14. Melawan Rasa Takut

30 2 0
                                    

BAB EMPAT BELAS

Karena rasa takut itu seharusnya dilawan, bukan dibiarkan.

Seberapapun Gilang mencoba mengenyahkan kemarahan di hatinya, tapi cowok itu selalu dan selalu saja gagal. Gilang tidak menyangka kalau masalah Vanya dengan Thommas ternyata sangat rumit. Thommas seakan terobsesi dengan Vanya. Dan itu berhasil mengganggu ketenangan Gilang sejak kejadian sore tadi.

Gilang menatap jam pada layar ponselnya. Pukul setengah dua belas malam. Cowok itu belum juga bisa memejamkan mata. Ada banyak sekali pertanyaan yang bercokol di dalam kepalanya. Dan pertanyaan terbesarnya saat ini adalah… kenapa ia harus mengkhawatirkan Vanya? Kenapa ia harus peduli dengan gadis itu? Gilang merasa bahwa ia sudah masuk terlalu jauh di kehidupan Vanya. Tapi anehnya, ia merasa nyaman dengan keadaan seperti ini.

Pada akhirnya setelah berdebat dengan pemikirannya sendiri, cowok itu tertidur hampir pukul dua dini hari.

Keesokan paginya, Gilang sudah berada di depan rumah Vanya pagi-pagi sekali. Entah kenapa cowok itu ingin sekali melihat Vanya.

“Lo… bawa mobil?” Vanya tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia bahkan mengabaikan wajah Gilang yang terlihat masih lebam itu.

Gilang menoleh lalu mengangguk.

“Kenapa? Lo nggak ada pikiran buat ngajakin gue berangkat bareng naik mobil lo kan?”

Gilang mengendikkan bahu, “Sayangnya gue emang lagi kepikiran begitu sih.”

“Lo bercanda?” Vanya tertawa hambar lalu memasang ekspresi datarnya, “Lo tau kan kalo gue nggak bisa naik mobil berdua doang? Ini masih pagi, dan jangan bikin masalah sama gue.”

“Sudah saatnya lo melawan rasa takut lo, Vanya.” Gilang berjalan menuju pintu mobil penumpang lalu membukanya. Cowok itu menoleh ke arah Vanya, memberi kode agar gadis tersebut masuk.

Tapi Vanya langsung menggeleng keras-keras,  “Nggak, nggak bisa. Gue nggak bisa.”

Gilang menghembuskan napas panjang. Yah tentu saja, ini tidak semudah membujuk anak SD supaya mau mengerjakan PR. Gilang sudah menduganya semalam.

Cowok itu lantas berjalan ke arah Vanya dan menggandeng tangan gadis tersebut supaya mengikutinya masuk ke dalam mobil. Tapi Vanya dengan keras menyentak pergelangan tangannya, melepaskan genggaman itu lalu mundur perlahan dengan ekspresi panik.

Please Gilang, gue mohon jangan paksa gue.” Ia menggeleng cepat.

“Sorry, tapi ini demi kebaikan lo.” Gilang kembali meraih pergelangan tangan Vanya dan mulai menarik gadis itu untuk megikutinya. Vanya memberontak tapi kali ini ia tidak bisa melepaskan diri. Dengan cepat Gilang mendudukkan Vanya di kursi penumpang. Ia memutar tubuh hendak duduk di kursi pengemudi tapi langkahnya terhenti saat menyadari Vanya sudah kembali keluar dari mobilnya.

Cowok itu mendengus lalu membuka pintu mobil pengemudi. Setelahnya Gilang kembali menghampiri Vanya yang sudah berdiri di teras rumah seperti posisi semula lalu tanpa ba bi bu langsung menggendong gadis itu dan ia dudukkan di kursi kemudi.

Please please please. Jangan kayak gini. Gue mohon. Gue nggak bisa.” Gadis itu mulai menangis. Tiba-tiba cuplikan adegan masa lalu langsung merayap dan memenuhi ingatannya. Vanya semakin histeris dan meracau tidak jelas. “Jangan! Gue mohon jangan! Ampun. Please jangan sakitin gue! Gue mohon. Gue—“

“Hey, ini gue. Gue bukan orang lain. Ini gue, Vanya. Gilang. Sadar!” Gilang mengguncangkan bahu gadis itu. Tapi sepertinya usahanya tidak berhasil karena Vanya masih saja meracau.

Glass BeadWhere stories live. Discover now