11. Hah! Yang Benar Saja!

27 2 0
                                    

BAB SEBELAS

Ada saatnya kita harus menyerah dengan sikap egois dan mencoba untuk menerima kehadiran orang lain di sisi kita.

Vanya POV

Aku tidak tau kenapa aku harus merasa kesal dengan cowok songong sok perhatian yang berjalan di depanku ini. Hari ini saat melihatnya muncul di depan rumah, tiba-tiba ingin sekali kujambak rambutnya dan kutendang betisnya agar ia merasa kapok. Tidak mengangguku lagi. Tapi niat itu kuurungkan sampai sekarang. Sampai aku berangkat sekolah bersamanya -yang tentu saja dengan menaiki sepeda masing-masing- hingga kami masuk ke dalam kelas.

Aku pasti sudah tidak waras. Aku sedang kesal pada Gilang bukan karena cowok songong itu suka menyuruh-nyuruhku, menasehati, atau sok memperhatiknku. Bukan itu. Tapi aku kesal dengannya karena jawaban yang terlontar dari bibir pedasnya kemarin sepulang sekolah.

"Lo bilang apa tadi? Gue suka sama lo?" cowok songong itu tertawa. Tawa yang membuatku ingin sekali mengutuknya detik itu juga.

"Lo lagi mimpi? Atau berhalusinasi? Pede banget lo, bisa ngira kalo gue suka sama lo. Kalo perhatian gue lo anggep sebagai rasa suka gue ke lo, lo salah besar. Gue perhatian karena emang lo nggak bisa perhatiin diri lo sendiri. Jadi mendingan buang jauh-jauh deh pemikiran super konyol lo yang asli... nggak masuk akal banget. Lo cantik-cantik tapi kok bego sih?" Gilang tertawa lagi.

Itu adalah ucapan terpanjang yang pernah Gilang ucapin selama aku mengenalnya. Aku tau kalau dia itu cowok sok keren yang irit bicara. Dan aku juga tau bahwa kemarin itu adalah pertama kalinya aku melihat Gilang tertawa selepas itu. Tapi cowok songong itu tertawa karena aku. Karena menertawakanku. Dan jangan lupakan bahwa setan itu juga mengataiku bodoh!

Oke, dia sedang mengajakku berperang. Aku tidak akan mengampuninya. Hari ini, biar dia terima akibatnya karena telah menjatuhkan harga diriku. Aku tidak akan mau berbicara dengannya. Kalian dengar? Aku. Tidak. Akan. Mau. Berbicara. Dengannya. Hah! Biarkan saja setan itu ngomong sendiri tapi tidak aku respon.

"Lo nggak pengen nonton pertandingan final antara SMA Pancasila melawan SMA Garuda ntar?" Gilang duduk pada bangku di depanku. Itu bangkunya Dhika. Dan kebetulan si Dhika belum datang.

Aku hanya melirik cowok songong itu sekilas, lalu membuka permainan Voodo pada ponsel. Mulai bermain tanpa menghiraukan Gilang yang kutau sedang menatapku.

"Kalo lo nggak mau nonton ya nggak apa-apa."

Ngomong aja sana sama tembok!

Tapi detik selanjutnya Gilang merampas ponselku begitu saja. Dan itu berhasil membuatku semakin kesal padanya.

"Lo dengerin gue kan?"

Aku menatapnya malas.

"Nanti kalo bel pulang sekolah udah bunyi, lo langsung pulang aja. Nggak usah mampir kemana-mana. Gue nggak tau, tapi perasaan gue lagi nggak enak."

Aku mendengus, "Balikin hape gue."

"Jawab dulu baru gue balikin."

"Iya." Serius, cowok ini super menyebalkan. Gagal sudah hukuman untuk mendiamkannya.

"Iya apa?" Gilang menjauhkan ponselku ketika aku berusaha mengambil benda pipih itu.

"Iya gue langsung pulang."

"Anak pintar." Gilang lalu memberikan ponsel itu padaku.

Cowok itu beranjak menuju bangkunya sendiri tepat saat aku melihat Dhika memasuki kelas diikuti Tania di belakangnya.

Ah iya, sepertinya aku belum bercerita. Disini aku satu bangku dengan Tania. Gadis itu pertubuh kecil dan sangat ramah. Dia tidak pernah tersinggung dengan sikapku yang cenderung menjaga jarak dengan teman-teman yang lain juga dengannya. Aku tau dia gadis yang tulus. Sekilas sikap Tania mirip dengan Andre. Hanya saja bahasa Tania lebih tertata, sedangkan si Andre cenderung bar-bar dan asal bicara. Mereka sama-sama ceria dan ramah.

Glass BeadWhere stories live. Discover now