tapi, saya gak ada memaksakan Mondy untuk mengingat masa lalunya, Dok. Ya walau Mondy emang minta dibantu untuk mendapatkan ingatannya kembali. Tapi saya belum menyetujuinya, Dok." ucap Raya tidak mengerti.

"Ingatan pasien yang mengalami amnesia bisa kembali bukan hanya karena bantuan yang disengaja, tapi juga bisa karena tidak sengaja ada pemicu yang membuat ingatan itu kembali meski hanya sebagian kecilnya saja. Sekuat apapun bantuan atau hipnotheraphy yang diberikan kepada pasien, semua itu tidak akan berhasil jika pasien tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan kembali ingatannya. Tapi sebaliknya, sekecil apapun pemicunya, jika keinginan pasien untuk sembuh dari amnesia itu sangat kuat, maka pasien akan mudah mengingatnya. Namun, bila keinginan kuat itu tidak dibarengi dengan kondisi tubuh yang kuat, maka pasien bisa berakhir dengan tidak sadarkan diri seperti sekarang ini." ujar dokter itu menjelaskan.

"Jadi, selanjutnya apa yang sebaiknya pasien lakukan? Apa sebaiknya dia jangan berusaha mengingat-ingat dulu, begitu, Dok?" tanya Raya.

"Itu semua kembali lagi pada keinginan pasien. Hanya saja memang sebaiknya jangan dipaksakan. Jika nantinya pasien tengah berusaha mengingat sesuatu dan tiba-tiba dia kesakitan, sebaiknya dihentikan saja. Akan lebih baik kalau pasien mendapat ingatannya dengan seiring berjalannya waktu. Sebaiknya lagi, pasien dibantu mengingat dari hal paling kecil yang ia lupakan, jangan hal yang sekiranya memiliki pengaruh besar dalam ingatannya. Itu yang bisa membahayakan pasien." jawab dokter itu menerangkan.

"Baiklah, Dok. Terimakasih. Apa saya bisa menjenguk pasien?" tanya Raya penuh harap.

"Silahkan, mbak. Pasien sudah dibolehkan pulang setelah infusnya habis." ucap dokter itu memberi tahu.

"Kalau begitu, terimakasih banyak dokter. Saya masuk dulu." pamit Raya buru-buru.

"Iya silahkan." jawab dokter itu.

Setelah dokter itu menjawab, Raya langsung masuk ke dalam ruang UGD dan hendak menemui Mondy.

Tapi, begitu dia menutup pintu ruang UGD dan kakinya melangkah mendekati ranjang rumah sakit dimana Mondy berbaring itu, hatinya kembali tak yakin, takut untuk mendekati Mondy. Padahal hanya tinggal beberapa langkah lagi dia sudah akan berdiri di dekat ranjang Mondy.

Tapi tubuhnya malah membeku di tempat. Menatap Mondy dari jauh. Bahkan saat suster yang tadi sedang mengecek infus Mondy sudah melangkah keluar, Raya masih tetap membeku di tempatnya berpijak.

Hingga akhirnya Mondy yang menoleh ke arahnya, tatapan mereka bertemu dan Raya semakin tidak yakin untuk mendekati Mondy.

"Ray, kamu ngapain disitu? Sini." Mondy memanggilnya dengan senyuman hangat.

Melihat itu, hati Raya berusaha menang dari ego dan ketidakyakinannya. Hatinya berusaha menang untuk menggerakkan tubuhnya lagi, mendekati Mondy dan mengenyahkan ketidakyakinan dan ketakutan tak beralasannya itu.

Ya, tidak ada alasan untuk dirinya takut mendekati Mondy. Bahkan Mondy sedang tersenyum hangat padanya, menunggunya mendekat. Tatapn Mondy menyiratkan bahwa ia sedang menunggunya, bukan menghakiminya apalagi mengusirnya.

Lantas, mengapa ia harus tidak yakin? Apa yang ia takutkan?

Jawabannya, tidak ada.

*****

Terimakasih,
Penulis

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

See you in next Chapter

RVC Please

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

"Love Begins With From The Past" (HIATUS)Where stories live. Discover now