Gilang tak bisa melihat jelas tubuh Vanya karena terhalang dua gadis yang ada di depannya. Tiba-tiba salah satu gadis yang memegang lengan Vanya menoleh, menyadari ada kehadiran orang lain di dalam situ. Gilang tidak mengetahui nama keempat gadis tersebut. Tapi ia tau bahwa mereka adalah anak kelas dua belas. Sama seperti dirinya.

Cewek yang pertama kali melihat Gilang terkesiap, tangannya yang sebelumnya memegang lengan Vanya lantas terlepas. Melihat keganjilan dalam tingkah salah satu temannya, membuat tiga cewek yang lainnya ikut menoleh ke arah Gilang. Mereka lantas terperanjat, kaget bukan main karena tindakan pembullyannya ketahuan. Maka tanpa berkata apa-apa, keempat cewek itu segera berlari keluar toilet. Meninggalkan Gilang yang berdiri mematung dan Vanya yang meremas kuat kerah kemejanya yang sudah acak-acakan.

Tangan Gilang mengepal kuat melihat pemandangan memilukan di hadapannya. Tubuh gadis itu basah kuyup. Jas almamater marunnya tergeletak di samping kakinya. Ujung kemeja putih itu sudah keluar dari roknya. Dan dua kancing teratas kemeja itu juga terlepas. Bagian bahunya sobek, hingga menampilkan tali bra gadis itu.

Mata Gilang memanas. Melihat Vanya berdiri dengan tubuh gemetar dan segera melangkah mundur saat melihat Gilang yang akan berjalan menghampirinya.

"Pergi!" Desis Vanya pelan. Membuat langkah kaki Gilang terhenti di tengah-tengah.

"Gue bilang pergi! Pergi! Pergi dari sini!" Vanya terus mundur. Pandangan gadis itu bahkan tidak fokus. Ia menunduk hingga akhirnya jatuh pingsan.

Gilang meneguk ludahnya kelu. Ia ingin berlari menghampiri, tapi sialnya kaki cowok itu seolah tidak bisa digerakkan. Terlalu terpukul dengan apa yang ia lihat.

"Gilang-" Andre terdiam shock di ambang pintu melihat keadaan Vanya.

"Keluar!" Ucap Gilang pelan sambil menoleh setengah ke arah Andre yang ada di belakangnya.

"Gue nggak lihat apa-apa." Cowok itu segera keluar tanpa disuruh dua kali.

Gilang melangkah pelan menuju ke arah Vanya. Menatap sekilas ke arah jas milik Vanya yang basah di atas lantai. Cowok itu berjongkok, melepas jasnya juga kemeja putihnya, menyisakan kaus hitam yang masih melekat di tubuh. Maka dengan kemeja itu, ia memakaikannya ke tubuh Vanya. Sedikit terburu-buru karena terlalu khawatir dengan keadaan gadis tersebut.

Diangkatnya tubuh rabuh itu dengan sangat mudah dan segera membawanya ke ruang UKS. Andre mengikuti di belakang sambil membawa jas milik Vanya dan Gilang. Setelah sampai, dibaringkannya tubuh Vanya di atas kasur. Membiarkan petugas UKS mengurus keadaan gadis tersebut.

"Gimana kejadian ini bermula?" Gilang duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang UKS.

"Gue juga nggak tau. Pas gue sampai sekolah, berita itu udah nyebar aja kayak virus."

"Tapi siapa yang nyebarin ini semua? Di sekolah ini yang tau rahasia Vanya cuma gue dan lo." Gilang meremas rambutnya frustasi.

"Gue juga yakin yang tau rahasia ini cuma kita. Jadi dalang di balik ini semua jelas bukan murid dari SMA Pancasila. Karena yang gue tau, berita ini disebarin lewat twitter dan Line. Jadi jelas, ada sekolah lain yang nyebarin berita sampah ini. Dan dia adalah salah satu orang yang tau masa lalu si Vanya." Andre berhipotesis.

Gilang kembali meremas rambutnya. Memang siapa saja yang tau masa lalu gadis itu? Gilang memutar otak. Tiba-tiba, seolah baru menyadari sesuatu, rahang Gilang berkedut. Dia tau, siapa dalang di balik ini semua. Iblis itu. Jelas si Thommaslah yang sudah berani membocorkan rahasia ini.

Ketika Gilang hendak bangkit berdiri, petugas UKS keluar ruangan.

"Dia sudah siuman." Petugas itu memberi tau.

Gilang langsung masuk diikuti Andre di belakang.  Tapi langkah kaki cowok itu berhenti di tengah ruangan. Menatap Vanya yang duduk di tepi ranjang sambil menempelkan ponselnya di telinga kanan. Gadis itu sedang menelepon seseorang.

