🍒 Heal Your Heart

Start from the beginning
                                    

"Boleh, di operasi ini ya?"

"Tapi kudu kamu yg operasi. Aku cuma asisten."

"Iya sayang.." jawabku, wajahnya begitu semringah, semoga saja setelah ku beritahu kasusnya, Shakiya tidak syok mendengarnya.

"Kamu boleh baca dulu case nya dan kamu akan tahu alasanku kenapa aku ambil case ini."

Shakiya mulai menatapku heran dengan alis saling bertaut dan wajahnya nampak serius. "Kenapa?" tanyanya.

"Afi." ujarku.

"Afi?"

"Iya, Afika. Anak kita, kamu lupa? Hm?" langsung saja ku raih tangan kanannya sementara mataku terus fokus melihat jalan.

Shakiya menggelengkan kepalanya. "Nggak akan. Nggak akan lupa, Sayang." jawabnya mulai bergetar.

Tuhan.

Aku tahu betapa kehilangannya Shakiya saat anak kami pergi beberapa hari setelah Bunda dari istriku ini juga pergi meninggalkan kami semua. Cobaan bertubi yang datang membuat Shakiya down dan hampir kehilangan arah.

"Hhhhh..." helaan napas berat ku dengar dari wanita di sampingku.  "Sudah 24 tahun berlalu..."

"It's been so long..." gumamku.

"Kalau dia masih ada, mungkin dia sudah menikah.  29 tahun, 5 tahun terpaut dengan Abang..."

"Ya dan harusnya kita sudah ada cucu yang lari-lari di rumah."

"Hhhaa tua ya pak." tawanya getir ku dengar.

"Hahaha iya bu. Rambutku udah mulai tumbuh uban, lihat nih."

"Nggak apa. Tetap ganteng, My Super Gaga." katanya saat mobil kami sudah berhenti di carport lalu kecupan manis mendarat di keningnya.
.
.
.

"Anakmu di rumah? Ada mobilnya." kata Shakiya sambil mendaratkan tubuhnya di sofa kamar.

"Mungkin di atas. Tidur kayaknya." jawabku sambil mengganti baju yang sudah tak karuan baunya ini.

Shakiya langsung sibuk di dapur menyiapkan teh untukku dan memanaskan makanan untuk Rayyan, anak kedua kami yang sepertinya sedang tidur akibat lelah jaga pagi ini.

"Bang..."

Nah itu dia keluar dari kamarnya dengan muka bantal, wajah-wajah mengantuk khas orang bangun tidur. Rayyan langsung menghampiri Biya nya di dapur sementara aku di ruang tengah mendengarkan percakapan mereka.

"Baru bangun? Pulang jam berapa?"

"Jam 2 tadi."

"Gitu gak pamitan biya. Sudah makan?"

"Nggak sempet Biy.  Rame tadi di bedah, belum makan, keburu ngantuk tadi."

Lalu Shakiya menghidangkan makan malam untuk anak kami yang tinggal satu-satunya itu, masih bisa ku lihat dari jauh meski lelah Shakiya tetap melakukannya dan Rayyan segera memakan dengan lahap walaupun bukan Biya nya yang memasak.

Seandainya Afika masih ada mungkin saat ini dia sedang bermanja dipangkuanku. Bukan berarti Rayyan tidak pernah begitu, hanya saja Rayyan lebih manja dengan Biya nya.

Astagfirullah. Sadar Arga!

"Daddy. Ini teh nya sudah, mau ngeteh di mana?" tanya Shakiya sambil meletakkan cangkir teh di meja.

"Iya, sini aja. Di luar mendung." jawabku lalu menyeruput teh yang masih hangat itu.

"Mana file nya dy? Coba aku mau lihat?"

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now