"Pulang." Suara Vanya serak, berbicara dengan seseorang lewat panggilan telepon.

Gilang hanya diam mendengarkan.

"Papa balik lagi ke sini. Aku mau pulang." Gadis itu mulai terisak pelan.

"Aku nggak mau di sini. Aku benci semua orang yang ada di sini. Aku mau pulang."

"Biar gue yang anterin lo pulang." Gilang akhirnya bersuara.

Vanya tersentak kaget. Ponselnya bahkan terlepas dari genggamannya dan meluncur jatuh ke lantai. Mata gadis itu menatap Gilang lurus-lurus. Ada berbagai macam ekspresi yang ditampilkan olehnya. Tapi yang jelas, raut kemarahan berkilat tajam dari kedua matanya.

"Pergi dari sini!"

"Gue nggak akan pergi sebelum lo mau ngomong sama gue. Gue akan anterin lo pulang, dan kita bisa ngomong baik-baik di perjalanan."

Vanya menggeleng. "Gue nggak mau ngomong sama lo. Lo penipu! Lo cuma mengasihani gue selama ini. Gue benci sama lo. Bahkan gue lebih benci lo daripada Thommas." Vanya berteriak keras. Bahunya bahkan sampai naik turun karena menahan amarah.

"Jangan pernah nunjukin wajah lo di depan gue. Gue nggak mau ketemu sama lo." Desis gadis itu lalu segera membuang pandangan.

Hati Gilang rasanya seperti diremas. Sakit luar biasa. Vanya bahkan bilang bahwa ia lebih benci dirinya dibandingkan dengan Thommas. Itu adalah pernyataan paling menyakitkan. Itu mengartikan bahwa dia telah menyakiti Vanya lebih banyak dibandingkan Thommas menyakiti gadis itu. Dan sebenci itu Vanya kepada dirinya.

"Ndre. Bisa minta tolong lo di sini jagain Vanya sampai papanya dateng?" Gilang akhirnya bisa bersuara setelah sepuluh detik terdiam.

"Lo mau kemana?"

"Pergi sejauh mungkin. Lo nggak denger tadi kalau Vanya nggak mau ketemu sama gue?"

"Tapi-"

"Gue akan beresin semua ini. Secepatnya." Gilang segera melesat keluar ruang UKS. Mengabaikan panggilan Andre di belakang.

Cowok itu terus berjalan. Melangkah cepat menuju parkiran sekolah. Masuk ke dalam mobil dan membawanya keluar area sekolah menuju kota Bogor. Memutuskan untuk kembali bolos sekolah. Absen yang ke sekian kali gara-gara seorang Vanya. Ada beberapa hal yang harus ia urus.

Dilihatnya jam tangannya, masih pukul sembilan pagi. Jalanan kota Jakarta pasti lengang karena sudah masuk jam kerja. Memudahkan Gilang untuk melesatkan mobilnya menuju Bogor lebih leluasa. Baru perjalanan lima menit, cowok itu menelepon seseorang. Seseorang yang ingin sekali ditemuinya.

"Hello Doggy..." Sapa suara seorang cowok di seberang.

Satu tangan Gilang meremas kemudi mobil, "Hai Chiken!! Gue kangen banget sama lo. Mari bertemu di suatu tempat di deket sekolah lo. Satu jam lagi. Gue sampai."

Terdengar suara tawa di seberang, "Woho.... Lo berniat bolos sekolah? Serius demi apa? Dan lo bolos gara-gara pengen ketemu gue? Dan.... Lo mau dateng langsung ke kandang lawan? Lo yakin berani?"

"Seyakin keinginan gue buat bikin lo masuk rumah sakit detik ini juga."

"Oke-oke. Mari bertemu di taman deket SMA Garuda. Gue tunggu satu jam lagi."

Panggilan telepon terputus. Gilang menambah kecepatan menuju tempat yang telah disepakati. Dalam hati cowok itu bersumpah  benar-benar akan membuat pelajaran pada iblis sialan itu.
.
.
.
Good evening everybody...
Sudah bosen sama cerita ini? Sama, aku juga. Nggak tau ini tamatnya kapan pemirsa. Aku masih mencoba nyari ending yang sesuai dan nggak bikin kalian sakit hati.
.
Jangan lupa setelah selesai baca, mohon kasih vote ya gaish. Caranya klik bintang yang ada di pojok kiri bawah. Vote kalian bikin author makin semangat nulisnya. Hoho....
.
.
Salam,
Khadevrisaba penulis kemaren sore yang udah mulai lupa sama bentuk hujan kek gimana. Udah satu abad nggak ketemu sama hujan. Hiks....


Glass BeadWhere stories live. Discover now